Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Gita Putri Damayana menjadi salah satu pembicara dalam Indonesia Council Open Conference (ICOC) 2025 yang diselenggarakan oleh The Asia Institute and the Faculty of Arts at the University of Melbourne pada Rabu (9/7/2025) di Melbourne, Australia. ICOC 2025 yang bertajuk Indonesia Now: Eighty Years of Independence adalah konferensi multidisiplin dua tahunan yang menjadi wadah bagi para akademisi untuk mempresentasikan karya-karya baru dan inovatif mengenai Indonesia.
Dalam kegiatan tersebut, Gita menyampaikan materi bertajuk “Decoding The “Political Will” Narrative for Indonesian Women: Navigating The Domestic Worker Bill vs Sexual Violence Law in Indonesia’s Legislative Process” yang membandingkan proses legislasi dua undang-undang yang krusial bagi perempuan, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berhasil disahkan dan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang masih terhambat hingga saat ini.
Menurut Gita, kemauan politik tidaklah cukup menjadi menjadi faktor utama mengapa RUU PPRT yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2004 belum kunjung disahkan hingga kini. Di sisi lain, UU TPKS yang masuk Prolegnas pada 2016 berhasil disahkan pada 9 Mei 2022, setelah mendapat komitmen kuat dari Presiden Joko Widodo pada Januari 2022. Perlu ada upaya untuk membongkar lebih dalam untuk menjawab mengapa sebuah RUU yang sangat dinanti para pemangku kepentingan tidak kunjung disahkan oleh DPR dan Presiden selama hampir 20 tahun.
Terdapat tiga faktor penentu yang membedakan keberhasilan UU TPKS dan buntunya RUU PPRT. Menurut Gita, hal tersebut ditentukan oleh ada atau tidaknya orkestrasi, sifat dan pengaruh dari aktor sektor swasta, serta kapasitas strategis dari masyarakat sipil. Ia juga menggarisbawahi adanya “Cost of Inaction” atau dampak negatif dari penundaan pengesahan RUU PPRT, seperti hilangnya produktivitas dan meningkatnya beban sosial. Sebaliknya, pengesahan RUU ini PPRT berpotensi memberikan “Benefit of Formalization” berupa penciptaan lapangan kerja formal dan peningkatan daya beli bagi jutaan pekerja rumah tangga di Indonesia.