preloader

Hukum untuk Siapa?

Mengapa hukum bisa begitu beringas terhadap sebagian warga dan begitu melindungi untuk warga yang lain? Pertanyaan ini muncul saat berita dan rekaman video mengenai peristiwa di Pulau Rempang, Batam, beredar. Anak-anak berlarian menghindari gas air mata serta orang-orang cedera dan ditangkap karena menolak digusur. Sayangnya, gambaran ini tidak baru. Penggusuran paksa juga terjadi di Wadas, Jawa Tengah; Air Bangis, Sumatera Barat; dan banyak wilayah lainnya dengan pola yang sama: proyek strategis nasional.

Ceritanya serupa, diawali dengan sebuah proyek pembangunan yang diberi label sebagai proyek strategis nasional. Konsekuensinya, ada seperangkat perlakuan istimewa untuk proyek tersebut agar bisa cepat selesai, sesuai target pemerintah. Mulai dari perizinan yang dipercepat, pembiayaan yang dipermudah, hingga pengadaan tanah yang dipermudah, bahkan ketika ada tanah-tanah yang harus diambil paksa. Pengistimewaan yang dimulai sejak 2016 ini dibuat lebih kuat dengan masuknya soal proyek strategis nasional ke dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Target penerapan hukum bagi pembangunan adalah jangka waktu pelaksanaan proyek; bukan apa dampak proyek bagi manusia-manusia dan lingkungan di wilayah proyek. Ukurannya adalah jadwal kerja investor; bukan apa yang layak bagi warga yang tanahnya akan diambil. Tentu saja, dalam skema ”pengadaan tanah bagi kepentingan umum”, ada ganti rugi yang diberikan.

Dengan paradigma dagang, sebidang tanah bisa dibarter sebidang tanah di tempat lain. Tetapi, tanah bukan sekadar barang dagangan seperti yang ada di kepala pedagang. Tanah, bagi yang empunya, adalah soal kehidupan. Apalagi saat kita membicarakan komunitas adat seperti di Pulau Rempang, yang sudah membangun kehidupan di tempat itu ratusan tahun lamanya.

Sebenarnya, pembangunan yang manusiawi sangat mungkin dilakukan. Dengan memundurkan jadwal proyek, misalnya, untuk mengedepankan dialog atau mengubah desain proyek agar dampak bagi warga bisa diseimbangkan. Masalahnya, pedoman utama proyek strategis nasional adalah jadwal pelaksanaan proyek dan janji kepada investor. Maka, dialog untuk mencari jalan keluar terbaik bukan pilihan karena dianggap hanya menunda pelaksanaan target.

Padahal, justru tugas konstitusional pemerintah adalah mengupayakan adanya kesetaraan dalam relasi yang jelas tidak seimbang dalam proyek pembangunan. Seperti dalam timbangan lawas yang menggunakan balok-balok pemberat, saat timbangan lebih berat ke investor, pemerintah seharusnya memberi balok tambahan bagi warga yang terdampak. Itulah filosofi adanya pemerintah.

Nyatanya, dalam kasus Pulau Rempang, pemerintah menggunakan diksi ”pengosongan lahan”, bukan ”penggusuran”. Ada makna yang tersirat, warga memang harus pindah karena itu bukan lagi tanahnya. Pilihan istilah ini menegaskan bahwa kekerasan yang terjadi sudah sesuai hukum. Akibatnya, warga semakin terdesak dan kekerasan mendapat legitimasi.

Sementara itu, kehidupan yang menapak dan berakar pada wilayah hidup dan lingkungan sulit dipahami oleh kelas menengah-atas yang hidup di wilayah perkotaan, yang hidupnya lebih banyak ditempatkan dalam pola perdagangan dan pekerjaan yang tak berkaitan dengan pemanfaatan bumi. Akibatnya, narasi tentang warga yang tak tahu diuntung karena sudah diberi ganti rugi dan tidak mendukung pemerintah lebih dominan daripada persoalan hak dan kehidupan yang dilanggar.

Pertanyaan penting di sini: hukum dibuat untuk siapa? Apakah untuk manusia-manusia biasa atau untuk manusia-manusia yang diistimewakan karena mereka mempunyai uang dan kekuasaan untuk membuat proyek pembangunan dan memasukkannya dalam daftar proyek strategis nasional?

Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari proyek strategis nasional saat pemerintah juga dipenuhi dengan relasi kepentingan dengan pengusaha? Apakah benar proyek-proyek itu akan menguntungkan warga sekitar dan warga kebanyakan? Atau hanya akan menguntungkan orang-orang yang itu-itu saja karena merekalah yang memiliki modal untuk investasi sehingga bisa mengatur pembentukan dan penegakan hukum?

Selama cara pandang hukum dan pembangunan ini tidak dibongkar, penggusuran-penggusuran atas nama hukum yang menggunakan kekerasan akan terus terjadi dan seakan menjadi kebenaran dan kewajaran.

Polisi melakukan pengamanan saat bentrok dengan warga yang menolak pembangunan proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023).

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/09/13/hukum-untuk-siapa

Tanggal: 14 September 2023

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.