Ada yang salah dengan praktik demokrasi perwakilan jika warga harus mendobrak pintu ruang rapat atau merobohkan tembok gedung dewan perwakilan untuk menyampaikan pendapatnya. Saat pendobrakan terpaksa dilakukan sekadar untuk didengar, sorotan hanya diberikan pada kerusakan barang-barang. Padahal, persoalannya ada pada kerusakan demokrasi.
Dalam masa kerja legislasi periode 2024-2029, setidaknya tiga undang-undang sudah dibuat. Ketiganya melalui proses yang rusak: tanpa partisipasi bermakna dan dipaksakan untuk secepat kilat memberi legitimasi pada rencana kerja pemerintah. Ketiga undang-undang itu adalah UU tentang Badan Usaha Milik Negara yang didesain untuk memuluskan rencana membuat Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara, UU Mineral dan Batubara yang berfokus pada memberi legitimasi pemberian izin tambang pada organisasi keagamaan, serta UU Tentara Nasional Indonesia.
Partisipasi langsung dianggap tak perlu karena ada asumsi, suara warga sudah diberikan kepada wakil rakyat melalui pemilihan umum (pemilu). Cara berpikir ini mengandung tiga masalah. Pertama, kita tidak bisa melandaskan argumen perwakilan sempurna pada pemilu yang penuh dengan ketidakadilan dan dugaan kecurangan. Pemilu 2024 dapat disebut sebagai pemilu yang paling brutal, yang dipenuhi setidaknya oleh menggilanya politik uang, kampanye yang mengandalkan gimik, dan banyaknya kasus kecurangan.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/images/2025/04/08/638cf8ccbe8965e74e8cef78f068b5c8-20250408ron19.jpg)
Kedua, asumsi tentang demokrasi perwakilan juga harus ditopang oleh partai-partai politik yang menjalankan perannya sebagai penyalur formal aspirasi politik alih-alih hanya ingin mendulang suara untuk kekuasaan. Misalnya, dengan menyaring dan mengawasi kerja wakil rakyat dari partainya serta memfasilitasi komunikasi forum pada daerah-daerah pemilihan.
Ketiga, model perwakilan mengandaikan otonomi dari setiap wakil rakyat. Padahal, Indonesia mempraktikkan sebuah anomali dalam demokrasi dengan menumpukan pengambilan keputusan sepenuhnya pada fraksi partai politik di DPR. Akibatnya, dengan besarnya koalisi pemerintahan, bisa diduga semua keinginan pemerintah bisa dengan mudah diiyakan DPR.
Yang harusnya bisa mengatasi persoalan aspirasi politik ini adalah mekanisme partisipasi. Namun, partisipasi juga sekarang tinggal nama. Ia begitu diteknokratiskan—dijadikan semacam daftar periksa (check list) yang formal belaka. Partisipasi kerap dilakukan melalui ”sosialisasi” atau ”konsultasi publik” yang sebenarnya bukan forum mendengar, melainkan forum penjelasan satu arah dari pejabat. Partisipasi salah kaprah ini juga umumnya diadakan di kampus atau organisasi yang terafiliasi dengan politik dan pemerintahan. Padahal, pengetahuan berbeda dengan pengalaman. Ratusan akademisi atau ahli dengan gelar berderet tidak bisa menggantikan pengalaman dari orang-orang yang terkena dampak.
Pada 2021, Mahkamah Konstitusi memberikan panduan tentang ”Partisipasi Bermakna” atau meaningful participation dalam putusan uji formil UU Cipta Kerja.
”Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat. Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik itu terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.”
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2025/02/18/1c1c16b1-f9b6-4521-8b25-cc3a18e0cb2c_jpg.jpg)
Putusan ini diakomodasi dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meski dengan terlalu banyak distorsi. Namun, tetap saja si pembuat undang-undang itu sendiri yang melanggarnya.
Yang terjadi belakangan ini adalah partisipasi pura-pura. Misalnya, dalam pembahasan UU TNI, beberapa organisasi masyarakat sipil diundang ke pembahasan UU TNI setelah pintu rapat didobrak dan tetap tanpa adanya naskah yang akan dibahas. Apalagi, undangan diberikan pada hari yang sama dengan hari berlangsungnya rapat. Dalam banyak seremoni partisipasi lainnya, sering kali dengan biaya mahal, partisipasi hanya berupa sosialisasi satu arah dan dilakukan di kampus. Warga terdampak tidak diajak berdialog.
Dipublikasikan oleh:
