preloader

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Fajri Nursyamsyi menjadi Ahli dalam sidang Pengujian Materiil Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi pada Selasa (13/12/2022). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 93/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi.

Ada pun norma yang diujikan adalah Pasal 433 KUHPerdata “Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”.

Dalam kesempatan tersebut, Fajri menuturkan bahwa pengampuan sendiri adalah bentuk dari pencabutan hak seseorang untuk mengambil keputusan terhadap tindakan hukum keperdataan atas dirinya sendiri. Kapasitas untuk melakukan tindakan hukum keperdataan bagi seseorang yang berada di bawah pengampuan berpindah kepada pengampunya. “Inilah konteks yang semakin menegaskan bahwa ada perpindahan, ada tanggung jawab yang berpindah dan ada hak yang kemudian ikut berpindah. Oleh karena itu, tidak berlebihan ketika pengampuan itu sama dengan penguasaan seseorang oleh pribadi orang lain dan itu bentuk dari tindakan diskriminatif,” ungkapnya.

Dalam Komentar Umum pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), Komite CRPD memegaskan bahwa Kapasitas Hukum terdiri dari dua aspek, yaitu legal standing dan legal agency. Legal standing fokus pada aspek formil, yatu melihat penyandang disabilitas sebagai subyek hukum atau pemegang hak secara hukum; sedangkan legal agency melihat pada aspek materiil, yaitu kemampuan penyandang disabilitas untuk menlaksanakan haknya.

Menurut Fajri, Pasal 433 menilai bahwa seseorang yang dungu, gila, mata gelap, dan boros sudah pasti kehilangan kapasitas hukumnya secara utuh, tanpa melihat bahwa kondisi itu hanya terkait dengan legal agency, yang tidak otomatis menghilangkan legal standing seseorang. Untuk memastikan seseorang berada di bawah pengampuan perlu diberikan dukungan terlebih dahulu agar kondisi dungu, gila, mata gelap, dan boros dapat pulih, sehingga mengembalikan kemampuan legal agency seseorang dan kembali memiliki kapasitas hukum secara penuh. “Konsepsi cara pandang yang menstempel seseorang dungu, gila, mata gelap, dan boros sebagai seseorang yang tidak memiliki kapasitas hukum inilah yang menjadikan Pasal 433 menjadi norma yang diskriminatif,” jelas Fajri.

Lebih jauh lagi, kondisi gila, mata gelap, dan boros tidak serta merta menjadikan seseorang kehilangan legal standing, sehingga orang tersebut tidak otomatis kehilangan kapasitas hukumnya. Justru yang harus dilakukan adalah adanya dukungan yang diberikan oleh Negara sebagai pengemban kewajiban pemenuhan HAM, dalam hal ini Pemerintah, agar yang bersangkutan menjadi pulih dan bisa mendapatkan kembali legal agency yang dimilikinya untuk mengambil keputusan secara mandiri. Oleh karena itu, langkah untuk menyerahkan hak pengambilan keputusan kepada orang lain seharusnya merupakan upaya terakhir atau ada alasan kedaruratan tertentu, sehingga tidak tepat lagi menggunakan konsep pengampuan yang saat ini diatur dalam Pasal 433 KUHPer.