preloader

Republik dengan Gagasan Nir-kekerasan

Kekuatan bersenjata penting bagi sebuah negara. Ada suatu masa di mana negara-negara berdiri dan runtuh karena kekuatan untuk mengambil wilayah secara paksa melalui senjata dan kekerasan. Tentu saja, wilayah adalah representasi kekuasaan. Kekuasaan memang tidak kasatmata sampai ia berbentuk aktor dan institusi. Padahal, ia bisa berakibat destruktif dan sebaliknya, ia bisa menjadi cara terbaik untuk mengelola kehidupan bersama.

Aktor dan institusi itu diorganisasi dalam negara. Negara bisa dijalankan semaunya untuk keuntungan sekelompok orang belaka—kekuasaan otoriter. Tetapi, ada pula gagasan, kekuasaan sesungguhnya ada di tangan semua warga—kekuasaan demokratis. Dalam demokrasi, pemerintahan dilandaskan pada gagasan (reason) yang diperdebatkan dengan terbuka, bukan lagi dengan senjata dan kekerasan.

Soalnya, kekuasaan yang tidak sabar karena ingin mengambil keuntungan secara instan, menyukai kekerasan dan senjata agar keputusan diambil cepat, tidak ”gaduh”, dan sesuai komando (top-down). Di sinilah karakter militer kompatibel, tetapi berbahaya bagi demokrasi.

Revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) membuat kita harus kembali melihat peran militer dalam negara. UUD 1945 sudah memberikan panduan dengan jelas. Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan, Indonesia adalah negara hukum. Di dalamnya ada pemahaman tentang pembatasan kekuasaan negara yang berlandaskan hak-hak warga.

Pasal ini mengantarkan kita pada penyelenggaraan republik yang demokratis, yang memisahkan dengan tegas para penyelenggara negara dengan ”alat negara”. Pasal 30 Ayat (3) UUD 1945 mengatakan, TNI ”sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”.

Mengapa ”alat” negara? Alat negara tidak mengambil keputusan politik. Ia hanya menjalankan apa pun yang diputuskan untuknya oleh penyelenggara negara: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Seperti dikatakan Richard Kohn (1997), ”The point of civilian control is to make security subordinate to the larger purposes of a nation, rather than the other way around. The purpose of the military is to defend society, not to define it.” Ada dua lagi institusi yang dinyatakan sebagai ”alat negara”, yaitu Kepolisian (Pasal 30 Ayat [4] UUD 1945) dan Badan Intelijen Negara (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara).

UU tidak boleh dibaca teksnya belaka, tetapi dengan konteksnya. Sebagian pihak naif dan berkeras, revisi ini hanya menambahkan kata-kata pada bidang pemerintahan yang bisa diduduki tentara aktif dan dalam operasi militer selain perang.

Tuntutan reformasi

Setelah kemerdekaan, kekuatan militer dalam politik terus menguat, apalagi karena ada perebutan sumber daya ekonomi yang harus ditinggalkan Belanda dan diambil alih Pemerintah Indonesia (nasionalisasi). Ada pula konteks ”perang dingin” yang berupaya menahan laju kekuatan blok komunis di Indonesia. Dari sini berkembang pandangan dwifungsi angkatan bersenjata (tentara dan polisi) hingga angkatan bersenjata pula kemudian menjadi penopang kekuasaan pemerintahan Soeharto yang otoriter.

Tentara beristirahat seusai mengikuti apel gabungan Operasi Lilin Jaya 2024 di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Jumat (20/12/2024). Polda Metro Jaya bersama TNI menggelar apel gabungan dalam rangka operasi Lilin Jaya Pengamanan Natal 2024 dan Tahun Baru 2025. Polda Metro Jaya menyiapkan 4.771 pasukan gabungan pada 21 Desember sampai 2 Januari 2025 untuk menjaga ketertiban pada periode Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 di Jakarta. Sementara itu, Polri melibatkan 141.605 personel gabungan serta mendirikan 2.794 posko yang terdiri atas pos pengamanan, pos pelayanan, dan pos terpadu. Operasi ini sebagai upaya untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat yang akan menjalankan aktivitas, baik untuk ibadah, perjalanan mudik, dan rekreasi. Diprediksi pergerakan masyarakat saat periode Natal dan Tahun Baru mencapai 110,67 juta orang. Angka tersebut meningkat 2,83 persen atau sekitar 3,04 juta orang dari periode sebelumnya. KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN (FAK) 20-12-2024

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Tentara beristirahat seusai mengikuti apel gabungan Operasi Lilin Jaya 2024 di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Jumat (20/12/2024).

Revisi UU TNI hari ini harus dipahami dalam konteks di atas. UU tidak boleh dibaca teksnya belaka, tetapi dengan konteksnya. Sebagian pihak naif dan berkeras, revisi ini hanya menambahkan kata-kata pada bidang pemerintahan yang bisa diduduki tentara aktif dan dalam operasi militer selain perang.

Pertama, tentara aktif sudah masuk dalam berbagai tindakan dan jabatan pemerintahan, seperti di food estate di Papua dan program Makan Bergizi Gratis. Kedua, presiden saat ini berlatar belakang militer yang cenderung beranggapan bahwa cara militer adalah yang terbaik.

Dengan membaca konteks dan sejarah pula, kini kita harus bersiap dengan revisi UU Kepolisian. Setelah 1998, karena kepolisian berwenang dalam penegakan hukum, keberadaannya di tengah kekuasaan tidak terhindarkan. Padahal, kepolisian kerap hadir di tengah masyarakat tetap dengan budaya militer karena sejarahnya tadi. Maka, hari-hari ini kita seakan dihadapkan pada dua pilihan: mau militer atau polisi yang lebih kuat?

Ada anggapan, kepolisian terlampau kuat sehingga hanya bisa disingkirkan oleh militer. Pandangan ini keliru karena kita tidak harus memilih satu atau keduanya. Kita berpegangan pada nilai-nilai konstitusi tentang militer dan polisi sebagai alat negara. Kita sedang menguatkan gagasan republik yang harus selalu berlandaskan pikiran, bukan senjata dan kekerasan.

 

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/republik-dengan-gagasan-nir-kekerasan?status=sukses_login&utm_source=kompasid&utm_medium=login_paywall&utm_campaign=login&utm_content=https://www.kompas.id/artikel/republik-dengan-gagasan-nir-kekerasan&loc=header

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.