preloader

Sengkarut Hukum Pembubaran Ormas


Untuk membubarkan Perseroan Terbatas yang melanggar kepentingan umum, kejaksaan perlu memohon pembubaran ke pengadilan. Sementara untuk membubarkan Ormas, cukup sepihak dengan keputusan menteri. Kenapa?
 
Untuk memahami terbitnya Keputusan Bersama (SKB) yang melarang kegiatan, penggunaan simbol dan atribut, serta penghentian kegiatan Front Pembela Islam (FPI), tentu tidaklah cukup dengan melihatnya dari kacamata teknis hukum an sich. SKB ini merupakan bagian dari langkah politik pemerintahan Presiden Joko Widodo terhadap organisasi yang dipandang membahayakan Pancasila. Ada aroma politik yang sangat kental mewarnai SKB ini. Mencoba memahami utuh SKB ini dengan hanya melihat sisi hukumnya, bisa dibilang upaya yang nyaris sia-sia.
Hal ini sebenarnya sama sekali tidak mengherankan. Sejak awal kelahiran UU Ormas di tahun 1985, pendekatan pemerintah terhadap Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) selalu keruh dan kental dengan pendekatan politik, khususnya pendekatan politik-keamanan yang penuh upaya kontrol dan represi. Perlu diingat, asal muasal UU Ormas di masa Orde Baru adalah bagian dari paket peraturan yang dikenal sebagai “Paket Undang-Undang Politik”, bersama dengan RUU Pemilu, RUU Parpol, RUU MPR, DPR, dan DPRD, dan RUU Referendum.
Jurus politik pelarangan Ormas seperti yang dituangkan SKB ini juga sebenarnya tidak orisinil ciptaan pemerintahan sekarang. Sejarah mencatat, pada 10 Desember 1987 Mendagri Soepardjo Rustam mengeluarkan SK No.120 dan No.121/1987 yang menyatakan bahwa Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) tidak diakui keberadaannya dan kegiatannya pun sempat dilarang karena tidak menyesuaikan dengan UU Ormas. Kontroversi pada masa itu pun cukup mirip dengan hari ini, yaitu tentang asas tunggal Pancasila.
Melihat pengulangan yang terjadi, jelas salah satu akar masalahnya sebenarnya ada pada UU Ormas itu sendiri. Sayangnya, UU Ormas yang bermasalah ini berhasil bertahan melintasi zaman sejak masa Orba hingga era pasca reformasi sekarang ini. Sudah kadung ada banyak miskonsepsi soal Ormas, ada banyak salah kaprah yang mengendap dan dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat dan pembentuk kebijakan.
Sekedar contoh, banyak orang yang hingga kini masih salah kaprah mengira bahwa Ormas adalah singkatan dari Organisasi Massa, bukan Organisasi Kemasyarakatan. Salah kaprah ini kemungkinan adalah akibat tercampur aduknya istilah dengan tujuan terselubung dari Orde Baru ketika melahirkan UU Ormas, yaitu untuk mewujudkan stabilitas politik dengan mengendalikan dinamika organisasi, terutama yang berbasis massa.
Kembali ke soal SKB, ada beberapa potensi kerancuan di dalamnya. SKB ini tidak langsung membubarkan FPI, melainkan menyatakan bahwa FPI adalah organisasi yang tidak terdaftar, sehingga secara de jure telah bubar sebagai ormas. SKB ini juga tidak tegas menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang, melainkan menyatakan melarang dilakukannya kegiatan dan penggunaan simbol dan atribut FPI.
Situasi yang terjadi pada FPI, memang tidak sepenuhnya bisa dijawab langsung oleh UU Ormas. Sanksi yang diatur dalam UU Ormas bertingkat mulai dari peringatan tertulis, penghentian kegiatan, sampai pencabutan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) atau pencabutan status badan hukum alias pembubaran. Menariknya, dalam UU Ormas justru tidak ada sanksi yang berbentuk pelarangan kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut organisasi seperti yang ditulis dalam diktum SKB.
UU Ormas sebenarnya juga tidak jelas mengatur sanksi pembubaran bagi organisasi yang hanya ber-SKT seperti FPI. Untuk Ormas yang hanya ber-SKT, sanksi akhirnya adalah pencabutan SKT. Sanksi pencabutan status badan hukum (yang dengan itu sekaligus dinyatakan bubar) hanya dapat dijatuhkan pada Ormas yang berbadan hukum. Lebih jauh, UU Ormas juga tidak mengatur sanksi bagi organisasi seperti FPI, yang bahkan SKT-nya sudah tidak berlaku sejak 20 Juni 2019, dan mungkin juga tidak memiliki status badan hukum untuk dicabut/dibubarkan.
Sepertinya di tengah kerumitan yang luar biasa dan mungkin ketergesaan inilah, perumus SKB lantas membuat rumusan diktum yang unik sekaligus problematik; menyatakan bahwa FPI adalah organisasi yang tidak terdaftar, sehingga secara de jure telah bubar sebagai ormas. Padahal organisasi yang tidak terdaftar, seharusnya tidaklah serta merta bubar. Tidak terdaftar adalah status yang berbeda dari bubar. Selain itu, perlu dilihat juga adanya pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan No. 82/PUU-XI/2013 dan No. 3/PUU-XII/2014) yang kurang lebih menyatakan bahwa ormas yang tidak terdaftar tetap memiliki hak hidup sepanjang tidak mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melanggar hak kebebasan orang lain.

Bisa jadi, perumus SKB sebenarnya bukan bermaksud menyatakan bahwa FPI bubar karena tidak terdaftar, melainkan karena FPI dianggap melakukan pelanggaran hukum atau mengganggu ketertiban umum.
SKB ini juga tidak tegas menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang. Berbeda dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dengan tegas dinyatakan sebagai organisasi terlarang (oleh TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966), atau Jemaah Islamiyah (JI) yang ditetapkan sebagai organisasi terlarang berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (No.2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel).
Namun terlepas dari semua kompleksitas di atas, dari segi komunikasi politik, pesan mudah yang mungkin lebih akan dipahami publik adalah: bahwa FPI telah bubar, dan bahwa kegiatan dan penggunaan simbol FPI telah dilarang pemerintah.
Selain itu, potensi kerancuan lain adalah mengenai bentuk SKB itu sendiri. Masih ada kerancuan praktik mengenai kedudukan SKB dari segi peraturan perundang-undangan. Menurut penamaan dan bentuknya, SKB jelas merupakan kategori Keputusan (beschikking). Sebagai beschikking, maka SKB ini sifat normanya individual, konkret, dan sekali selesai (einmalig). Sebagai beschikking, isi dari SKB ini seharusnya khusus ditujukan untuk FPI dan tidak mengatur umum. Namun demikian, dalam tataran praktik masih ada perbedaan pandangan mengenai hal ini. Ada pandangan yang menilai bahwa SKB bisa saja berisi dan bersifat mengatur umum sehingga bisa dikatakan sebagai peraturan (regeling), ataupun peraturan kebijakan (beleidsregel).
Dalam tataran implementasi di lapangan, perdebatan soal beschikking, regeling, atau beleidsregel pastinya sulit terjadi. SKB ini tentunya akan dipandang sebagai rujukan yang bersifat umum dan mengatur, untuk melarang kegiatan dan penggunaan simbol FPI.
Terbukti, berselang satu hari pasca terbitnya SKB, muncul Maklumat Kapolri No. Mak/1/I/2021. Maklumat ini menyatakan agar masyarakat segera lapor apabila menemukan ada kegiatan FPI, melarang masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan FPI, dan melarang masyarakat agar tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI di website maupun media sosial. Tentunya, maklumat yang kemudian diprotes oleh berbagai kelompok masyarakat karena dianggap membatasi hak atas informasi ini, menjadikan SKB sebagai dasarnya.
Due Process of Law
Pro-kontra publik tentang SKB pelarangan FPI ini mirip dengan perdebatan tentang pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada Juli 2017. Sebagian masyarakat mengangkat argumen soal paradox of tolerance (dengan mengutip filsuf Karl Popper), yang memandang bahwa toleransi tak berbatas terhadap kelompok intoleran pada akhirnya akan membahayakan dan melenyapkan toleransi itu sendiri.
Menuntut adanya due process of law terhadap suatu pembatasan hak yang dilakukan oleh pemerintah, tidaklah sama dengan menoleransi aksi kelompok intoleran. Mendesak agar ada kesempatan membela diri dalam persidangan (fair trial) bagi organisasi yang dibubarkan, tidak sama dengan mendukung organisasi anti demokrasi dan anti hak asasi manusia. Kebebasan berserikat memang merupakan hak yang dapat dibatasi (derogable right). Namun, bukan berarti pembatasannya bisa dilakukan dengan cara sewenang-wenang.
Pembubaran organisasi juga sepatutnya dijalankan sebagai langkah pamungkas, setelah atau bersamaan dengan mengadili kejahatan pengurus ataupun anggota organisasi tersebut. Hal ini memang tidak pernah mudah dan perlu strategi penanganan perkara yang cukup kompleks. Dengan pengadilan, publik akan bisa melihat perkara ini dengan terang, termasuk membongkar ada kejahatan apa dan siapa saja di balik organisasi yang hendak dibubarkan.
Sebagian orang tentu bisa jadi tidak sabar, dan menganggap proses hukum melalui pengadilan terlalu bertele-tele. Namun, kalau bukan untuk bertele-tele dalam menghormati hak dan melindungi dari kesewenang-wenangan, buat apa lagi kita berdemokrasi dan bernegara hukum?
Ada detail teknis yang cukup rumit mengenai hukum pembubaran ormas, dan tentunya tak cukup ruang dalam kesempatan tulisan sederhana ini. Pokok pangkal masalahnya ada pada UU Ormas. Pada UU Ormas versi tahun 1985, pemerintah dapat membekukan dan membubarkan ormas tingkat nasional setelah mendengar keterangan ormas yang bersangkutan, dan mendapatkan pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Pada tahun 2013, ada UU Ormas baru yang mengatur sanksi pencabutan status badan hukum alias pembubaran ormas berbadan hukum berdasarkan putusan pengadilan. Pada tahun 2017, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu Ormas yang menihilkan proses pembubaran melalui pengadilan. Perppu Ormas ini kemudian sudah disetujui oleh DPR dan ditetapkan menjadi undang-undang.
UU Ormas memang bagai nila dalam belanga susu pengaturan di sektor sosial-kemasyarakatan. UU Ormas merancukan lingkup pengertian Ormas, mencampuradukkan antara bentuk Ormas yang tidak berbadan hukum (hanya berdasar Surat Keterangan Terdaftar alias SKT), dengan bentuk badan hukum Yayasan (stichting) yang tidak mempunya anggota, dan dengan badan hukum Perkumpulan (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen) yang berbasis keanggotaan.
Kelihatan juga ada pemahaman yang kurang dari pembentuk kebijakan, mengenai hal-hal mendasar seperti tentang subyek hukum dan badan hukum (rechtspersoon). Ini terlihat misalnya ketika UU Ormas mengatur pencabutan status badan hukum tidak perlu melalui putusan pengadilan, karena dipandang sudah sesuai dengan asas contrarius actus di mana pejabat yang menerbitkan keputusan dianggap berwenang mencabutnya kembali.
UU Ormas merancukan antara pembubaran badan hukum, dengan sekadar tindakan pencabutan izin yang bersifat administratif. Pembubaran atau pencabutan status badan hukum bukanlah sekadar persoalan administrasi, melainkan ada persoalan hak kebebasan berserikat, ada soal subyek hukum berupa badan hukum dan lainnya. Kerancuan semakin bertambah pelik, ketika dalam praktik tercampur aduk pemahaman antara pembekuan/penghentian sementara, pembubaran, dan penetapan sebagai organisasi terlarang.
Reformasi Sektor Ke-Tiga
Banyak pembenahan yang perlu dilakukan terhadap pengaturan sektor ke-tiga (the Third Sector) di Indonesia. Dibandingkan dua sektor lainnya, sektor pemerintah (publik) dan sektor bisnis (privat), sektor ke-tiga yang melingkupi sektor sosial-kemasyarakatan masih minim upaya pembenahan, terutama dalam aspek hukumnya.
Di tingkat global, saat ini dikenal adanya trend shrinking civic space yang terjadi di berbagai negara. Ada trend penyempitan ruang kebebasan sipil, termasuk dalam hal kebebasan berserikat berkumpul. Serangan terhadap aktivis maupun organisasi masyarakat sipil mewujud dalam beragam bentuk: dituduh sebagai antek asing, dibubarkan, dilarang, dipersulit akses pendanaan dan lain sebagainya.
Kembali ke soal pembubaran, sangat menarik untuk melihat dan membandingkan beberapa mekanisme pembubaran yang berbeda. Jika sebuah Perseroan Terbatas (PT) dianggap melanggar kepentingan umum, kejaksaan mengajukan permohonan pembubaran PT ke pengadilan. Sementara untuk partai politik (parpol), selain karena bubar sendiri atau karena menggabungkan diri dengan parpol lain, pembubaran parpol haruslah melalui Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, kenapa perusahaan dan partai politik dipandang lebih berhak atas due process of law dalam pembubarannya dibanding ormas? Apakah karena perilaku perusahaan ataupun partai politik dianggap mustahil bertentangan dengan Pancasila?
Salah satu kemungkinan jawabannya adalah, karena adanya bias negatif terhadap sektor ke-tiga. Sektor sosial-kemasyarakatan dipandang sebagai beban dan masalah, sektor yang hanya melulu minta bantuan, sektor yang penuh penyimpangan, atau sektor yang tidak berkontribusi dalam membangun masyarakat. Karena itu, di Indonesia sektor ke-tiga berusaha diatur dengan UU Ormas yang penuh dengan pendekatan kontrol.
Padahal, pengembangan sektor ke-tiga akan menjadi salah satu kunci berkembangnya ilmu pengetahuan, sains, teknologi, kebudayaan, kesenian, nilai-nilai kemanusiaan dan lain sebagainya. Sektor ke-tiga ini diisi oleh beragam civil society actors lintas bidang, yang berperan penting dalam pembangunan masyarakat. Persepsi negatif terhadap sektor ke-tiga harus segera dikikis.
Sampai Juli 2020, Kemendagri mencatat ada 27.173 Ormas pemegang Surat Keterangan Terdaftar (SKT), ada 250.807 Yayasan, dan ada 174.402 Perkumpulan. Salah satu langkah pembenahan awal jangka pendek yang dapat dilakukan Pemerintah adalah dengan mengeluarkan Yayasan dan Perkumpulan dari lingkup pengertian Ormas. Perlu diketahui, badan hukum Yayasan maupun Perkumpulan banyak digunakan oleh lembaga pendidikan, kampus, sekolah, rumah sakit, lembaga penelitian, lembaga advokasi, pemberdayaan masyarakat, CSR dan lain sebagainya. Memasukkan lembaga-lembaga ini dalam pengertian Ormas yang penuh pendekatan kontrol, tidak hanya salah kaprah secara konsep namun juga akan menghambat kemajuan sektor ke-tiga di Indonesia.
Indonesia perlu membangun lingkungan hukum yang sehat bagi sektor ke-tiga. Bila nanti sektor ke-tiga di Indonesia bisa bebas dari dominasi pendekatan kontrol politik-keamanan, maka akan makin mudah untuk mengembangkan berbagai dukungan seperti insentif pajak dan lain sebagainya. Harapan ke depannya adalah, agar ketiga sektor yang ada; sektor pemerintah, sektor bisnis, dan sektor sosial-kemasyarakatan bisa berkembang bersama dan saling mendukung.
 
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ff3d06a60492/sengkarut-hukum-pembubaran-ormas-oleh–eryanto-nugroho?page=5