preloader

Jembatan Selat Malaka: Identifikasi Regulasi dan Risikonya (Bag.2)

Foto: okezone.com

Pembiayaan
Pembiayaan mega proyek ini sebagian besar akan berasal dari Exim Bank of China. Jumlah porsi pembiayaan yang akan digelontorkan adalah 85% dari total nilai proyek. Dari mana sisa pembiayaan tadi, sudah pasti akan dibagi dua porsi antara Indonesia dan Malaysia.
Terhadap apa porsi kedua pemerintah bisa digelontorkan? Belum ada data jelas soal ini. Namun, hampir pasti penyiapan proyek dan pembiayaan pengadaan tanah di masing-masing yurisdiksi akan berasal dari kedua pemerintah.
Dukungan dan penjaminan pemerintah bisa saja dilakukan sepanjang memenuhi persyaratan di dalam Perpres KPBU dan peraturan-peraturan pelaksananya yang tersebar di tingkat menteri.
Besarnya porsi pembiayaan sektor privat terhadap mega proyek ini ketimbang pembiayaan sektor publik tentu saja mengindikasikan bahwa Perpres KPBU merupakan peraturan yang dapat diberlakukan dan bukan Perpres No. 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres No. 4/2015 (Perpres Pengadan Barang dan Jasa). Dua regulasi ini tentu saja berbeda dalam aspek pembiayaan dan mekanisme proses pengadaannya.
Mekanisme kerjasama
Bicara soal mekanisme kerjasama, hal itu bisa dilihat dari sudut pandang hubungan bilateral dan hubungan publik-privat. Dari aspek bilateral publik, tentu saja Indonesia dan Malaysia harus mengadakan perjanjian bilateral terlebih dahulu sebagai dasar acuan kedua belah pihak dalam membangun mega proyek JSM.
Sebagai perbandingan, Euro Tunnel antara Inggris dan Perancis; Oresund Bridge antara Denmark dan Swedia; dan dan Kereta Cepat Singapura-Kuala Lumpur (High Speed Rail Link) didasari oleh perjanjian bilateral antara masing-masing negara.
Dalam perjanjian bilateral tersebut, mekanisme kerjasama antara kedua pemerintah dan sektor privat dapat diatur bentuknya apakah akan menggunakan mekanisme KPBU seperti halnya Euro Tunnel ataukah kerjasama antar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masing-masing negara seperti halnya Oresund Bridge.
Meskipun berbeda mekanismenya, otoritas bersama atau joint commission dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan proyek. Model joint commission ini tidak hanya ada pada sektor infrastruktur saja misalnya otoritas bersama Euro Tunnel, namun juga pada sektor ekonomi lain seperti minyak dan gas (Malaysia-Thailand joint authority pada Teluk Thailand dan Indonesia Australia Joint Commission pada celah Timor).
Dengan melihat karakteristik mega proyek JSM tadi, mekanisme hubungan publik dan privat dalam proyek infrastruktur menggunakan mekanisme KPBU atau PPP. Mekanisme PFI kadang digunakan, meskipun baik istilah PPP dan PFI digunakan secara bergantian.
Tentu saja Perpres KPBU dan Permen PPN No. 4/2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan KPBU Dalam Penyediaan Infrastruktur (Permen Tata Cara KPBU) menjadi acuan dalam pelaksananaan mekanisme kerjasama ini. Antara pemerintah dan sektor privat akan diikat dengan suatu perjanjian KPBU dimana masing-masing pihak mempunyai peran dan tanggung jawabnya. Begitupun dengan pembagian atau alokasi risiko.
Design-Finance-Build-Operate-Transfer (DFBOT) biasanya menjadi mekanisme andalan dalam membangun infrastruktur berbasis ekonomi. Perusahaan proyek JSM yang akan mendesain, memperoleh pembiayaan, membangun, dan mengoperasikan proyek ini. Pada akhir masa perjanjian atau konsesi, infrastruktur tersebut diserahkan kepada pemerintah.
Terbuka bagi pemerintah suatu opsi apakah akan mengambil alih infrastruktur tersebut, menyerahkan kepada pihak lain melalui tender terbuka, atau memperpanjang perjanjian dengan perusahaan proyek JSM yang bersangkutan.
Selain Perpres KPBU, PP Jalan Tol pun juga menjadi acuan karena di dalamnya terdapat perjanjian pengusahaan antara pelaku usaha jalan tol dan pemerintah. Meskipun kedudukan PP Jalan Tol lebih tinggi dari Perpres KPBU, keduanya bisa saling melengkapi dalam implementasi mekanisme kerjasama dalam pembangunan JSM khususnya di sisi wilayah Indonesia.
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) menjadi otoritas di sisi Indonesia yang akan menjadi regulator penyelenggaraan jembatan tol JSM berdasarkan PP Jalan Tol. Meski sebagai regulator utama, kerjasama dan koordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah lainnya tetap saja perlu dilakukan.
Dalam konteks JSM, koordinasi kelembagaan tersebut dapat bergabung sebagai elemen perwakilan dalam joint commission antara Indonesia dan Malaysia. Koordinasi kelembagaan ini menjadi lebih kompleks jika mega proyek JSM kemudian digabung (bundling) dengan proyek infrastruktur lain dengan regulator berbeda.
Durasi Proyek
Sebagaimana proyek infrastruktur pada umumnya, JSM akan mempunyai durasi operasional yang lama. Perkiraan lama konsesi adalah 90 tahun, tetapi design life dari jembatan tol diperkirakan hingga 120 tahun sejak dibangun (Lim Sue Beng, 2011).
Ketangguhan konstruksi memang suatu keniscayaan. Lama tahan jembatan tol tersebut bisa saja mempunyai relasi dengan berapa lama perjanjian KPBU antara pemerintah dan sektor privat akan berlangsung.
Mengingat JSM akan melibatkan dua negara, masa konsesi atau perjanjian KPBU ini mestilah seragam alias sama antara Indonesia dan Malaysia dengan sektor privat yang mengoperasionalisasikan JSM.
Sektor privat diberikan konsesi selama masa tersebut dengan asumsi bahwa durasi tersebut dapat memberikan pengembalian investasi dan keuntungan sesuai dengan estimasi dengan memperhitungkan biaya-biaya selama proyek berlangsung.
Penentuan durasi proyek ini, selain memperhatikan masa umur infrastruktur, mesti juga memperhatikan ketentuan-ketentuan regulasi relevan khususnya terkait dengan penggunaan lahan. Diantara regulasi tersebut adalah UU No. 5/1999 tentang Peraturan Pokok Agraria jo. Peraturan Pemerintah No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai atas Tanah yang terkait dengan jangka waktu pemanfaatan lahan, UU Kelautan, UU Kehutanan, UU Perkebunan,  dan UU Pesisir.
Kompleksnya Regulasi Minimum
Identifikasi regulasi tadi menunjukkan bahwa setidaknya itulah sejumlah regulasi minimum yang mesti diperhatikan dipatuhi oleh perusahaan inisiator JSM. Regulasi yang teridentifikasi barulah regulasi pada tataran hirarki yang tinggi.
Peraturan pelaksana di bawahnya belumlah termasuk yang diidentifikasi. Mengingat karakteristik teknis peraturan pelaksana pada hirarki tingkat bawah, kita bisa bayangkan bagaimana kompleksnya implementasi penyediaan infrastruktur JSM ini di masa depan, setidaknya dari sisi Indonesia saja.
Risiko Regulasi dan Mitigasinya
Sebuah frasa sederhana yang pas bagi perusahaan proyek JSM terkait regulasi minimum yang disebutkan terdahulu adalah patuhi semua regulasi yang berlaku. Apapun proyek infrastrukturnya, regulasi adalah salah satu aspek yang menjadi concern bagi setiap pihak yang terlibat di dalamnya.
Sekomplek apapun regulasi dengan isu hukumnya yang bisa mempengaruhi waktu dan biaya penyediaan infrastruktur, regulasi tetap menjadi nomor satu untuk dipatuhi.
Perubahan regulasi dimungkinkan demi perwujudan proyek tersebut sepanjang memberikan dampak positif bagi perekonomian dan masyarakat dan perubahan tersebut mesti didahului oleh suatu kajian.
Alangkah lebih  baik jika perubahan tersebut didorong bukan hanya karena ada satu proyek yang akan dijalani namun karena kepentingan umum yang lebih besar yang diperkirakan akan terhambat karena berlakunya regulasi tersebut.
Dalam konteks JSM, kompleksitas regulasi ini baru berasal dari sisi Indonesia saja, belum dari sisi Malaysia. Meskipun dari sisi politik negara tetangga kita relatif stabil, Malaysia juga tidak luput dari soal isu kompleksitas regulasi dalam penyediaan infrastruktur.
Tantangan penting dalam mewujudukan JSM di masa depan adalah bagaimana mewujudkan infrastruktur ini dengan situasi sebagai berikut: (1) JSM dapat menopang pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia; (2) JSM dapat menyejahterakan masyarakat di sekitarnya; (3) Pembangunannya tidak mengganggu aspek lingkungan dan sosial; (4) Efisiensi terkait dengan waktu dan biaya pembangunan; dan (5) Infrastruktur bisa mempunyai umur yang panjang.
Secara umum dan garis besar, ada 4 (empat) tahapan penyediaan infrastruktur yaitu: (1) persiapan; (2) pelaksanaan; (3) operasionalisasi; dan (4) penyerahan. Dari empat tahapan tersebut, isu hukum terkait dengan persiapan dan pelaksanaan serta penyerahan dapat dilaksanakan dengan pematuhan terhadap regulasi yang ada.
Sementara itu, tahapan operasionalisasi adalah tahapan yang penting untuk diperhatikan karena di tahapan ini situasi politik dan regulasi bisa saja berubah, apalagi mega proyek JSM berdurasi panjang.  Di sinilah diperlukan mitigasi risiko regulasi.
Bagaimana menghindarinya? Penulis tertarik dengan hasil kajian World Economic Forum (WEF) berjudul “Strategic Infrastructure, Mitigation of Political and Regulatory Risks in Infrastructure Projects” dan pendapat Paulo Correa dalam artikelnya bertitel “What it takes to lower regulatory risks in infrastructure industries” akan cara dalam memitigasi risiko regulasi.
Baik hasil kajian WEF maupun Correa mempunyai kemiripan sudut pandang cara. Namun, mitigasi risiko regulasi di masa depan yang penulis lebih kombinasikan dari WEF dan Correa bagi pembangunan JSM di masa depan adalah dengan cara:

  1. penerapan regulasi yang kokoh;
  2. penerapan infrastructurecontract yang konsisten,
  3. penyempitan ruang diskresi bagi pengambil kebijakan dalam mengubah peraturan,
  4. efisiensi prosedur adminitrasi terkait infrastruktur; dan
  5. pengikatan diri terhadap komitmen internasional.

Sebagaimana WEF sebut dalam laporannya, cara mitigasi bisa berbeda dan bersifat case-by-case. Meski demikian, penulis setuju dengan pendapat Correa yaitu perlunya regulatory governance system khususnya bagi infrastruktur.
Sistem tata kelola ini mestilah diawasi dan dijalankan oleh lembaga kompeten dan relevan yang memantau implementasi regulasi dan kemungkinan situasi-situasi yang mempengaruhi perubahan regulasi di bidang infrastruktur.
Dalam konteks JSM, sebelum perjanjian bilateral dan perjanjian KPBU antara pemerintah Indonesia-Malaysia dengan perusahaan proyek JSM ditandatangani, Indonesia mesti mempunyai sistem tata kelola infrastruktur yang kokoh setidaknya melalui beberapa elemen cara di atas.
Untuk menghindari perubahan dan ketidapastian politik yang bisa mempengaruhi kebijakan dan regulasi, pemerintah dapat berkomitmen atau mengikatkan dirinya pada klausul yang melindungi proyek JSM dari setiap perubahan politik dan regulasi di masa depan.
Pengikatan diri ini tentu saja harus dikaji dan konsekuensi pengikatan diri ini tidak boleh merugikan Indonesia itu sendiri. Pengalaman Indonesia dalam mengubah regulasi yang berdampak terhadap gugatan di arbitrase internasional adalah pengalaman yang bisa dijadikan pelajaran.
Regulasi dapat saja berubah namun pencantuman pengecualian terhadap proyek penyediaan infrastruktur yang sudah berjalan perlu juga dilakukan.
JSM akan menjadi mega proyek yang besar di masa depan antara Indonesia dan Malaysia. Pandangan skeptis barangkali akan mengatakan bahwa proyek ini tidak jelas dan tidak tahu kapan akan terealisasi. Pandangan itu betul adanya.
Bahkan, pandangan sejenis ini terjadi pula pada mega proyek Euro Tunnel dan Oresund Bridge dengan berbagai isu hukum, politik, dan ekonomi. Lebih dari 100 tahun waktu diperlukan untuk mewujudkan kedua infrastruktur lintas batas ini sejak ide pembangunan ini dilontarkan pada abad ke-19.
Apakah JSM akan seperti ini juga ataukah JSM akan sama nasibnya dengan JSS? Terlepas berapa lama proyek ini akan terealisasi, setidaknya identifikasi regulasi dan risiko regulasi di awal tetap perlu kita lakukan buat pengetahuan dan pelajaran setidaknya buat diri kita sendiri.
 
============================================================================
Sumber : https://www.selasar.com/
Terbit pada : Senin, 06 September 2016
Tautan online: https://www.selasar.com/ekonomi/jembatan-selat-malaka