preloader

Legislasi untuk Siapa?

Akhir dan awal tahun identik dengan refleksi dan resolusi. Begitu pula dengan kinerja legislasi. Hal yang biasanya dibahas di Senayan: apa saja undang-undang  yang sudah selesai dibahas pada tahun yang berlalu dan apa saja yang akan dibahas pada tahun yang akan datang. Daftar ini yang disebut sebagai prioritas tahunan, yang diturunkan dari Program Legislasi Nasional yang berlaku selama 5 tahun masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Masalahnya, refleksi tentang kinerja legislasi biasanya hanya melihat jumlah undang-undang (UU) yang dihasilkan—yang sebenarnya juga tidak memuaskan—dan bukan kualitasnya. Tahun 2021, misalnya, hanya tercapai delapan  dari 33 target jumlah UU yang dihasilkan. Pada 2020, diwarnai awal pandemi Covid-19, hanya tiga dari 37 target UU dihasilkan DPR.

Pada 2019, tercapai 14 dari target 55 UU. Dari delapan  undang-undang yang dihasilkan tahun 2021 pun, tiga adalah ratifikasi perjanjian internasional yang isinya sudah selesai dibahas oleh Pemerintah RI dengan negara lain sehingga tak lagi perlu diperdebatkan. Sementara dua UU adalah bagian dari mekanisme penganggaran rutin.

Hal yang lebih memprihatinkan, seakan tidak ada keterkaitan antara kebutuhan warga dan legislasi yang dihasilkan DPR dan pemerintah. Soal kekerasan seksual, misalnya, yang sudah dalam kondisi darurat sejak bertahun lalu, tak membuat DPR menyegerakan penyusunan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Begitu pula dengan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah 18 tahun tertahan di DPR.

Sebaliknya, di saat warga membutuhkan komitmen yang lebih tinggi untuk memberantas korupsi, DPR dan pemerintah justru melumpuhkan KPK dengan merevisi Undang-Undang KPK pada 2019. Begitu pula, dalam kondisi saat seharusnya kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan dijaga,  UU  Cipta Kerja justru yang dibuat untuk memuluskan investasi.

Seakan-akan tidak ada sambungan antara wakil rakyat dan orang-orang yang diwakilinya. Padahal, kekuasaan DPR bukanlah kekuasaan karena keturunan, seperti priayi pada masa lalu. Kekuasaan DPR didapat dari pemilihan, yang menghasilkan kuasa wicara (Dhakidae, 2000), yaitu kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan warga, karena mereka dipilih  warga. Namun, yang terjadi, warga ditinggalkan saat kursi kuasa wicara sudah didapatkan.
Namun, juga tidak adil untuk sepenuhnya menyalahkan DPR. UUD 1945 mengatakan, setiap UU membutuhkan persetujuan DPR dan Presiden. Presiden punya andil separuh dalam setiap UU  yang dihasilkan. Lebih jauh, sistem presidensialisme Indonesia dengan banyak partai politik  bisa memunculkan presiden yang terlalu kuat dan legislatif yang lemah.

Banyaknya partai politik, dikombinasikan dengan adanya ambang batas pencalonan presiden, membuat partai pengusung presiden berupaya  berkoalisi. Tanpa koalisi, eksekutif tidak akan bisa menelurkan kebijakan yang diinginkannya karena, apabila sendirian dalam sistem multipartai, partai pengusungnya pasti minoritas di DPR.
Hal ini adalah salah satu dari aspek yang dikatakan sebagai bahayanya sistem presidensialisme atau The Perils of Presidentialism oleh Juan Linz (1990; 1994). Disebut berbahaya karena ada kecenderungan kekuasaan mayoritas yang sangat kuat saat presiden berhasil membentuk koalisi yang besar. Akibatnya, kekuatan penyeimbang hampir tak ada karena kebanyakan partai sudah direkrut sebagai anggota koalisi. Eksekutif jadi bisa memuluskan semua rencananya, nyaris tanpa kontrol yang berarti.

Inilah yang tengah terjadi pada saat ini. Apabila kita perhatikan UU yang dihasilkan oleh DPR dan Presiden belakangan ini, nyaris semua dibahas tanpa perdebatan sengit. Hal ini positif jika legislasi yang dihasilkan memang sejalan dengan kebutuhan warga. Masalahnya, dengan paradigma pembangunanisme yang diusung eksekutif saat ini, warga tidak diuntungkan. Pihak yang diuntungkan hanya oligarki, yaitu segelintir politisi pemodal dan pemodal politisi karena legislasi dibuat untuk menguntungkan mereka.

Lihat saja UU Cipta Kerja, yang dibuat dalam waktu hanya sembilan bulan, sebuah waktu yang sangat singkat untuk sebuah UU setebal hampir  1.200 halaman dan mengubah 78 UU lainnya. Isi UU Cipta Kerja sangat menguntungkan pebisnis, tetapi merugikan pekerja dan merusak lingkungan.

Belakangan, Mahkamah Konstitusi menyatakan proses pembuatan UU tersebut  inkonstitusional bersyarat, yang artinya seharusnya UU itu dan segala peraturan turunannya tidak dapat diberlakukan. Namun, pemerintah berkeras  tetap melaksanakannya.

Jadi, patut bagi kita untuk bertanya, untuk siapa legislasi dibuat? Untuk warga yang diwakili oleh DPR dan Presiden? Atau untuk segelintir orang yang punya kekuasaan melalui kekuatan modal?

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/01/06/legislasi-untuk-siapa

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.