preloader

Keadilan Substantif Dalam Upaya Pelindungan Hak Atas Pekerjaan Bagi Aparatur Sipil Negara Penyandang Disabilitas

A. Pendekatan Human Rights Model dalam Memandang Disabilitas
Pemikiran mengenai konsep disabilitas terus berkembang. Perkembangan terbaru adalah lahirnya pendekatan human rights model yang menggantikan perspektif medical model atau charity model. Pendekatan human rights model memandang hambatan yang dialami oleh penyandang disabilitas terjadi karena kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung, bukan karena kondisi fisik atau mental dari individu. Dengan konsep itu, maka tereksklusinya orang dengan disabilitas adalah karena adanya berbagai hambatan yang disebabkan sarana dan prasarana yang tidak aksesibel, serta sikap lingkungan masyarakat yang diskriminatif dan menstigma.

Sebagai contoh, seorang pengguna kursi roda yang hendak menghadiri wawancara kerja harus terhambat karena diadakan di lantai 2, sedangkan dalam gedung itu hanya tersedia tangga. Dalam kasus ini, hambatan yang dialami oleh orang tersebut bukanlah karena Ia menggunakan kursi roda, tetapi karena sarana dalam gedung yang tidak aksesibel untuk pengguna kursi roda naik ke lantai 2. Oleh karena itu, demi terpenuhinya hak atas mobilitas dan hak atas pekerjaan baginya, maka pemilik gedung wajib menambahkan sarana aksesibilitas pada gedung, seperti menambahkan lift atau sarana lain yang memungkinkan membantu pengguna kursi roda dapat menaiki tangga secara mandiri.

Disabilitas dalam perspektif human rights model dipandang sebagai bagian dari keragaman manusia, bukan sebagai gangguan atau penyakit. Selain itu, perspektif ini memandang penyandang disabilitas adalah manusia yang bermartabat, sehingga setiap hambatan yang dihadapi dalam rangka pemenuhan hak-haknya haruslah dikurangi atau bahkan dihilangkan. Dengan pendekatan human rights model, maka pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas adalah kewajiban negara, bukan lagi suatu bentuk kedermawanan atau bantuan sosial yang bersifat pilihan.

Cara Pandang human rights model tersebut menjadi dasar dalam prinsip-prinsip yang tertuang dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas atau Convention on the Rights for Person with Disabilities (CRPD).  Indonesia sudah menandatangani dan meratifikasinya dalam hukum nasional, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Ratifikasi itu sekaligus membawa pendekatan baru dalam upaya pelindungan penyandang disabilitas, tidak lagi hanya dari aspek kesejahteraan sosial, tetapi juga dari aspek Hak Asasi Manusia (HAM). Prinsip-prinsip dalam CRPD kemudian diadaptasi kepada birokrasi dan urusan pemerintahan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU 8/2016). UU ini mengatur 25 sektor pemerintahan yang terkait dengan isu disabilitas, termasuk hak atas pekerjaan yang melingkupi urusan ketenagakerjaan dan kepegawaian.

B. Pelindungan Hak Atas Pekerjaan Bagi Penyandang Disabilitas
Pada dasarnya prinsip-prinsip dalam CRPD bukanlah hal baru di Indonesia, karena memiliki kesesuaian dengan jaminan HAM dalam UUD NRI 1945. Ketentuan-ketentuan pada Bab XA tentang HAM UUD NRI 1945 menggunakan subyek “setiap orang”, “setiap anak”, atau “setiap warga negara” yang mengindikasikan bahwa jaminan yang diberikan tidak mengenal pengecualian, sehingga harus dimaknai mencakup seluruh kelompok orang yang ada di Indonesia, termasuk penyandang disabilitas. Selain itu, pada Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Pasal itu menjamin diperkenankannya pendekatan atau mekanisme yang berbeda bagi pihak tertentu demi tercapainya persamaan dan keadilan. Oleh karena itu, jaminan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945 memberikan ruang untuk penyediaan berbagai fasilitas, layanan, atau mekanisme untuk mengakomodasi keunikan atau kebutuhan dari penyandang disabilitas.

Bentuk “kemudahan” dan “pelakuan khusus” yang tercantum dalam Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945 dan selaras dengan prinsip dalam CRPD tersebut diatur dalam UU 8/2016 dengan istilah aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Dalam Pasal 1 angka 8 UU 8/2016 menyebutkan bahwa, “Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas guna mewujudkan Kesamaan Kesempatan”, sedangkan dalam Pasal 1 angka 9 mendefinisikan “Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan”. Baik aksesibilitas maupun akomodasi yang layak disediakan untuk menghilangkan hambatan yang kerap dihadapi oleh penyandang disabilitas, baik dalam bentuk menyediakan sarana, memodifikasi mekanisme, menyesuaikan tenggat waktu tertentu, sampai kepada menyediakan sosialisasi terkait pemahaman mengenai disabilitas kepada masyarakat. Penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak ini merupakan bagian dari tanggung jawab Pemerintah, sebagai pelaksanaan tugas negara dalam penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan HAM warga negaranya.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu sektor yang tercakup dalam jaminan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan HAM penyandang disabilitas pada UU 8/2016 adalah hak atas pekerjaan, yang salah satunya mencakup aspek kepegawaian. Ketentuan-ketentuan itu harus dimaknai sebagai pelengkap dari prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), diantaranya ketentuan dalam Pasal 2 huruf j dan l yang mengatur perihal asas dalam penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN, yaitu asas non diskriminatif serta asas keadilan dan kesetaraan. Selain itu, ada pula Pasal 1 angka 22 UU ASN yang mendefinisikan dari sistem merit, yaitu

“… kebijakan dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.”

Dalam sistem merit yang dianut dalam UU ASN penilaian terhadap seseorang didasarkan kepada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dan tidak berdasar kepada kondisi disabilitas atau hambatan dalam fisik dan/atau mentalnya. Pada ketentuan penutup, UU ASN mencantumkan dalam Pasal 132 bahwa,

“Kebijakan dan Manajemen ASN yang diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan dengan memperhatikan kekhususan daerah tertentu dan warga negara dengan kebutuhan khusus.”

Pasal tersebut dengan tegas menutup semua ketentuan yang ada dalam UU ASN dengan menyuratkan bahwa perlu ada perhatian lebih terhadap warga negara dengan kebutuhan khusus, yang kemudian diatur lebih spesifik dalam UU 8/2016 dengan lingkup penyandang disabilitas. Ketentuan-ketentuan tersebut dalam UU ASN haruslah menjiwai dalam peraturan pelaksanannya, sehingga apabila tidak tercantum dalam mekanisme atau prosedur formil dapat dikatakan ada kelalaian dalam memastikan terlaksananya ketentuan peraturan perundang-undangan.

C. Pelaksanaan Hak Atas Pekerjaan Sebagai ASN Bagi Penyandang Disabilitas
Dalam Pasal 11 UU 8/2016 tercantum delapan hak penyandang disabilitas yang termasuk dalam lingkup hak atas pekerjaan, yang tiga diantaranya adalah hak memperoleh akomodasi yang layak, hak tidak diberhentikan karena alasan disabilitas, dan hak mendapatkan program kembali bekerja. Dalam hal hak memperoleh akomodasi yang layak, terkait dengan ketentuan dalam Pasal 50 ayat (1) UU 8/2016 yang menempatkan pemberi kerja sebagai pihak yang berkewajiban menyediakan akomodasi yang layak bagi tenaga kerja disabilitas. Dalam konteks ASN, maka pemberi kerja dalam hal ini adalah Pemerintah, khususnya Kementerian/Lembaga yang mempekerjakannya. Kewajiban penyediaan akomodasi yang layak ini harus dipenuhi pertama, untuk menghadirkan kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi ASN penyandang disabilitas. Setelah terpenuhi akomodasi yang layak, maka segala ketentuan mengenai manajemen ASN baru dapat diterapkan secara adil.

Hak berikutnya adalah terkait dengan hak untuk tidak diberhentikan karena alasan disabilitas. Hak ini perlu dipahami dengan pendekatan materiil tidak semata formil, yaitu memaknai “alasan disabilitas” tidak hanya yang tertulis dalam Surat Keputusan pemberhentian, tetapi juga melihat kepada faktor-faktor penyebab alasan pemberhentian itu digunakan. Misalnya seorang ASN yang terancam dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat, karena dinilai melanggar ketentuan masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja sebagaimana dimaksud Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil perlu untuk diketahui alasan sebenarnya seorang ASN itu tidak masuk kerja. Jika ASN tersebut tidak masuk karena dalam kondisi mengalami hambatan baik fisik atau mental sehingga tidak memungkinkan untuk bekerja, maka pejabat terkait wajib menyediakan akomodasi yang layak, sebagai pelaksanaan dari UU 8/2016 dan UU ASN untuk mendukung ASN tersebut tetap bekerja dan tidak dijatuhkan hukuman pemberhentian. Jika keputusan pemberhentian sudah dibuat, tanpa mempertimbangkan kondisi disabilitas yang dialami ASN bersangkutan, maka patut diduga keputusan pemberhentian itu dibuat dengan tidak cermat, sehingga melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), yaitu asas kecermatan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam Penjelasannya “asas kecermatan” dapat dimaknai sebagai berikut.

“asas yang mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan.”

Sama halnya juga terkait dengan batas waktu banding administratif yang diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2021 tentang Upaya Administratif dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (PP 79/2021), yaitu selama empat belas hari. Jika ada banding administratif yang diajukan melebihi empat belas hari, maka ada penetapan BPASN yang menyatakan tidak dapat diterima (Pasal 12 ayat (1) PP 79/2021). Dalam membuat penetapan inilah seharusnya pejabat terkait melihat apa alasan keterlambatan, tidak serta merta menetapkannya. Jika alasannya adalah adanya hambatan fisik atau mental yang menghalangi sama sekali seseorang untuk mengajukan banding administratif dalam jangka waktu yang ditentukan, maka wajib disediakan akomodasi yang layak, yaitu dalam bentuk perpanjangan waktu sehingga banding administratif dapat diterima. Jika penetapan itu dibuat tanpa mempertimbangkan kondisi disabilitas dari pengaju, maka dapat diduga penetapan dilajukan dengan melanggar AUPB khususnya asas kecermatan.

D. Menemukan Keadilan Substantif Dalam Pelaksanaan Hak ASN Disabilitas
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa tujuan akhir dari ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945 adalah “…guna mencapai persamaan dan keadilan”, sehingga tujuan yang sama seharusnya digunakan dalam peraturan pelaksanaannya. Dalam konteks kepegawaian pun, baik dalam UU ASN maupun UU 8/2016 prinsip yang diusung adalah non diskriminatif. Oleh karena itu, seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan dibentuk untuk mencapai keadilan yang tidak hanya sekadar formalistis, tetapi harus mencapai keadilan substantif.

Argumentasi dari masih adanya tindakan administratif yang bersifat diskriminatif adalah ketiadaan peraturan pelaksanaan, yang sebenarnya adalah bentuk kelalaian dalam menjalankan peraturan perundang-undangan diatasnya. Oleh karena itu, kelalaian yang terjadi harus dikoreksi, tidak justru menjadi dasar untuk melegalisasi tindakan tersebut. Jika banding administratif tidak mampu melakukan peran korektif dari Keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), maka jalur peradilan di wilayah Pengadilan Tata Usaha Negara lah yang menjadi tumpuan berikutnya untuk melakukan koreksi terhadap keputusan yang dibuat tidak cermat dan hanya melihat dari aspel formal, sehingga menciptakan akibat hukum yang diskriminatif.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan dalam bagian Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa,

“Bila terjadi benturan antara kaidah hukum substantif dengan kaidah hukum formal secara kasuistis, dalam hal kepastian hak atau status hukum seseorang yang telah jelas melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, baik melalui putusan pengadilan perdata, putusan pengadilan pidana, ataupun putusan pengadilan tata usaha negara, … , adalah dipandang lebih tepat dan adil apabila Hakim Peratun lebih mengutamakan keadilan substantif dibandingkan keadilan formal”.

Adapun pertimbangan dari pernyataan itu adalah sebagai berikut: Pertama, tujuan hukum Peradilan Tata Usaha Negara adalah dalam rangka melakukan harmonisasi menuju tujuan utama kebenaran materiil; Kedua, fungsi hukum formal adalah untuk menegakkan kaidah hukum materiil atau substantif; Ketiga, hakim harus memilih satu cabang hukum yang lebih memihak keadilan (Una Via); dan Keempat, ketentuan Pasal 24 UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman bertujuan menegakkan hukum dan keadilan.

Upaya untuk mencapai keadilan substantif bagi penyandang disabilitas pada dasarnya sudah dilaksanakan oleh berbagai pihak sesuai dengan tugas dan fungsinya. Di lingkungan peradilan sudah ada gugatan TUN yang diajukan seorang penyandang disabilitas netra yang dinyatakan tidak lulus Calon Aparatur Sipil Negara karena alasan disabilitas, yang dimenangkan dalam tahap kasasi oleh Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor 471 K/TUN/2021. Selain itu, dalam uji materiil UU terhadap UUD NRI 1945 oleh Mahkamah Konstitusi sudah pernah menyatakan inkonstitusional dalam Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015, terhadap ketentuan yang mengatur bahwa penyandang disabilitas mental tidak dapat didaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah, berdasarkan Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015. Kedua putusan itu berhasil melakukan koreksi terhadap praktik diskriminatif dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan. Dampaknya adalah berdasarkan Putusan MA Nomor 471 K/TUN/2021 Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi terus menyempurnakan mekanisme perekrutan ASN dari penyandang disabilitas, baik pada formasi disabilitas maupun formasi lainnya. Sedangkan Putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015 berdampak kepada upaya perbaikan mekanisme pendaftaran pemilih, baik dalam Pemilukada maupun Pemilu, oleh Komisi Pemilihan Umum.

Unduh File:
Fajri_Tulisan Keterangan Ahli PTUN_Disabilitas

Dipublikasikan oleh:

Fajri Nursyamsi

Fajri merupakan pengajar dan Ketua Bidang Studi Konstitusi dan Legisprudensi di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Selain itu, Fajri juga merupakan Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).