preloader

Pembahasan Revisi KUHAP Harus Melibatkan Partisipasi Publik

Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera menyelenggarakan Diskusi Publik dan Peluncuran Studi bertajuk “Pembaharuan KUHAP: Hal-Hal Mendasar” pada Senin (15/09/2025). Acara ini menghadirkan para penulis studi, Asfinawati dan Rifqi Sjarief Assegaf, serta penanggap Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof. Eddy O.S. Hiariej dan sejarawan JJ Rizal, yang juga merupakan korban salah tangkap.

Diskusi ini digelar sebagai respons atas proses pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang masih bergulir di DPR. Pembaharuan KUHAP dinilai sebagai momen krusial untuk menggantikan produk hukum tahun 1981 yang sudah usang dan tidak lagi relevan dengan perkembangan teknologi serta kompleksitas kejahatan saat ini. Tujuannya adalah untuk membangun sistem peradilan pidana yang lebih humanis, adil, dan menjamin hak asasi manusia (HAM) serta check and balances antarlembaga penegak hukum.

Pengajar STH Indonesia Jentera, Rifqi Assegaf menjelaskan bahwa studi yang diluncurkan mendasarkan pembaruan KUHAP pada tiga nilai etis utama. Pertama, Martabat Manusia (Human Dignity), Hukum acara pidana memiliki tensi inheren, di satu sisi melindungi martabat korban, di sisi lain berpotensi melanggar martabat terduga pelaku. Oleh karena itu, penggunaan upaya paksa harus didasarkan pada prinsip kebutuhan (necessity) dan proporsionalitas (proportionality).

Kedua, Kebenaran (Truth) juga merupakan tujuan utama hukum acara pidana adalah memastikan hanya yang bersalah yang dihukum. Hal ini menuntut adanya integritas dan proses pembuktian yang ketat (rigorous) untuk mencegah manipulasi dan penggunaan bukti yang diperoleh melalui kekerasan.

Ketiga, Keadilan (Fairness) sistem peradilan harus menjamin tidak ada bias dan diskriminasi, terutama diskriminasi sosial yang menjadi masalah pokok di Indonesia. “Perlunya jaminan akses terhadap bantuan hukum yang profesional bagi mereka yang tidak mampu menjadi kunci utama,” jelasnya.

Pengajar STH Indonesia Jentera, Asfinawati juga menambahkan, RKUHAP yang ada saat ini masih memiliki sejumlah catatan. “Beberapa di antaranya adalah masih adanya diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, waktu penahanan yang terlalu lama, dan tidak adanya aturan tegas yang menyatakan bukti dari hasil penyiksaan tidak sah (exclusionary rule),” paparnya.

Asfinawati juga menilai bahwa pembaruan KUHAP adalah kesempatan emas untuk memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia. Seluruh pihak perlu diajak untuk terus mengawal proses legislasi RKUHAP agar hasilnya benar-benar menciptakan keadilan bagi semua.

Menanggapi kajian tersebut, Wakil Menteri Hukum RI Prof. Eddy Hiariej menyatakan bahwa draf RKUHAP masih sangat dinamis dan pemerintah terbuka terhadap masukan. “Penyusunan RKUHAP adalah yang paling sulit karena harus menyeimbangkan antara hak negara untuk menuntut dan filosofi hukum acara pidana untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan negara,” ungkapnya. Ia juga berpendirian bahwa prinsip dari hukum acara pidana harus tertulis, jelas, dan ditafsirkan secara ketat.

Sejarawan JJ Rizal, memberikan perspektif korban berdasarkan pengalaman salah tangkap yang dialaminya pada 2009. Ia menceritakan bagaimana dirinya ditangkap, dipukuli, dan diintimidasi tanpa dasar bukti yang jelas, hanya karena memasukkan tangan ke saku jaket. Menurutnya, hak masyarakat masih dianggap tidak ada, terutama di hadapan kepolisian. “Diskusi ini penting agar kita paham bagaimana menjaga martabat kebenaran dan mendapatkan keadilan,” ucapnya.

Diskusi yang dimoderatori Asisten Pengajar STH Indonesia Jentera, Bugivia Maharani dapat disaksikan ulang di kanal YouTube STH Indonesia Jentera.