preloader

Belantara Benturan Kepentingan

Mengapa pejabat tidak boleh berbisnis? Bukankah bekerja adalah hak asasi manusia? Apa yang salah apabila pejabat dan keluarganya melakukan transaksi dan bertambah kaya ketika menjabat?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu banyak muncul belakangan ini, saat bisnis pejabat dan keluarganya semakin marak dipertontonkan kepada publik. Yang dilupakan dalam argumen tentang hak berbisnis adalah tanggung jawab publik yang dimiliki oleh pejabat. Begitu seseorang memegang amanah untuk mengambil keputusan yang akan berpengaruh pada publik, maka ia harus diisolasi dari semua situasi personal yang mungkin memengaruhi kualitas keputusan atau tindakannya secara profesional. Situasi yang bisa menimbulkan dilema—antara yang berguna bagi dirinya sendiri atau bagi publik yang harusnya mendapat manfaat—inilah yang dikenal dengan benturan kepentingan atau conflict of interest.

Tak hanya dalam wilayah kenegaraan, dalam dunia bisnis pun, konsep benturan kepentingan ini sangat penting. Inti pesan dalam soal benturan kepentingan ini adalah potensi bahwa ada bagian dari diri manusia yang memungkinkan ia mengambil keputusan untuk kepentingan diri dan keluarga atau orang-orang yang dekat dengannya.

Ada beberapa bentuk benturan kepentingan, antara lain keterlibatan dalam proses bisnis, afiliasi keluarga atau kerabat pemilik bisnis (OECD/Organisation for Economic Co-operation and Development, 2007).

Soal benturan kepentingan ini sangat serius. Di beberapa negara, kesadaran akan bahaya benturan kepentingan bahkan menimbulkan adanya bentuk blind trust, yaitu suatu wadah manajemen keuangan bagi seseorang yang mempunyai benturan kepentingan agar semua kepentingan finansialnya diatur oleh wadah ini tanpa ia bisa mengetahui apa yang dilakukan terhadap uangnya. Dengan begitu, diharapkan ia bisa mengambil keputusan tanpa dipengaruhi oleh kepentingannya.

Benturan kepentingan cenderung menyebabkan perilaku koruptif dan pengambilan keputusan yang merugikan kepentingan publik. Sejarah Indonesia menjadi buktinya. Begitu pemerintahan Soeharto jatuh, kita kerap mendengar istilah KKN atau korupsi, kolusi, dan nepotisme. Nepotisme adalah istilah yang diberikan untuk situasi benturan kepentingan.

Majelis Permusyawaratan Rakyat waktu itu langsung menerbitkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Keputusan politik tertinggi pada saat itu kemudian diperjelas dalam UU No 28 Tahun 1999 dengan judul yang sama. Peraturan itu menyebutkan, nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Undang-undang ini lantas diturunkan ke dalam berbagai peraturan lain. Bahkan ada pula berbagai pedoman bagi aparatur sipil negara di tingkat kementerian/lembaga untuk mencegah benturan kepentingan. Biasanya, pedoman itu mensyaratkan adanya pernyataan mengenai potensi benturan kepentingan bagi pihak-pihak yang berwenang mengambil keputusan. Tujuannya, agar unit pengawas internal lembaga dapat memetakan secara internal untuk mencegah korupsi.

Namun, pedoman semacam itu mempunyai dua kelemahan. Pertama, pedoman itu kerap tidak dilaksanakan secara konsisten dan ditindaklanjuti oleh pengawas internal lembaga. Kedua, pedoman itu sering kali justru tak menyentuh pejabat-pejabat pada tingkatan yang tinggi.

Benturan kepentingan memang belum tentu langsung dapat dibuktikan sebagai tindak pidana korupsi. Sebab, tindak pidana korupsi pada prinsipnya mensyaratkan adanya kerugian negara yang sudah nyata. Padahal, keuntungan yang mungkin timbul dari benturan kepentingan tidak hanya dalam bentuk uang tunai, tetapi bisa dalam bentuk keuntungan tidak langsung yang dapat mendukung kepentingan pribadi, keluarga, korporasi, bahkan partai politik. Bentuk aliran dananya lantas dapat dikualifikasi lebih lanjut sesuai hukum pidana, misalnya dalam bentuk suap atau gratifikasi atau lainnya. Namun, terlepas dari itu semua, tindakan untuk membiarkan adanya benturan kepentingan sudah salah secara etik karena kepentingan warga sudah dirugikan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Masalahnya, etik bukan hal penting bagi pejabat publik dan politisi belakangan ini. Ditambah lagi, populisme yang menyebabkan sebagian masyarakat kehilangan daya kritik dan mendiamkan praktik-praktik yang penuh diwarnai benturan kepentingan. Cukup banyak studi yang menunjukkan keterkaitan beberapa pejabat tinggi negara ataupun keluarga dan kerabatnya dengan perusahaan di berbagai sektor, seperti pertambangan dan infrastruktur. Namun, belakangan ini semua dianggap wajar saja, sementara orang-orang yang mengungkapkan relasi-relasi ini dibawa ke ranah hukum.

Cara pandang seperti ini harus dibongkar. Edukasi tentang etik dan kepatutan bagi pejabat harus dikuatkan, sementara penegakan hukum harus konsisten. Jika tidak, belantara benturan kepentingan ini akan membuat negara ini runtuh.

Terbit: 3 Februari 2022
Sumber: https://www.kompas.id/baca/analisis-politik/2022/02/02/belantara-benturan-kepentingan

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.