preloader

Pahlawan dan Ruang Kewargaan

Hari ini adalah hari terbaik untuk merefleksikan kembali soal kepahlawanan. Mengapa seseorang diberi gelar pahlawan? Kapan dan apa yang membuat seseorang menjadi pahlawan atau penjahat?

Pahlawan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani.

Nyatanya, pahlawan kerap kali ditentukan oleh yang berkuasa. Seseorang bisa menjadi pahlawan pada suatu waktu oleh suatu kelompok atau dianggap penjahat oleh kelompok yang lain. Begitu pun banyak pahlawan—orang yang membela kebenaran—yang bisa muncul dalam ruang-ruang yang luasnya ditentukan oleh penguasa.

Secara administratif, sebutan pahlawan disematkan oleh pemerintah, serupa gelar. Seperti halnya pemberian ”bintang jasa”.

Kerap terjadi, yang diberi gelar pahlawan atau diberi bintang jasa oleh negara ada di lingkaran elite, yaitu yang namanya bisa masuk catatan sejarah, karena verifikasi negara membutuhkan dokumen dan pengakuan otoritas. Seseorang bisa menjadi pahlawan karena posisinya sebagai komandan perang, pembuat kebijakan, dan tentunya pejabat. Bahkan, bintang jasa diberikan secara otomatis kepada kepala-kepala lembaga negara dalam kondisi tertentu.

Padahal, pahlawan-pahlawan sesungguhnya tidak dilahirkan oleh pemerintah. Pemerintah menyematkan gelar pahlawan secara formal belaka. Namun, pahlawan lahir dari sebuah situasi yang membutuhkan perbaikan. Maka, ia bisa lahir kapan saja dan dari kalangan mana saja.

Presiden Joko Widodo memimpin upacara Hari Pahlawan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (10/11/2018).

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Presiden Joko Widodo memimpin upacara Hari Pahlawan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (10/11/2018).

Pahlawan adalah orang-orang yang menyebarluaskan gagasan kemerdekaan pada saat membincangkan kemerdekaan dilarang.

Ketika pemikiran perlawanan dilarang dicetak, mereka justru menerbitkan surat kabar bawah tanah. Waktu rakyat pribumi terlalu miskin untuk pergi ke dokter, mereka yang berpendidikan kedokteran merawat dan menyembuhkan tanpa bayaran. Benang merahnya: mereka melawan untuk membela sesama, dalam rangka mempraktikkan peran kewargaan (civic) mereka dalam sebuah ruang kewargaan (civic space).

Hak asasi manusia

Sayangnya, ruang kewargaan ini yang sekarang menyempit. Warga yang mempertahankan tanah adat milik leluhurnya ataupun aktivis yang mendiskusikan benturan kepentingan pejabat yang merugikan warga, justru ditekan atau diproses atas nama hukum yang tidak adil. Bahkan, jurnalis yang sedang membela kebenaran dengan menyuarakan ketidakadilan juga mendapat ancaman dan tekanan.

Hari-hari ini negara menyempitkan, bahkan menutup, ruang ini dengan setidaknya tiga cara: penggunaan kekerasan fisik, penggunaan tekanan melalui media digital, dan penggunaan tekanan hukum (judicial harassment).

https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2021/02/18/20210218-H01-DMS-vonis-UUITE-mumed_1613665874_gif.gif

Data dari Amnesty International Indonesia yang baru dirilis pada Oktober 2022 menunjukkan, sejak Januari 1999 sampai Mei 2022, ada 332 orang yang dijerat dengan pasal pencemaran nama dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Laporan yang sama mencatat, 834 korban kekerasan fisik dan digital. Ada 90 kasus serangan digital berupa peretasan dan doxing (penyebarluasan data pribadi) dengan 148 korban.

Repotnya, saat kasus-kasus semacam ini didiskusikan, pemerintah selalu lepas tangan dengan dalih bukan aparat negara yang melakukannya.

Padahal, kasus-kasus itu seharusnya serius ditangani bukan hanya untuk membuktikan bahwa bukan aparat negara yang melakukannya, tetapi lebih dari itu: kewajiban negara melindungi hak asasi warganya sudah timbul. Sebab, kasus-kasus di atas pada hakikatnya adalah pelanggaran hak asasi manusia, yaitu hak atas kebebasan berpendapat.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/SANsG5zRlDlnbpjKFESpvTCE5Sw=/1024x1466/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F14%2F69318de7-743a-48ec-b50f-4023ab3db3db_jpg.jpg

Kita paham, pembungkaman berpendapat memundurkan demokrasi karena demokrasi butuh kritik dan penyeimbang kekuasaan. Namun, hari ini, kita patut merenungkannya dalam konteks Hari Pahlawan, hari saat para pembela kebenaran dan keadilan diingat dengan rasa terima kasih.

Pahlawan bisa dikenal sebagai pahlawan tetapi juga penjahat, tergantung siapa yang berkuasa. Bisa jadi, orang-orang yang belakangan dipanggil polisi dan diperlakukan sebagai penjahat sesungguhnya adalah pahlawan karena mereka berjuang untuk keadilan.

Negara yang menutup ruang kewargaan untuk mempertahankan keadilan hanya akan merayakan pahlawan-pahlawan masa lalu dari kalangan elite; bukan menciptakan ruang bagi pahlawan-pahlawan baru untuk Indonesia yang lebih baik.

Selamat Hari Pahlawan!

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/09/pahlawan-dan-ruang-kewargaan

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.