preloader

Pengajar Jentera Bivitri Usulkan Pengukuran Partisipasi Bermakna yang Ideal

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, memberikan keterangan ahli dalam Perkara Nomor 64/PUU-XXIII/2025 dalam sidang pengujian formil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) pada Rabu (16/7/2025) di Mahkamah Konstitusi (MK).

Bivitri memfokuskan keterangannya pada dua dalil utama pemohon, yaitu cacat formil dalam proses legislasi dan pengabaian peran konstitusional Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bivitri menyoroti pandangan yang kerap membatasi uji formil pada aspek prosedural semata. Menurutnya, keraguan untuk menguji “kesepakatan politik” antara DPR dan Pemerintah muncul karena undang-undang seringkali dipandang hanya sebagai produk teknokratis. “Jika kita melihatnya sebagai persoalan politik, maka setiap prosesnya harus bisa bisa diukut,” ujar Bivitri. 

Untuk memastikan partisipasi bermakna yang ideal dalam pembentukan sebuah undang-undang, Bivitri menilai pembahasan sebuah undang-undang harus dilakukan pada satu periode DPR atau pemerintahan yang sedang berjalan. Oleh karena itu, klaim bahwa sebuah RUU telah dibahas pada periode sebelumnya menjadi tidak dapat diterima. “Konfigurasi politik pada lima tahun masa pemerintahan akan berbeda dengan lima tahun sebelumnya, apalagi sepuluh tahun sebelumnya. Jadi, klaim, misalnya, KUHP sudah dibahas dari tahun 80-an adalah betul. Tapi, konfigurasi politiknya sangat berbeda, tujuannya berbeda. Bahkan di tingkat teknokratis seperti RPJP dan RPJMN yang ada sangat-sangat berbeda.” ujarnya. 

Bivitri juga mengusulkan sejumlah kriteria partisipasi bermakna yang ideal berdasarkan putusan MK sebelumnya, antara lain: forum yang formal dan terbuka, peserta rapat mendapatkan semua dokumen terkait, rekaman proses dipublikasikan di website DPR atau pemerintah, hak untuk dipertimbangkan dengan keterangan mengenai masukan yang diterima dan ditolak, dan melibatkan pihak yang terdampak. Ia juga menegaskan bahwa UU BUMN yang mengatur kekayaan negara yang dipisahkan secara konstitusional wajib melibatkan DPD sejak pembahasan tingkat pertama, sesuai amanat UUD 1945 dan Putusan MK No. 92/PUU-X/2012.