preloader

Mabuk Kekuasaan Merusak Kemandirian Yudikatif

Benar kata orang bijak, kekuasaan bisa begitu memabukkan, bukan hanya dalam arti membuat ketagihan, tetapi juga membuat pemegang kekuasaan bisa bertindak di luar akal sehat; menabrak segala norma, aturan, dan kepatutan. Itulah yang sekarang sedang kita lihat pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang tengah menabrak aturan main yang dibuatnya sendiri, bahkan konstitusi dan etik, saat secara tiba-tiba menggantikan hakim konstitusi Aswanto dengan calon yang dipersiapkan diam-diam dan secara tidak patut.

Kondisi mabuk kali ini disebabkan oleh kekuasaan yang besar, yang selama empat tahun ini hampir tanpa kontrol. Begitu banyak undang-undang yang dihasilkan oleh DPR dan pemerintah, yang lolos hampir tanpa kritik yang berarti. Sebut saja misalnya revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, revisi UU Mineral dan Batubara, UU Cipta Kerja, UU Ibukota Negara, dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kalaupun ada kritik yang berarti dari luar, pengkritik akan dihantam dengan keras, seperti yang terjadi dengan gerakan #reformasidikorupsi, yang bahkan berujung pada kematian lima mahasiswa dan pelajar serta kekerasan pada ratusan demonstran.

Padahal, pembeda mendasar antara negara demokrasi dan negara otoriter adalah adanya ruang untuk melakukan pengawasan terhadap pemegang kekuasaan serta dipenuhi dan dilindunginya hak asasi warganegara. Kita sering membincangkan mengenai pengawasan yang dilakukan masyarakat, utamanya akademisi dan jurnalis, yang mempunyai peralatan untuk melakukan peran ini secara sistematis. Namun kita memang jarang membahas peran lembaga yudikatif. Barangkali ini tersebab kita juga tak memercayai pengadilan kita, yang juga kerap menampakkan wajah buruknya.

Namun, apa yang dilakukan DPR terhadap hakim konstitusi Aswanto adalah sebuah bentuk dibungkamnya lembaga negara pengawas kekuasaan secara telanjang. Di manapun di dunia, hakim tidak bisa diberhentikan karena putusan-putusan yang dibuatnya. Dasarnya, hakim mesti mempunyai ruang yang bebas dari intervensi politik yang membuat ia dikontrol untuk membuat putusan pengadilan untuk kepentingan penguasa. Sebagai pengemban amanah, tentu hakim tetap bisa dievaluasi. Karena itu ada lembaga penegakan kode etik dan perilaku hakim.

Poster yang dibawa aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan beberapa perwakilan elemen masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Madani ketika menggelar aksi seruan penyelamatan Mahkamah Konstitusi di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/10/2022).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Poster yang dibawa aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan beberapa perwakilan elemen masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Madani ketika menggelar aksi seruan penyelamatan Mahkamah Konstitusi di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/10/2022).

Hakim bisa saja diberhentikan, atas dasar pelanggaran etik dan tentu saja pelanggaran hukum seperti korupsi. Tetapi putusan yang dibuatnya tidak boleh ditentukan oleh pihak lain. Putusan hanya boleh ditentukan oleh penalaran hukum (legal reasoning) hakim serta keyakinannya atas kebenaran berdasarkan bukti-bukti dan argumen para pihak.

Dalam bangunan mengenai kemandirian kekuasaan kehakiman, “mengancam” hakim melalui pencopotan di tengah masa jabatan oleh lembaga politik berdasarkan putusannya adalah bentuk ancaman terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman. Karena itulah ada konsep kepastian masa jabatan (tenure) yang disyaratkan untuk memiliki kekuasaan kehakiman yang merdeka. Jangan lupa, dampak pencopotan hakim konstitusi Aswanto tak hanya akan dirasakan dirinya seorang, tetapi hakim-hakim lain yang bisa saja hanya akan membuat putusan yang memuaskan pemilihnya (3 hakim dipilih DPR, 3 dipilih presiden, dan 3 dari Mahkamah Agung) agar tak dicopot di tengah jalan.

Kita boleh tidak setuju dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi apa yang dilakukan DPR adalah bentuk serangan terhadap institusi MK yang kemandiriannya dalam mengawasi kekuasaan harus dijaga. Ketidaksetujuan pada sebagian putusan MK, juga sebagian perilaku hakim, tidak membuat kita boleh membuat hakim tak punya kebebasan membuat putusan. Bila ruang kontrol lembaga yudikatif juga diruntuhkan, siapa lagi yang bisa mengontrol kekuasaan secara formal? Sementara kontrol oleh para demonstran kerap dilawan dengan kekerasan sedangkan kontrol oleh para jurnalis dan akademisi kerap direspons dengan kooptasi dan peretasan.

Hakim konstitusi Saldi Isra (kiri) dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto saat memimpin hari terakhir sidang pemeriksaan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (30/7/2019).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Hakim konstitusi Saldi Isra (kiri) dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto saat memimpin hari terakhir sidang pemeriksaan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (30/7/2019).

Menggali penyebab pencopotan ini tentu harus menggali pula, apa yang membuat DPR begitu marah terhadap MK? Undang-undang mana yang sedang dipersoalkan? Menelaah undang-undang akan membawa kita pada fakta bahwa undang-undang tak hanya dibuat oleh DPR tetapi juga Presiden. Jangan pula lupa, 82 persen anggota DPR saat ini ada dalam koalisi pemerintah. Karena itu pula, kita hanya bisa berharap, masih ada sedikit peluang agar Presiden tak ikut terseret dalam kekacauan bernegara ini dengan tak menandatangani keputusan yang diambil DPR dengan cara melanggar hukum.

Sulit membayangkan apa yang bisa kita dapatkan dari MK bila fungsi kontrol inipun ingin dilemahkan dengan memberi ancaman bagi hakim yang dianggap membangkang DPR. Yang akan terjadi adalah kuldesak, jalan buntu bagi demokrasi. Bila hal ini tak dihentikan, niscaya kondisi mabuk kekuasaan ini akan makin parah karena penguasa menganggap memang seluruh Indonesia tak bisa lagi mengkritik.

 

Editor:
ANTONY LE

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/05/mabuk-kekuasaan-merusak-kemandirian-yudikatif?utm_source=kompasid&utm_medium=link_shared&utm_content=copy_link&utm_campaign=sharinglink

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.