preloader

Urgensi Partisipasi Kelompok Disabilitas dalam Pembentukan Perda

Pada 25 Oktober 2023, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengeluarkan Surat Nomor 100.2.2.6/5749/OTDA tentang Percepatan Pembentukan Produk Hukum Daerah yang Mengatur Mengenai Penyandang Disabilitas.

Surat mendagri ini ditujukan kepada gubernur, wali kota, bupati, serta ketua DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Surat mendagri itu meminta pemerintah daerah memprioritaskan pembentukan produk hukum daerah, terutama peraturan daerah terkait penyandang disabilitas pada 2023 atau 2024.

Keberadaan perda dapat mempercepat terwujudnya jaminan pelindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di daerah. Pembentukan perda juga bentuk komitmen kuat pemda untuk melindungi dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas di wilayahnya.

Dalam prosesnya, pembentukan perda mengenai disabilitas merupakan wadah mempertemukan representasi organisasi disabilitas dengan pemda setempat. Belum terpenuhinya berbagai hak penyandang disabilitas sering kali disebabkan kedua pihak ini belum saling mengenal. Akibatnya, kebijakan yang dibentuk tidak sensitif terhadap kebutuhan kelompok disabilitas.

Keberadaan perda dapat mempercepat terwujudnya jaminan pelindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di daerah.

Pengalaman dari perkembangan isu disabilitas di tingkat nasional dan beberapa daerah lain menunjukkan, proses perkenalan itu mampu terfasilitasi melalui pembentukan produk hukum. Dialog antarorganisasi disabilitas dan pemda/DPRD dalam pembentukan perda memungkinkan adanya pertukaran perspektif.

Dalam pembentukan perda mengenai disabilitas, penting untuk diperhatikan aspek partisipasi yang bermakna bagi penyandang disabilitas, khususnya melalui representasi organisasi disabilitas. Partisipasi yang tidak hanya dimaknai sebagai mobilisasi dan komunikasi searah, tetapi membangun dialog dan memastikan keterlibatan yang mandiri bagi penyandang disabilitas.

Partisipasi bermakna

Upaya memastikan adanya partisipasi yang bermakna dari organisasi disabilitas ini perlu memperhatikan tiga hal. Pertama, pemda atau DPRD sebagai pihak dalam pembahasan perda perlu mengenali organisasi disabilitas mana saja yang ada di wilayahnya.

Dengan demikian, partisipasi yang dilakukan dapat mencakup representasi setiap ragam disabilitas, baik itu disabilitas netra, tuli, fisik, intelektual, dan mental.

Representasi organisasi disabilitas penting untuk dipastikan terlibat karena kebutuhan dan permasalahan dari setiap ragam disabilitas berbeda. Hal itu valid jika disampaikan langsung oleh representasi organisasinya. Perlu diketahui, saat ini organisasi disabilitas sudah tersebar di sejumlah wilayah, tidak hanya di Jakarta atau kota besar.

Silvia (14), warga disabilitas Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (2/1/2020), hadir di Posyandu Disablitas Desa Bedali. Di posyandu disabilitas tersebut, selain mendapat fasilitas pemeriksaan gratis, disabilitas juga diajari beberapa keterampilan.

Organisasi disabilitas yang sudah memiliki pengurus di sejumlah daerah, antara lain, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia (PPDFI), Pusat Pemilihan Umum untuk Aksesibilitas (PPUA), dan Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI). Tidak tertutup kemungkinan ada organisasi disabilitas lain di daerah dan dapat merepresentasikan kelompok disabilitas.

Kedua, pemda atau DPRD perlu memahami dukungan metode, fasilitas, atau pelayanan yang dibutuhkan sebelum mengundang representasi organisasi disabilitas. Ini penting untuk memastikan representasi organisasi yang hadir dan terlibat dalam pembahasan perda dapat berpartisipasi maksimal, tanpa hambatan.

Dukungan yang perlu dipastikan, misalnya, dokumen yang akan dijadikan dasar pembahasan dapat diakses dan dibaca oleh penyandang disabilitas netra; ruangan yang dapat diakses menggunakan kursi roda; ketersediaan toilet dengan aksesibilitas; metode komunikasi yang digunakan dalam pembahasan menyertakan juru bahasa isyarat; dan ruang atau lokasi untuk menenangkan diri. Jika perwakilan disabilitas yang hadir membutuhkan pendampingan, perlu dipastikan pendamping dihitung sebagai bagian dari peserta undangan.

Ketiga, segala bentuk dukungan itu perlu diidentifikasi dan menjadi kewajiban pemda atau DPRD untuk penyediaannya, termasuk jika berkonsekuensi terhadap anggaran. Selain memastikan kehadiran perwakilan organisasi disabilitas dalam pembahasan perda, pemda dan DPRD juga perlu membangun komunikasi yang intensif selama pembahasan rancangan perda.

Pelibatan penyandang disabilitas dalam pembentukan perda itu dapat menjadi pintu masuk hubungan komunikasi lebih intensif.

Ketiga aspek itu dapat membantu pemda dan DPRD untuk lebih memaknai surat mendagri demi percepatan pembentukan perda mengenai disabilitas.

Tidak hanya memastikan adanya perda mengenai disabilitas di seluruh daerah, tetapi juga memastikan pembentukan perda berasal dari proses yang partisipatif bagi kelompok disabilitas.

Pelibatan penyandang disabilitas dalam pembentukan perda itu dapat menjadi pintu masuk hubungan komunikasi lebih intensif. Suatu langkah nyata untuk mencapai salah satu tujuan negara Indonesia, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Fajri Nursyamsi
Dipublikasikan oleh:

Fajri Nursyamsi

Fajri merupakan pengajar dan Ketua Bidang Studi Konstitusi dan Legisprudensi di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Selain itu, Fajri juga merupakan Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).