preloader

Jangan Percuma Lapor Polisi

Tanda pagar atau tagar #percumalaporpolisi di media sosial sempat menduduki urutan teratas beberapa hari lalu. Publik saat itu terkejut dengan laporan mengenai pemerkosaan tiga anak perempuan oleh ayah kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Hal yang menggusarkan lalu memunculkan tagar itu tak hanya tindakan pemerkosaan itu, tetapi juga bagaimana kasus ini dihentikan dan ditutupi penegakan hukum.
Secara formal, perkara ini berstatus dihentikan. Selain karena dianggap tak cukup bukti, juga karena pelapor, ibu ketiga korban, disebut punya masalah kejiwaan—hal yang sebenarnya tak terkait dengan pokok perkara sehingga tak patut diangkat sebagai alasan.
Saat kabar itu kali pertama diekspos, dengan akun media sosialnya, Kepolisian Resor Luwu Timur mengirim pesan langsung kepada pihak yang ikut menyebarkan bahwa itu hoaks. Bahkan, laman Projectmultatuli.org dan akun media sosialnya tak dapat diakses selama beberapa saat. Laporan visum yang bersifat pribadi juga disebar di media sosial. Meski bukan disebar akun resmi kepolisian, timbul pertanyaan mengapa data pribadi, seperti laporan visum, bisa jatuh ke tangan orang lain yang lalu menyebarkannya?
Hanya setelah kasus ini diributkan, ada tanggapan yang diberikan oleh kepolisian. Namun, perlu dicatat, tanggapan yang diberikan jauh dari penegakan hukum dengan perspektif korban kekerasan seksual. Selain memberikan keterangan, kepolisian juga mengunjungi korban dan pelapor tanpa didampingi kuasa hukum.
Terlepas dari tagar itu, hal yang harus disoroti ialah cara penegak hukum menangani kasus kekerasan seksual. Ada beberapa perkara sebelumnya yang baru ditangani memadai setelah diributkan di media sosial. Misalnya, kasus pemerkosaan di Tangerang Selatan yang awalnya berjalan lambat dan baru dituntaskan setelah korban membagikan kisahnya di media sosial.

Selain itu, saat menerima aduan, perlakuan sebagian penegak hukum kepada korban jauh dari layak. Contohnya, menanyakan pakaian yang dikenakan korban atau apakah korban menikmati kekerasan yang dialaminya. Kedua pertanyaan ini seperti mengucuri luka dengan jeruk nipis; memberikan siksaan tambahan kepada korban kekerasan seksual.
Definisi pemerkosaan yang digunakan juga kaku, berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Di luar itu, yang digunakan adalah pasal pencabulan, yang hukumannya lebih ringan. Atau, ada pula bentuk kekerasan seksual lain yang tak ada aturannya sama sekali sehingga diabaikan.
Penderitaan fisik dan psikis korban seakan tak tampak oleh hukum. Korban juga kerap diperlakukan seolah-olah orang yang sedang meminta belas kasihan dan harus membuktikan bahwa kekerasan memang telah terjadi kepada dirinya, seperti saat biaya visum harus ditanggung korban dan dijadikan syarat untuk melanjutkan laporan.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada 1 Januari-21 Agustus 2020, tercatat 3.649 perempuan dewasa dan 5.048 anak menjadi korban kekerasan seksual. Laporan ini tak boleh hanya dilihat sebagai angka statistik karena korban adalah individu yang menderita secara fisik dan psikis, bahkan rusak masa depannya, apalagi dengan stigma dari masyarakat yang kerap harus mereka terima.
Sangat penting mempunyai institusi dan penegak hukum yang berperspektif korban dan memahami kekerasan seksual. Presiden, Ketua DPR, menteri, Kepala Polri, ataupun Jaksa Agung tak akan menjadi pihak yang pertama kali menemui korban secara langsung. Namun, mereka bisa membuat kebijakan yang membuat garda depan penanganan kasus kekerasan seksual lebih baik. Caranya, dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

UU harus dilihat sebagai komitmen untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya cara memberi sanksi pidana. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga membahas soal pencegahan kekerasan seksual, penanganan korban, pembangunan sistem yang tidak lagi menempatkan korban dalam posisi tertuduh, dan perlakuan penegak hukum kepada korban.
Tak terperikan rasanya membayangkan tiga anak kecil di Luwu Timur harus menderita secara fisik dan rusak masa depannya. Begitu pula saat kita membuka dokumen lama, seperti kasus di Bengkulu tahun 2016. YY berusia 14 tahun ketika ia diperkosa dan dibunuh 14 laki-laki yang sebagian dikenalnya.
Ada pula perkara dengan korban anak laki-laki di sebuah gereja di Depok dan laki-laki dewasa di sebuah Komisi Penyiaran. Kekerasan seksual harus didekati dengan tujuan memulihkan korban. Butuh perubahan sistem penegakan hukum dan perilaku penegak hukum dalam menangani kasus. Korban harus menjadi fokus utama karena merekalah yang hidupnya dihancurkan.
 
Penulis: Bivitri Susanti
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/10/14/jangan-percuma-lapor-polisi