preloader

Rakyat Hanya Penonton dalam Drama Pilpres

Pemilihan presiden serupa drama dengan banyak pertikaian dan pelukan. Namun, dalam drama itu, rakyat hanya menjadi penonton yang akan diikutkan saat tirai panggung ditutup. Padahal, demokrasi bukan pertunjukan. Demokrasi sejatinya adalah aksi konkret rakyat dalam menentukan, menyelenggarakan, dan mengevaluasi bagaimana negara ini dikelola. Alatnya bukan skenario drama, melainkan melalui pemilihan umum dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintah, termasuk memberi kritik pada kesalahan.

Saat ini, babak pertama pertunjukan sudah dimulai. Pertemuan-pertemuan elite politik banyak berlangsung.Rakyat hanya bisa menonton karena aturan main saat ini hanya mengizinkan partai politik besar yang sudah punya suara pada pemilu yang lalu untuk menentukan siapa calon presiden dan wakilnya.

Mekanisme presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dimuat dalam undang-undang pemilu. Hanya partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Akibatnya, siapa pun yang ingin maju harus mendapatkan ”tiket” dari partai-partai yang ada. Sementara tidak ada mekanisme internal yang demokratis di dalam partai untuk menentukan nama capres-cawapres, selain soal pilihan personal yang ditentukan oleh elektabilitas, dengan ukuran popularitas. Padahal, saat ini popularitas kerap didapat dari isu-isu populis. Maka, penonton disuguhi jargon dan baliho, bukan program kerja dan visi.

Konstitusi sebenarnya tidak memberi ruang yang luas bagi pembentuk undang-undang untuk membatasi. Pasal 6A UUD 1945 mengatakan, tata cara pelaksanaan pemilihanlah yang diatur dalam undang-undang. Sementara Pasal 6 UUD 1945 membolehkan pengaturan dibuat lebih lanjut oleh pembuat undang-undang terkait dengan persyaratan calon, bukan pembatasan calon.

Apa lacur, Mahkamah Konstitusi telah menafsirkan ambang batas pencalonan sebagai kebijakan yang sah untuk dibuat pembuat undang-undang (Putusan Nomor 51- 52-59/PUU-VI/2008 dan 53/ PUU-XV/2017). Yang diabaikan dalam tafsir ini adalah pemahaman bahwa konstitusi tidak hanya soal pasal, tetapi soal nilai-nilai mengenai demokrasi. Bagaimana bisa dikatakan demokratis bila prosedurnya sepenuhnya diserahkan serupa cek kosong kepada beberapa partai politik tertentu, sementara partai politik tidak membangun mekanisme yang demokratis untuk menentukan calon?

Persyaratan yang dimaksud konstitusi hanya yang terkait dengan kapasitas personal dan administrasi, bukan membatasi keikutsertaan. Sebab, pembatasan berdasarkan kekuatan politik menutup ruang demokrasi. Karena itulah, negara-negara yang menganut sistem presidensial, seperti Amerika Serikat, Brasil, Peru, Meksiko, Kolombia, dan Kirgistan, ambang batas pencalonan presiden tidak dikenal (Abdul Ghoffar, 2018).

Yang kerap dijadikan alasan adalah banyaknya partai politik yang berkompetisi yang berpotensi menyebabkan presiden terpilih tidak mempunyai legitimasi. Padahal, konstitusi sudah menyediakan jalan keluar melalui pemilihan putaran kedua, apabila tidak ada calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen jumlah suara dalam pemilihan, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia (Pasal 6A Ayat (3) dan (4)).

Diberikannya hak memberi tiket capres semacam ini membuat partai-partai politik bekerja serupa mesin peraih kekuasaan belaka. Koalisi dibentuk bukan berdasarkan program, tetapi alasan pragmatis hasil negosiasi dari calon yang ingin mendapat tiket. Di titik ini, terbit ruang yang besar bagi politik uang. Calon yang mencari tiket pencalonan harus mengeluarkan biaya besar yang dapat ditanggung oleh pemodal. Seperti pepatah ”tidak ada makan siang gratis”, pemodal berharap balas jasa penguasa terpilih berupa kebijakan yang menguntungkan diri dan kelompoknya.

Akibatnya, terjadi situasi saling menguntungkan antara penguasa dan pengusaha. Rakyat yang seharusnya menjadi pelaku demokrasi hanya bisa bergosip dan menduga siapa calon yang akan disodorkan untuk mereka pilih. Setelah Orde Baru jatuh, kita tidak menyangka bahwa politik tetap milik elite. Bahkan, aktor-aktornya pun sesungguhnya tak banyak berubah, hanya bungkus partai dan cara-caranya yang berbeda. Bila cara-cara ini tidak dibongkar, praktik ini akan terus terjadi seperti lingkaran setan yang membelenggu demokrasi.

 
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/06/09/rakyat-hanya-penonton-dalam-drama-pilpres
Tanggal: 9 Juni 2022

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.