preloader

Dekolonialisasi Hukum Pidana

Ilustrasi Hukum . (ilustrasi: TEMPO)

AKHIRNYA dia datang: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah setuju rancangan itu disahkan menjadi undang-undang pada 6 Desember 2022, setelah melalui banyak kontroversi, setelah melalui proses panjang sejak 1963. Tapi kontroversi setelah sah pun tak berhenti.

Bila hanya melihat kapan dan siapa pembuatnya, dengan sukacita kita akan menyambut KUHP ini sebagai langkah besar Indonesia meninggalkan produk hukumkolonial. Tapi kolonialisme bukan sekadar era. Kolonialisme adalah soal eksploitasi tanah air oleh sekelompok orang. Maka untuk mengatakan KUHP sebagai titikberangkat dari kolonialisme mengharuskan kita untuk melihatnya dengan pendekatan formulasi hukum pidana dan mensimulasikan dampaknya yang mungkin terjadisetelah pasal-pasal KUHP ini kelak berlaku.

Menilai teks secara parsial, apalagi dengan kacamata nasionalisme, akan membuat kita tersesat dalam ilusi tentang kebaruan. Setidaknya ada dua penanda pentingdekolonialisasi: kebebasan berpendapat dan gagasan kebebasan dalam kerangka negara hukum.

Pada masa lalu, kritik orang banyak kepada pemerintahan dianggap sebagai serangan terhadap penguasa kolonial. Karena itu, segala bentuk kritik melalui media atauunjuk rasa dianggap berbahaya. Pemerintah kolonial menganggap kritik bisa menggoyahkan kekuasaan yang sedang sibuk mengisap sumber daya alam.

Kolonialisme juga memandang isu ketertiban sebagai situasi penting untuk melanggengkan kekuasaan. Masyarakat jajahan yang tertib dan pasif adalah alat utamauntuk memastikan kenyamanan penguasa melakukan eksploitasi. Karena itu, aturan main dibuat untuk mendisiplinkan masyarakat agar tak berbuat onar yang bisamengganggu transaksi dagang dan hidup penguasa.

Setelah masa kolonialisme, dan kita memasuki era demokrasi, kritik dan unjuk rasa adalah kebutuhan. Sebab, demokrasi menuntut keterlibatan banyak orang. Karenaitu, prinsip utama sistem politik ini adalah kebebasan berpendapat. Kritik tak akan bisa tanpa tiap orang bebas berpikir dan menyampaikannya.

Demokrasi memang bukan kebebasan tanpa batas. Tapi demokrasi membutuhkan suasana yang memungkinkan (enabling environment) suara orang didengar secarabermakna, agar prinsip utama tentang pemerintahan oleh dan untuk orang banyak betul-betul terlaksana. Dari sini, “ketertiban” dalam demokrasi adalah sebuah“chaos”, sebuah “heteroglossia”.

Di masa kolonial, ketertiban dibuat dan dikondisikan untuk membuat penguasa nyaman, juga oleh semua pihak yang mempunyai privilese sebagai kelompok mayoritasdan pemilik modal. Sebab, ketertiban adalah soal sebagaimana hidup dan tata yang diharapkan dengan tujuan mencapai kenyamanan. Pertanyaannya adalahkenyamanan hidup untuk siapa? Agar hidup nyaman sebagai kelompok mayoritas, perilaku dengan ukuran moralitas kelompok orang yang banyak pun selalu didoronguntuk diangkat menjadi hukum negara. Begitu pula kenyamanan hidup para pemilik modal.

Ketika penegakan hukum bisa dikendalikan dengan uang dan politik, hidup orang-orang biasa dibuat sulit agar mereka yang bisa membeli hukum menjadi nyaman.Agaknya, berangkat dari titik ini para pembuat Rancangan KUHP (RKUHP) merumuskan pasal-pasal yang akan mengatur hidup orang banyak ini. Mereka yangmayoritas, mereka yang berkuasa, menjadi terlindung oleh pasal-pasal yang tak berlaku secara umum.

Pasal sanksi dan hukuman bagi mereka yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan, misalnya, tak akan mengenai penguasa atau pejabat, tapi mereka yang takcukup biaya dan sumber daya untuk membeli pembatalan hukuman yang diatur oleh pasal ini. Dengan kata lain, hukum dibuat lentur agar mudah ditafsirkan denganuang dan kekuasaan.

Chaos pun terjadi. Ketidakadilan dan utak-atik hukum sesuai dengan kepentingan akan makin menjadi. Tanpa pasal ini saja sudah banyak persekusi atau tindakan mainhakim sendiri kepada mereka yang dianggap mencederai moral karena berhubungan secara seksual tanpa lembaga pernikahan. Apalagi nanti ketika persepsi tentangmoralitas makin kuat karena pasal ini sudah diakui resmi dalam KUHP.

Kerancuan tentang kolonialisme dan nasionalisme makin parah saat KUHP ini melarang penyebarluasan ideologi selain Pancasila dan mengatur keberadaan hukumlokal yang dianggap masih ada (living law). Padahal ideologi menyangkut jalan pikiran. Maka keliru besar jika hukum pidana mengatur pikiran. Di mana-mana hukumpidana mengatur tindakan. Bagaimana mungkin demokrasi akan tumbuh jika terlarang berpikir berbeda.

Dalih menghormati hukum lokal dengan memasukkannya ke KUHP juga tak mencerminkan keadilan. Sepanjang negara belum mengakui dan memenuhi hak-hakmasyarakat adat dan etnis minoritas, hal tersebut akan mendorong kelompok masyarakat mayoritas menjadi penentu perilaku mereka yang minoritas.

Repotnya, argumen yang menolak KUHP dengan dalih demokrasi acap direspons aparatur negara bahwa hukum pidana ini hendak memoderasi hukum melalui delikaduan, menambahkan pasal penjelasan, atau menjanjikan peraturan pelaksanaan yang lebih baik. Konon, menjadikan hak-hak privat sebagai delik aduan membuatpengadu datang dari mereka yang merasa dirugikan. Sedangkan pasal penjelasan diharapkan memberi penjelasan tambahan pada pasal yang dicemaskan.

Yang luput dari perhatian: pasal-pasal itu sendiri sebenarnya adalah penanda kolonialisme sehingga tak layak lagi berada dalam KUHP negara demokratis sepertiIndonesia. Pembuat undang-undang tidak bisa berasumsi bahwa kesalahan selalu berada pada tataran teknis pelaksanaan. Jika hanya berpikir seperti ini, hukum hanyadijalankan dengan menggantungkan harapan pada penegak hukum dan pelaksana undang-undang.

KUHP adalah kitab rujukan utama bagi pelaksanaan hukum pidana di Indonesia. Argumen tentang presiden mana yang suka dan tidak suka mengadukan penghinaankepada dirinya tidak membuat karakter kolonial menjadi hilang.

Dengan alasan yang sama, kita tidak bisa berargumen bahwa larangan hubungan seksual konsensual di luar nikah tak perlu dicemaskan karena hanya bisa diadukanoleh anggota keluarga. Pasal ini bisa berujung ketidakadilan pada saat surat nikah negara dijadikan rujukan dalam penegakan hukum, sementara banyak hambatan akseskeadilan bagi banyak kelompok masyarakat tradisional di Indonesia.

Kita jadi memperdebatkan pelaksanaan yang sifatnya sangat teknis, seperti tentang turis asing dan surat nikah, karena pasal-pasal seperti ini memang tak selayaknyaada di dalam KUHP. Lensa  utama  membuat hukum adalah politik hukum atau tujuan utama mengapa hukum itu dibuat. Bila memang ada politik hukum untukdekolonialisasi, perumusannya mesti dimulai dengan mengubah paradigma tentang hak dan ketertiban.

Kata-kata memang menjadi obyek negosiasi dalam pembuatan hukum. Namun, pada akhirnya, semua kata berdiri di atas prinsip negara hukum. Pembuat undang-undang kerap beralasan bahwa mereka harus menjadi penengah bagi dua pendapat yang berseberangan, misalnya dalam hal moralitas. Mereka juga sering mengatakanbahwa pasti ada kelompok yang tidak puas karena tidak semua keinginan bisa dipenuhi.

Tentu saja. Undang-undang bukan daftar keinginan, melainkan aturan main bersama berdasarkan konstitusi. Begitu pun pembuat undang-undang bukan negosiatorkeinginan, melainkan pelaksana konstitusi. Yang seharusnya dijadikan ukuran dalam membuat hukum adalah nilai-nilai konstitusionalisme berlandaskan hak asasimanusia dan pembatasan kekuasaan, bukan siapa yang punya posisi tawar lebih baik karena mayoritas atau besarnya kekuasaan.

Pada akhirnya, pembaruan sudah selayaknya ada untuk aturan main hukum pidana yang berusia lebih dari seabad. Misalnya soal jenis pidana kerja sosial, perapian jenispemidanaan, dan pemutakhiran untuk ancaman pidana seperti pencurian dan penggelapan. Begitu banyak perkembangan dalam pemikiran dan praktik hukum pidanayang sudah harus diadopsi. Tapi pasal-pasal yang berjiwa kolonialisme mengharuskan pembuat undang-undang untuk tak berhenti merevisi KUHP.

Perubahan sistem hukum dalam menyusun KUHP harus jadi ukuran utama, bukan soal siapa yang akan melaksanakannya. Hukum kolonial memang harus ditinggalkankarena memandang kebebasan dan ketertiban dalam kacamata eksploitasi oleh kelompok yang berkuasa, bukan soal warna kulit dan tingkat “nasionalisme” orang yangmembuat hukum.

 

Sumber: https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/167633/kuhp-mengancam-demokrasi

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.