preloader

Politisasi Mahkamah Konstitusi

Banyak jalan menuju Roma,” kata peribahasa. Begitu pun, banyak jalan menuju kekuasaan. Tak hanya melalui jalur politik formal, tetapi juga jalur lobby serta dukungan massa dan, belakangan, lembaga yudikatif. Yang terakhir terlihat dan terdengar menyedihkan, tetapi nyata terjadi.

Mengejar kekuasaan melalui putusan lembaga yudikatif telah membawa pertarungan kekuasaan ke tempat yang dulu tak terbayangkan. Yudikatif didesain sebagai lembaga dengan karakter berbeda dibandingkan dua saudaranya: legislatif dan eksekutif. Hakim-hakim bekerja dengan basis logika hukum dalam menyelesaikan konflik sehingga juga dipilih dengan kualifikasi berbasis keilmuan.

Adapun legislatif dan eksekutif bersandar pada konsep perwakilan rakyat dalam menyelenggarakan negara sehari-hari. Hukum dan institusi hukum bertugas membatasi kesewenang-wenangan kekuasaan yang laten dalam praktik demokrasi. Demokrasi dijaga dengan negara hukum, begitu seharusnya.

Apa lacur, yang terjadi belakangan ini tidak seperti seharusnya. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengizinkankualifikasi kepala daerah untuk menggantikan batas umur minimal calon presiden dan wakil presiden mengecewakan, tetapi sebenarnya tidak mengejutkan.

Sudah ada beberapa indikasi yang mendahuluinya, bukan hanya gosip politik, melainkan peristiwa hukum. Misalnya, fakta tentang benturan kepentingan hakim dengan pihak yang diuntungkan oleh putusan, komentar Ketua MK yang mengindikasikan pandangannya tentang perkara ini pada 9 September lalu di Semarang, serta ditarik dan dimusyawarahkannya perkara yang baru masuk pada 13 September 2023 (perkara yang kemudian dikabulkan ini) dengan perkara-perkara yang pemeriksaannya sudah selesai setelah kira-kira lima bulan disidangkan. Maka, tak salah apabila publik gelisah, bahkan sebagian marah, dengan keluarnya putusan ini.

Putusan ini juga bukan satu-satunya yang kontroversial dari Mahkamah Konstitusi. Contohnya, putusan tentang Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang berasal dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu),  putusan tentang perpanjangan periode pimpinan KPK, dan bergemingnya MK untuk tidak meloloskan puluhan permohonan pengujian ambang bataspencalonan presiden. Nilai putusan MK tentu bukan soal kalah-menang belaka. Istilah kontroversial digunakan karena pertimbangan hukum (legal reasoning) yang lemah. Dalam istilah MK, penalaran hukum yang wajar.

Padahal, karena karakter khusus yudikatif tadi, cantolan legitimasi lembaga peradilan justru terletak pada penalaran hukum dan perilaku etik hakim-hakimnya. Legitimasi yang berpegangan pada kepercayaan public makin lama akan semakin rapuh apabila penalaran hukum pengadilan buruk. Inilah yang dialami MK beberapa waktu belakangan.

Hal itu menunjukkan kepercayaan yang terpuruk. Akibatnya, sungguh buruk, karena MK bagaimana pun tetap harus bertugas, termasuk untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan presiden, legislatif, serta kepala daerah pada 2024. Apabila legitimasi MK sebagai fasilitas hukum untuk meredam konflik politik semakin tipis, konflik akan kian sulit dikelola.

Bagi sebagian hakim MK, tampaknya kesadaran akan letak penting MK dalam bangunan negara hukum dikaburkan oleh kepentingan kekuasaan. Hal itu terjadi mungkin karena balas jasa politik dalam proses pemilihan atau karena hubungan kekerabatan. Bisa juga karena kelemahan sikap dan argumen.

Bagi politikus, MK adalah cara strategis untuk mencapai kekuasaan justru karena desain ketatanegaraannya mudah dibajak. Di banyak negara di dunia, pembalikan demokrasi (democratic backsliding) justru sering dilakukan dengan membajak pengadilan konstitusi (Gins-burg, 2018). Hal ini dilakukan dengan memengaruhi komposisi hakim dan membuat pengawasan tak berfungsi.

Oleh karena itu, harus ada perombakan terhadap bagaimana MK bekerja mengingat tugasnya dalam negara hukum tetap penting. Melton dan Ginsburg (2014) dalam studi di sejumlah negara menunjuk pentingnya model pemilihan hakim dan bagaimana etik serta perilaku hakim diawasi dengan ketat.

Demokrasi Indonesia sudah dibuat semakin mundur dengan putusan ini. Pihak yang diuntungkan dapatmenepuk dada dan sekadar mengulang mantra ”abaikankritik, bagaimanapun putusan MK final dan mengikat”.

Memang putusan MK harus dilaksanakan, tetapi kritik tetap harus dilakukan agar akal sehat publik tetap terjaga. Jangan sampai kesalahan dianggap sebagai kebenaran hanya karena dikatakan oleh empunya kekuasaan.

 

Sumber : https://epaper.kompas.id/pdf/show/20231019?open-from=30-days-section

Tanggal: 24 Oktober 2023

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.