Hukum selalu soal mengatur perilaku orang-orang yang ada dalam suatu komunitas. Apabila kita mengandaikan hukum sebagai makhluk, tugas hukum berat karena perilaku dan rasa keadilan yang dimiliki manusia-manusia dalam suatu masyarakat pasti beragam. Masalahnya, hukum juga efektif sebagai senjata bagi penguasa berwatak jahat, apalagi hukum pidana. Dalam hukum pidana, atas nama ketertiban dan kepentingan publik, seseorang bisa dihukum fisiknya berupa pidana penjara, bahkan hukuman mati.
Namun, tentu hukum bukan satu makhluk yang tadi kita andaikan. Hukum berisi banyak manusia yang ada dalam institusi-institusi dengan banyak manusia di dalamnya, yang bertemu kepentingan dengan banyak institusi lain dalam negara. Di sini muncul dilema-dilema soal bagaimana hukum ditegakkan. Penegakan hukum yang efektif membutuhkan kewenangan institusi penegakan hukum yang memadai untuk mengemban tugas berat itu. Namun, kewenangan yang terlalu besar selalu berpotensi disalahgunakan.
Meskipun tak seperti yang terjadi pada masa ”pembersihan” komunisme pada akhir 1960-an dan 1970-an dengan banyaknya penghukuman dan pembunuhan di luar pengadilan (extra-judicial killing), hukum yang tampak mengikuti semua aturan main pidana bisa pula disalahgunakan sepanjang pemilik otoritas hukum menginginkannya.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHOPara pendukung Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong membawa kue seusai mengikuti sidang perdana kasus impor gula di Kementerian Perdagangan 2015-2016 dengan terdakwa Tom Lembong di Pengadilan Tipikor, Jakarta, pada 6 Maret 2025.
Belakangan ini, misalnya, kita melihat ada nalar hukum yang terasa dikoyak-koyak dalam kasus Tom Lembong. Ia dinyatakan korupsi meski unsur-unsur tindak pidana korupsi tak berhasil dibuktikan dalam sidang, mulai dari niat jahat yang tak terbukti, keuntungan yang tak pernah mengalir kepada dirinya, sampai fakta tentang kondisi negara yang sedang membutuhkan kebijakan impor. Bahkan, uniknya, hakim menggunakan anggapan bahwa ia mengedepankan ekonomi kapitalis ketimbang ekonomi Pancasila sebagai alasan yang memberatkan pidananya.
Namun, ini bukan soal Tom Lembong belaka, ini soal hukum yang dijadikan alat politik. Situasi serupa, dengan segala perdebatannya, pernah terjadi pada mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang sudah menjalani 2 tahun penjara.
Begitu pula dengan upaya mengkriminalkan pembela hak asasi manusia dan aktivis lingkungan hidup. Bukan tidak mungkin, akan ada lagi kasus-kasus yang mirip untuk memberi ”hukuman” politik melalui hukum pidana.
KOMPAS/GUNAWANInfografik riset Citra Positif Lembaga Penegakan Hukum dalam Penilaian Publik
Soalnya ada pada otoritas penegakan hukum: kepolisian, kejaksaan, dan hakim. Dalam negara hukum, kewenangan harus ada batasnya, harus bisa diawasi, dan terang benderang bagi warga. Itulah yang dinamakan akuntabilitas. Aturan main tentang penegakan hukum, di mana pun di seluruh dunia, adalah soal memastikan penegakan hukum yang adil. Paradigmanya harus soal pencarian keadilan, bukan penguatan institusi mana pun.
Upaya-upaya paksa dalam penegakan hukum, seperti penahanan dan penyitaan, harus diberi batasan maksimal dan bisa dikontrol. Jika tidak, penyitaan aset atau barang, misalnya, apabila dilakukan oleh oknum yang tak bertanggung jawab, dapat ditukar dengan uang. Wewenang untuk menuduh dan menyatakan tersangka, di tangan orang-orang yang tak bisa diawasi, bisa menjadi ladang uang.
Di Indonesia, aturan main mengenai penegakan hukum dimuat dalam sebuah undang-undang yang bernama hukum acara pidana. Saat ini, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sedang dalam pembahasan di DPR bersama dengan pemerintah.
Harapannya, segala macam cerita tentang penyalahgunaan wewenang, kasus salah tangkap, dan penyiksaan dalam tahanan tidak akan terjadi lagi. Tagar #NoViralNoJustice karena laporan yang tak direspons harusnya bisa kita hentikan dengan reformasi hukum acara pidana.
Segala klaim tentang kehebatan bangsa ini akan menjadi omong kosong belaka jika penegakan hukum bisa dengan mudah dijadikan alat politik dan korupsi. Tanpa kepastian hukum yang berkeadilan, tak hanya warga biasa yang terjepit, dunia bisnis juga akan loyo.
Dengan penegakan hukum yang rentan disalahgunakan, investor akan dibebani biaya yang tak perlu karena mereka harus bermanuver mencari perlindungan hukum saat harus berhadapan dengan hukum. Bayangkan, negara akan dioperasikan dengan hukum rimba: siapa yang kuat, dia yang menang.
Oleh karena itu, satu-satunya jalan adalah dengan membahas secara lebih terbuka dan membongkar berbagai pasal yang masih minim pengawasan dalam draf naskah terakhir KUHAP. Jangan sampai, momentum pembaruan kitab pelindung pencari keadilan dijadikan kitab perlombaan penguatan institusi penegakan hukum belaka.
Dipublikasikan oleh:
