preloader

Menghadapi Proses Legislasi yang Dystopian


Tak perlu jadi ahli hukum untuk merasakan kejanggalan dalam proses legislasi RUU Cipta Kerja. Simpang siurnya informasi tentang draf mana yang merupakan naskah final, sudah jadi bahan lelucon tersendiri di berbagai kalangan masyarakat beberapa waktu belakangan ini.
Telah banyak diberitakan bahwa ada beberapa versi naskah RUU Cipta Kerja yang beredar. Ada versi situs DPR (sekitar Maret, tebal 1.028 halaman), ada versi Rapat Paripurna (beredar 5 Oktober, tebal 905 halaman), ada versi pasca Paripurna (pasca 5 Oktober, tebal 1.052 halaman), dan terakhir versi “Dikirim ke Presiden” (12 Oktober, tebal 1.035 halaman).
Satu minggu setelah Rapat Paripurna DPR 5 Oktober 2020, akhirnya ada konfirmasi dari Sekjen DPR Indra Iskandar bahwa naskah akhir yang akan dikirimkan ke Presiden Joko Widodo adalah versi setebal 1.035 halaman. Sekjen DPR menjelaskan bahwa ada perbaikan format dan penyempurnaan redaksional, berbeda dari naskah yang disetujui dalam Rapat Paripurna (versi setebal 905 halaman). Namun berselang beberapa jam kemudian, mendadak beredar naskah versi baru lagi setebal 812 halaman. Naskah versi 812 halaman inilah yang kemudian akhirnya dikirimkan ke Presiden untuk pengesahan.
Tidak boleh ada praktik bongkar pasang pasal, pasca persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Naskah final RUU Cipta Kerja harusnya adalah naskah yang disetujui bersama dalam Rapat Paripurna 5 Oktober 2020. Sebagaimana dijelaskan oleh Sekjen DPR, naskah yang mendapatkan persetujuan dalam Rapat Paripurna, adalah versi naskah setebal 905 halaman.
Setelah persetujuan bersama dalam Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat II, tak boleh ada lagi perubahan redaksional apalagi substansial terhadap naskah. Baik UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 72), Tata Tertib DPR (Pasal 164), maupun Peraturan DPR Tentang Pembentukan Undang-Undang (Pasal 109), tidak ada satupun yang memberi ruang perubahan terhadap pasal ataupun ayat pada naskah yang telah mendapatkan persetujuan bersama di Rapat Paripurna.
Pasca Rapat Paripurna, satu-satunya ruang yang ada adalah untuk “mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan RUU” (Penjelasan Pasal 72). Persiapan teknis penulisan ini dapat dilakukan dalam kurun waktu tujuh hari kerja, untuk kemudian naskah disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden. Dalam persiapan teknis, memang bisa terjadi perubahan format, ataupun perubahan jumlah halaman yang diakibatkan oleh penyesuaian standar ukuran kertas dan huruf yang ditentukan oleh undang-undang. Tapi jelas, dalam persiapan teknis tidaklah boleh mengubah redaksional apalagi substansial naskah itu.
Kesimpangsiuran soal versi naskah hanyalah salah satu kejanggalan dari sederetan masalah yang ada dalam proses legislasi RUU Cipta Kerja. Pernyataan dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan artikel opini dari Rizky Argama menjabarkan dengan rinci masalah dan kejanggalan yang ada dari segi prosesnya.
Wajar bila kesimpangsiuran dan kekacauan proses legislasi RUU Cipta Kerja ini kemudian menimbulkan kecurigaan di mata publik. Penolakan marak terjadi di mana-mana, mulai dari organisasi buruh, organisasi keagamaan, think-tank, aktivis lingkungan, mahasiswa, pelajar, dan sederetan kelompok masyarakat lainnya.
 
Aroma Dystopian?
Mau tak mau, buruknya proses legislasi RUU Cipta Kerja mengingatkan kita pada beberapa RUU yang bermasalah belakangan ini, yaitu revisi UU KPK, revisi UU Minerba, dan revisi UU MK. Seperti ada chilling effect yang terjadi dalam proses legislasi belakangan ini. Publik mulai dibuat takut untuk berpartisipasi, apalagi untuk protes. Undang-undang belakangan ini terkesan seperti disusun di tempat gelap yang misterius, agenda rapat yang buru-buru, naskah yang simpang siur, dan strategi komunikasi publik yang malah menggunakan pendekatan keamanan dan intelijen.
Pelibatan publik dalam pembentukan undang-undang memang bukan persoalan mudah, tapi proses yang baik dan terbuka harus selalu diupayakan. Mustahil mengakomodir semua pandangan yang ada untuk dimasukkan dalam sebuah undang-undang, tapi proses yang tertutup sudah jadi jaminan bakal lahirnya sebuah undang-undang yang buruk.
Proses legislasi yang tertutup dan simpang siur bisa membuat publik jadi takut untuk berpartisipasi. Bagaimana publik mau berpartisipasi kalau prosesnya ugal-ugalan, misterius, dan sering buru-buru? Perubahan UU KPK berlangsung hanya 12 hari (menjadi RUU usul inisiatif DPR pada 5 September 2019, disetujui di Rapat Paripurna DPR pada 17 September 2019). RUU Cipta Kerja, yang digadang-gadang sebagai Omnibus Law, sejak awal memang didorong oleh Presiden Joko Widodo untuk melaju cepat di DPR yang kemudian menghasilkan proses legislasi yang semrawut dan tidak akuntabel.
Setelah menonton proses legislasi yang membingungkan, publik yang hendak berpartisipasi malah ramai-ramai dikecilkan dengan ditanya: Sudah baca belum? Mengerti atau tidak? Naskah versi mana yang dibaca? Ada nada arogan dari orang-orang yang merasa lebih terpelajar, terhadap kelompok masyarakat yang dianggapnya “tidak paham” atau “ditunggangi”. Padahal, tak pernah ada prasyarat akademik untuk terlibat dalam pembahasan undang-undang. Semua orang boleh, bahkan mungkin harus, untuk terlibat dan dilibatkan dalam pembahasan publik tentang rancangan pasal-pasal yang akan mengaturnya.
Tidak hanya membingungkan, proses legislasi juga bisa jadi menakutkan karena diwarnai oleh disinformasi dari pasukan pendengung (buzzer), dan juga karena adanya cara komunikasi Pemerintah yang malah menggunakan pendekatan keamanan dan kerja intelijen.
Masih bisa kita ingat dalam kontroversi revisi UU KPK tahun lalu, betapa KPK yang kuat dukungan publiknya bisa dalam waktu singkat diplintir informasinya oleh para buzzer sehingga dipercaya sebagian orang jadi lembaga yang perlu segera diawasi, disusupi taliban, radikal, dan lain sebagainya. Propaganda ini terbukti efektif, dan bahkan berhasil membuat orang yang sebelumnya mendukung KPK jadi bersedia memalingkan muka dan diam-diam mendukung pelemahan KPK melalui revisi UU KPK.
Pendekatan keamanan dan intelijen dalam komunikasi proses legislasi, cukup terlihat dalam proses kelahiran Omnibus Law. Sejak awal Presiden Jokowi memang memberikan arahan kepada Kapolri, Kepala BIN, dan Jaksa Agung untuk ikut terlibat dan melakukan pendekatan kepada berbagai organisasi dalam rangka memuluskan pembahasan Omnibus Law. Tiga hari menjelang Rapat Paripurna persetujuan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, beredar pemberitaan tentang adanya Surat Telegram tertanggal 2 Oktober 2020, yang berisi perintah Kapolri untuk melakukan “giat fungsi intelijen” dan “kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah” dalam rangka antisipasi aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law. Suasana jadi semakin mencekam ketika kemudian ada sederetan penangkapan warga, baik atas peristiwa unjuk rasa ataupun kasus penyebaran hoax, terkait dengan penolakan Omnibus Law.
Indonesia bukanlah, atau belumlah, menjadi suatu negeri dystopia, seberapapun aroma dystopian bisa kita rasakan belakangan ini. Bagaimanapun lapuknya, masih ada tonggak-tonggak demokrasi yang bekerja dan menyangga. Betapapun sempitnya, masih ada ruang-ruang kebebasan yang tersedia.
Melakukan bacaan analisis dystopian tentunya dengan mudah bisa dicap berlebihan, sekadar mengikuti tren, atau bahkan mungkin bisa dibilang tyrannophobia. Tapi analisis dystopian berguna untuk antisipasi, untuk mempersiapkan diri, dan untuk punya bayangan situasi dan kondisi politik seperti apa yang tak kita inginkan. Sebagaimana dijelaskan oleh Thomas P. Crocker (2015) , dalam pembahasannya soal Dystopian Constitutionalism, bahwa “… we may disagree over the good, but find it easier to attain agreement on the bad consequences we wish to avoid”.
Dystopia hanyalah rekaan, ia bukanlah suatu tempat ataupun negeri yang nyata. Tapi bayangan atas tempat itu bisa kita jadikan patokan dalam mengawasi atau membuat kebijakan-kebijakan, agar kita semua tak bersama mengarah ke sana. Dalam hal proses legislasi, tentu kita semua tak ada yang ingin proses pembentukan undang-undang yang buruk, tertutup, elitis, dan malah menjadikan orang yang protes, atau berbeda pandangan sebagai kriminal.
 

 
Menjaga Hak Protes
Hampir mustahil mendiskusikan dystopia tanpa menyebut novel-novel dystopian seperti Nineteen Eighty-Four (George Orwell, 1949), The Handmaid’s Tale (Margaret Atwood,1985), dan sederetan kisah dystopian lainnya. Kisah-kisah ini sengaja menyajikan gambaran dystopian, yang ditujukan sebagai peringatan kepada pembaca, agar tak membiarkan dunia bergerak ke arah sana.
Kisah-kisah dystopian biasanya menggambarkan kebebasan yang dirampas, larangan protes, pengawasan (surveillance) yang melekat, pemaksaan keseragaman pikiran, ada indoktrinasi, ada rasa takut yang sengaja disebarkan, dan ada kekejaman dalam penegakan hukum yang zalim. Kisah dystopian kadang menggoda pembaca dengan menyisipkan harapan adanya perlawanan dari warga yang protes. Namun kadang kisah tidak berakhir bahagia, warga yang protes melawan kemudian ditangkap, disiksa, dan akhirnya kembali jadi warga yang tunduk pada keseharian penindasan.
Salah satu pelajaran penting dari kisah-kisah dystopian tersebut adalah, betapa pentingnya menjaga dan merawat kebebasan yang kita punya. Kita beruntung karena dalam pembahasan revisi UU KPK ataupun RUU Cipta Kerja, masih banyak warga yang berani menyuarakan pendapatnya untuk protes.
Hak protes yang kita miliki, dijamin UUD 1945 dengan kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul. Dalam praktiknya, pelaksanaan hak-hak ini masih terancam dengan pasal-pasal UU ITE, pasal makar, dan juga risiko kekerasan negara ketika warga berbeda pandangan atau melakukan aksi unjuk rasa.
Oleh karena itu, kita perlu awas dan cermat dalam melihat proses legislasi mendatang, khususnya terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kebebasan warga. Perlu selalu kita ingat, bahwa kebebasan-kebebasan yang kita miliki hari ini bisa saja hilang dihapus dan dilupakan di masa depan.
 
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f8feec85fd45/menghadapi-proses-legislasi-yang-dystopian-oleh–eryanto-nugroho?page=all