preloader

Mengapa Hakim Konstitusi Tak Melihat Sengketa Pilpres dari Sudut Pandang Keadilan

Tulisan ini tak hendak memuji, apalagi memuja, tiga hakim yang berpendapat berbeda. Bahkan, karena catatan buruk Mahkamah Konstitusi dalam proses pemilu, ada anggapan bahwa putusan yang tidak bulat sebenarnya bagian dari permainan politik untuk meredam kritik terhadap Mahkamah Konstitusi. Namun hakim harus dinilai dari penalaran hukumnya, bukan sosoknya.

Perlu dicatat, rasio 5 berbanding 3 yang menggambarkan perbedaan pendapat hakim tidak bisa dibaca seperti skor pertandingan sepak bola, karena pendapat berbeda dalam putusan pengadilan wajib ditulis dengan uraian tersendiri dalam dokumen putusan. Meski tak mempengaruhi keabsahan putusan, tak bisa dimungkiri, penalaran tiap hakim itu membuka ruang diskusi yang besar tentang pemilu.

Dalam perkara ini, Mahkamah Konstitusi sudah bisa beranjak dari keterbatasannya sebagai sekadar pengadil hasil pemilu. Selain disebut dalam pertimbangan, dipanggilnya empat menteri untuk memberi keterangan dalam sidang untuk mengkonfirmasi dugaan pelanggaran melalui pembagian bantuan sosial di masa kampanye menandakan majelis hakim bersedia memeriksa keseluruhan proses pemilu, bukan hasilnya semata.

Masalahnya, cara pandang tentang hukum dalam pikiran para hakim menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari pemeriksaan proses ini. Keterangan para menteri, seperti kita duga sejak awal, normatif, sesuai dengan tugas mereka sebagai pembantu presiden. Namun beberapa hakim tampak siap dengan data tandingan dan memberikan penyimpulan dari jawaban-jawaban normatif para menteri circumstantial evidence karena mereka bersedia membaca nilai keadilan dalam hukum.

Sayangnya, mayoritas hakim yang menjadi penentu putusan belum mampu keluar dari cara pandang hukum sebagai undang-undang. Dalam pertimbangan putusan, hakim konstitusi menekankan bagaimana mereka memaknai & beralasan menurut hukum” sebagai beralasan menurut undang-undang. Bahkan mereka membenturkan etik dengan undang-undang. Saat mereka menguraikan pertimbangan tentang kampanye oleh presiden, hakim mengatakan, meskipun hal itu melanggar etik, untuk bisa diberi sanksi, harus ada norma hukumnya lebih dulu.

Karena hukum dibatasi sebagai undang-undang, sengketa proses pemilu yang tidak diperiksa secara adil oleh Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu tidak dipertimbangkan sebagai bagian dari pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Akibatnya, bangunan argumen TSM tidak bisa terbentuk secara utuh.

Pendapat Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat berbeda secara prinsip dalam memaknai hukum. Ketiga hakim tersebut pada dasarnya mengatakan bahwa hukum seharusnya tentang keadilan, bukan sekadar undang-undang, ada nilai-nilai yang harus bekerja, yaitu keadilan dan etika yang melandasinya. Nilai-nilai ini tidak bisa dianggap tidak ada semata-mata karena belum diatur undang-undang. Bagi mereka, acuan utama dalam melihat jalannya pemilu bukan hanya Undang-Undang Pemilu, tapi juga asas kejujuran dan keadilan, yang tertera dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945.

Yang mengkhawatirkan dari putusan ini adalah Mahkamah Konstitusi memberikan validasi nepotisme dalam penyelenggaraan negara. Padahal pemicu brutalnya Pemilu 2024 adalah nepotisme yang terlihat dengan terang benderang. Dengan kompas moral yang masih berfungsi, tak perlu pendidikan tinggi, siapa pun bisa melihat penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan salah satu pasangan calon presiden. Pembagian bantuan sosial oleh Presiden dan menteri-menteri dengan mengasosiasikannya kepada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bukan semata gosip warung kopi. Jutaan pasang mata menyaksikannya dalam bentuk rekaman audiovisual.

Tragisnya, pelanggaran yang jelas terlihat itu mendapat pembenaran hukum. Ada runtutan argumen yang terputus dalam pandangan hakim tentang nepotisme. Mereka menyempitkan makna nepotisme hanya pada karakter jabatan, yaitu soal diangkat atau dipilih, bukan pada keseluruhan proses pemilihan. Bila Mahkamah Konstitusi konsisten melihat pemilu sebagai proses, mereka akan bisa melihat nepotisme dengan jelas karena ada perlakuan yang tidak setara dari Presiden kepada anaknya selagi proses pemilihan berlangsung.

Dengan persetujuan hakim bahwa praktik seperti itu bukan nepotisme, akan timbul anggapan bahwa penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan keluarga normal belaka. Jangan kaget bila kelak nepotisme akan makin merajalela. Tidak hanya dalam pemilihan kepala daerah, tapi juga dalam kehidupan bernegara secara umum, sampai ke tingkat bawah.

Halangan lain dalam gelanggang keadilan pemilu ini adalah kerangkeng prosedur dalam Undang-Undang Pemilu. Proses yang demikian penting dan berat untuk dibuktikan ini dibatasi hanya dalam waktu 14 hari kerja. Akibatnya, waktu pembuktian sangat pendek, bahkan hakim membatasi jumlah saksi dan ahli.

Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi juga menyatakan mereka tidak teryakinkan karena keterbatasan waktu. Saat memeriksa kaitan antara bantuan sosial dan keinginan Presiden Joko Widodo memenangkan salah satu pasangan calon, para hakim mengeluhkan tidak adanya cukup ruang, waktu, serta alat/sarana untuk mendalami ataupun menyelidiki intensi pembuatan suatu kebijakan publik.

Bila memang Mahkamah Konstitusi serius menegakkan keadilan, pembatasan waktu ini sebenarnya bisa mereka “kesampingkan”. Pada 2003, saat membuat putusan nomor 004/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi mengesampingkan Pasal 50 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang membatasi pengujian undang-undang hanya untuk undang-undang yang dibuat setelah amendemen UUD 1945.

Memang ada terobosan hukum yang harus dibuat jika Mahkamah Konstitusi ingin mendapatkan keadilan yang maksimal. Di pengadilan mana pun, saat ada situasi politik yang menyebabkan kerangka hukum membuat hakim tidak bisa adil dalam memutus sebuah perkara, hakim membuat terobosan dan menjadi aktivis yang memperjuangkan hak konstitusional warga. Literatur hukum mengenalnya dengan istilah judicial activism

Namun judicial activism bisa terjadi hanya ketika hakim punya cara pandang yang sama tentang keadilan. Pada akhirnya, kita memang tidak bisa berharap semua hakim bisa menjadi aktivis pembela demokrasi, melainkan corong undang-undang dan penjaga stabilitas politik belaka.

 

Sumber: https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/171375/sengketa-pilpres-mahkamah-konstitusi?n_token=eyJ0eXAiOiJKV1QiLCJhbGciOiJIUzI1NiJ9.eyJ0b2tlbiI6IjhmMWRhNDdkZGRjODNlNmI5MWFmNTU5NDdhMWNhNTUwIn0.kmAQxe1WuqPwQbb_XjliCzKJl4mo4w27poUH0DHHQWQ

Tanggal: 28 April 2024

 

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.