preloader

Perbenturan Kepentingan dan Pencegahan Korupsi

Somasi oleh pejabat publik akhir-akhir ini gencar. Pertama, somasi oleh Kepala KSP Moeldoko merespons laporan yang dirilis ICW terkait potensi perbenturan kepentingan bisnis dari Kepala KSP dan salah satu kerabatnya di dalam kampanye obat Ivermectin sebagai obat Covid-19. Kedua, somasi oleh Menteri Luhut Pandjaitan kepada Haris Azhar terkait presentasi Haris terhadap potensi perbenturan kepentingan bisnis dari Luhut dalam operasi militer di Intan Jaya, Papua.
Terdapat dua catatan penting dari kedua hal tersebut. Pertama, somasi ini dapat dipandang sebagai bagian dari penyempitan ruang publik di dalam mengungkapkan kritik terhadap pejabat publik. Harusnya seseorang yang memiliki atribut sebagai pejabat publik memiliki tingkat penerimaan kritik yang besar dan menjawab setiap kritik secara proporsional.
Kedua, hal ini menandakan masih lemahnya pemahaman antikorupsi oleh pejabat publik. Hal ini karena apa yang dilakukan ICW dan Haris memiliki basis pemikiran yang kuat di dalam kerangka pencegahan pemberantasan korupsi. Pendapat yang dikemukakan ICW dan Haris bagian dari kontrol publik terhadap pejabat publik yang memiliki atribut ganda, sebagai pejabat dan pelaku usaha.
Tulisan ini mencoba menguraikan bagaimana laporan ICW dan Haris memiliki basis pemikiran yang kuat dalam diskursus kajian antikorupsi. Apa yang disampaikan ICW dan Haris di dalam literatur kajian antikorupsi disebut sebagai perbenturan kepentingan walaupun tidak bersifat aktual (actual conflict of interest). Namun, apa yang terjadi, baik pada kasus Moeldoko maupun Luhut, dapat dikatakan sebagai potensial (potential conflict of interest) ataupun patut diduga (perceived conflict of interest).

 
Perbenturan kepentingan
Transparency International di dalam pedoman antisuapnya menyatakan secara tegas bahwa ”perbenturan kepentingan merupakan konsep kunci untuk menentukan apakah sebuah tindakan yang diambil oleh pejabat publik dianggap sebagai tindakan koruptif atau bukan” (Anti Bribery Guidance, 2018). Banyak literatur antikorupsi, salah satunya yang diproduksi oleh Ombudsman Federal Australia, membagi tiga tipe perbenturan kepentingan, yakni perbenturan kepentingan yang nyata terjadi (real), perbenturan kepentingan yang patut diduga (perceived/apparent), dan perbenturan kepentingan yang potensial terjadi (potential) (Commonwealth Ombudsman, 2017).
Dalam banyak kasus, perbenturan kepentingan yang sifatnya potensial ataupun patut diduga muncul karena ada kepentingan bisnis dari pejabat publik, baik yang dilakukan secara pribadi, keluarganya, maupun kerabat, yang terkait secara langsung dengan jabatan yang diemban. Kepentingan bisnis ini tidak hanya terbatas pada perusahaan yang dikontrol secara langsung oleh pejabat publik yang bersangkutan, tetapi juga dalam hal keuntungan ekonomi, seperti kepemilikan saham di suatu perusahaan.
 
Perbenturan kepentingan yang sifatnya patut diduga tidak hanya terbatas pada apakah kepentingan ekonomi tersebut terkait dengan lingkup jabatannya, tetapi juga seberapa jauh pejabat tersebut dapat memengaruhi pejabat lain di dalam lingkup jabatan yang berbeda. Oleh karena itu, semakin tinggi posisi jabatan seseorang di lingkup jabatan pemerintahan, seperti presiden, menteri, ataupun anggota DPR, semakin besar pula potensi perbenturan kepentingan yang sifatnya patut diduga ini. Pada konteks inilah seharusnya laporan yang dikemukakan ICW, pendapat Haris Azhar, ataupun film dokumenter Watchdog, Sexy Killer, perlu ditempatkan dalam konteks ekspresi konstitusional berdasarkan Pasal 28 E Ayat (2) UUD 1945 karena memiliki basis konseptual yang kuat secara akademik.
 
Mengelola perbenturan kepentingan
Di Indonesia, secara normatif, pengelolaan perbenturan kepentingan ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Penanganan Benturan Kepentingan. Semangat yang terkandung dalam pedoman tersebut sudah mewakili esensi dasar dari praktik terbaik penanganan perbenturan kepentingan. Meski demikian, memang masih terdapat beberapa peningkatan terhadap pengaturan tersebut, termasuk di dalamnya memberikan pedoman secara eksplisit terkait pengelolaan pedoman kepentingan yang bersifat patut diduga.
Pada praktik terbaik di negara-negara lain, terdapat beberapa mekanisme pengelolaan perbenturan kepentingan, khususnya bagi pejabat-pejabat dengan posisi tinggi di pemerintahan. Dari mulai melakukan kewajiban divestasi terhadap seluruh aset di perusahaan yang berpotensi menciptakan perbenturan kepentingan sampai dengan kewajiban menyiapkan blind trust, menaruh pengelolaan aset kepada pihak ketiga secara penuh tanpa pejabat yang bersangkutan mengetahui di mana asetnya dikelola. Sayangnya, Peraturan Menpan dan RB No 37/2012 belum memasukkan konsep ini ke dalam pengelolaan perbenturan kepentingan.

Pengelolaan perbenturan kepentingan semacam ini perlu segera dirumuskan. Hal ini mengingat besarnya partisipasi pengusaha di dalam jabatan publik di Indonesia, baik di eksekutif maupun legislatif. Tercatat menteri-menteri yang memegang jabatan kunci seperti Nadiem Makarim, Luhut B Pandjaitan, Erick Tohir, bahkan Presiden Joko Widodo sendiri adalah pengusaha.
Terlebih pada cabang legislatif. Berbagai laporan media menunjukkan dominannya anggota DPR dengan latar belakang pengusaha di DPR. Salah satu riset yang dilakukan Marepus Corner-LIPI bahkan menunjukkan 6 dari 10 anggota DPR memiliki latar belakang pengusaha (Kompas, 23/10/2020).
Berdasarkan uraian tersebut, ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, sudah sepatutnya baik Kepala KSP Moeldoko maupun Menteri Luhut menerima laporan ICW dan Haris sebagai bentuk ekspresi yang sah berdasarkan konstitusi dalam kerangka pencegahan korupsi. Tindakan terbaik adalah untuk menjelaskan langkah-langkah pengelolaan perbenturan kepentingan yang telah dilakukan Kepala KSP Moeldoko ataupun Menteri Luhut terkait kepentingan ekonomi, baik pribadi maupun kerabat di perusahaan yang disebut di dalam laporan ICW dan Haris.
Kedua, diperlukan pengaturan normatif yang lebih kuat lagi untuk mengatur pengelolaan perbenturan kepentingan ini. Ini termasuk mendorong terbentuknya undang-undang kode perilaku pejabat publik, dengan memasukkan kewajiban divestasi atau pembuatan blind trust bagi mereka yang menduduki jabatan publik dengan latar belakang pengusaha.
 
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/10/14/perbenturan-kepentingan-dan-pencegahan-korupsi