Bagaimana seseorang berperilaku tertentu di hadapan hukum? Apakah ia akan patuh karena rasa takut atau karena ia bermoral? Apakah ada perhitungan untung dan rugi yang dilakukan seseorang saat ia berhadapan dengan hukum atau karena intuisi dan naluri? Apa benar dan bisa ada dorongan alamiah tertentu bagi seseorang ketika berhadapan dengan hukum?
Pertanyaan-pertanyaan ini berseliweran di kalangan pemikir hukum dan negara, menimbulkan gelombang pola pemikiran tentang hukum dan penghukuman.
Dalam alam pikiran yang tak menempatkan konteks kekuatan pikiran manusia, ada anggapan bahwa kepatuhan bisa ”dilatih” seperti manusia melatih lumba-lumba atau topeng monyet, yaitu dengan memberikan hadiah atau hukuman untuk perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan. Sekarang latihan yang kejam bagi binatang juga sudah kita kritik, tetapi masih juga ada anggapan tentang pikiran dan kepatuhan yang dibangun melalui ketakutan dan kekerasan.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2025/04/15/88e6e8c0-dce4-4110-acfd-acd6ff67c077_jpg.jpg)
Monopoly on violence atau monopoli kekerasan (Weber, 1919) dimiliki oleh negara karena negara mempunyai legitimasi untuk melakukan paksaan fisik dalam pelaksanaan hukum untuk kepentingan publik.
Monopoli kekerasan melalui hukum negara ini seharusnya dilakukan oleh sebuah sistem peradilan pidana yang akuntabel pada publik karena legitimasi ini dibangun atas nama publik.
Dengan landasan pikiran ini, mestinya tak boleh ada entitas lain yang melakukan penghukuman bagi anak-anak yang dianggap ”nakal” misalnya, seperti pada kasus di Jawa Barat. Karena bahkan untuk anak yang berhadapan dengan hukum, kita juga sudah mempunyai sistem peradilan pidana anak yang diatur dalam undang-undang.
Namun, cara pendisiplinan seperti ini populer di kalangan masyarakat karena ancaman bisa langsung diberikan dan ada ilusi tentang solusi instan. Dua minggu di barak militer, dengan bantuan media sosial, dianggap bisa ”menyembuhkan” perilaku buruk anak.
Hukum dan hukuman memang bisa menjadi alat menaikkan dukungan publik. Barangkali karena keadilan sulit dijangkau oleh kelompok yang tak bisa memberikan sekolah terbaik yang mahal bagi anaknya atau akses kepada psikolog maupun psikiater. Banyak pula orangtua yang tak punya keleluasaan waktu dan tenaga untuk pendidikan anak-anaknya di rumah karena kemiskinan yang menjerat.
Bahkan, bisa pula terjadi, di balik ilusi ketajaman hukum itu, sebenarnya tersembunyi suatu jaringan kekuatan ekonomi baru yang siap maju dan menggantikan jaringan ekonomi lama yang sudah dibereskan oleh hukum.
Populisme, yaitu klaim politik tentang mewakili kepentingan rakyat kebanyakan, ternyata tak hanya bekerja dalam ilmu politik. Dalam sebuah negara di mana hukum sulit dijangkau oleh populasi atau rakyat kebanyakan, hukum bisa menjadi simbol populisme.
Maka, populisme hukum juga terjadi di kalangan penegak hukum. Perkara-perkara yang bisa menyedot perhatian rakyat kebanyakan yang sudah lelah dengan korupsi, dipopulerkan sedemikian rupa, dengan memamerkan barang sitaan di media atau menyebutkan nilai kerugian yang mencengangkan.
Padahal, nilai kerugian yang disebutkan dalam konferensi pers mungkin saja tak berhasil dibuktikan dalam proses persidangan. Tetapi ini sering kali tak menjadi soal, yang penting publik sudah mendapatkan ilusi tentang hukum yang ternyata tajam juga ke atas. Bahkan, bisa pula terjadi, di balik ilusi ketajaman hukum itu, sebenarnya tersembunyi suatu jaringan kekuatan ekonomi baru yang siap maju dan menggantikan jaringan ekonomi lama yang sudah dibereskan oleh hukum.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2025/05/08/5df47e03-1dfd-4192-a781-c8ac272b15cc_jpg.jpg)
Itulah soalnya dengan hukum: siapa dan apa itu hukum? Apakah hukum sebuah sistem pemberi keadilan dengan akuntabilitas kepada publik atau hanya soal ketertiban dan perilaku yang diinginkan?
Selama ketertiban yang diutamakan, tak heran bila siapa pun yang bisa mengendalikan ”gejolak” di masyarakat bisa menjadi penegak hukum jalanan. Di sinilah preman-preman lahir dan berkembang, berkelindan dengan kepentingan politik.
Padahal, tanpa ada keadilan dan hukum yang akuntabel, legitimasi negara juga akan semakin merosot. Letupan ketidaktertiban hanya menunggu waktu. Di sisi lain, Indonesia semakin tidak menarik bagi investor asing yang katanya ingin digaet demi menaikkan angka pertumbuhan ekonomi.
Sudah banyak masukan, bahkan peta jalan reformasi hukum yang dihasilkan oleh pemerintah. Tak kurang pula banyaknya birokrat dan pemikir hukum yang memberikan kritik dan solusi. Namun, selama hukum masih bisa digunakan untuk kepentingan politik melegalkan yang tak bermoral dan mendisiplinkan masyarakat, kondisi karut-marut ini akan terus dipertahankan. Yang masih berakal sehat dan membawa Indonesia keluar dari kegelapan harus bertahan dan menyalakan lebih banyak lilin untuk mengusir kegelapan.
Dipublikasikan oleh:
