preloader

Buruk Muka, Oknum Ditunjuk

Polisi adalah ujung tombak sistem penegakan hukum dan penjaga ketertiban yang ada di hampir semua dimensi kehidupan warga. Mulai dari soal laporan pelanggaran hukum sampai soal mengemudikan kendaraan. Karena itu, penting untuk membicarakan bagaimana polisi menjalankan semua tugasnya.
Tagar #percumalaporpolisi tentu muncul bukan tanpa sebab. Bukan saja karena terungkapnya NW yang bunuh diri karena diperkosa dan dipaksa melakukan aborsi oleh seorang polisi di Jawa Timur, dan tidak tanggapnya polisi dalam menangani pengaduan pemerkosaan di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kekesalan warga tampaknya memuncak karena kerap menemukan perilaku buruk polisi.
Masalahnya, Polri menjalankan kebiasaan buruk warisan Orde Baru untuk menyebut anggota yang melanggar hukum sebagai ”oknum”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”oknum” berarti perseorangan atau anasir, tetapi penggunaannya kerap ditujukan untuk memisahkan pelanggar dari institusinya. Oknum bisa dihukum dan dikeluarkan dari institusi untuk membuat organisasi tampak baik-baik saja karena pengacau sudah disingkirkan. Akibatnya, pembenahan institusi tidak pernah dilakukan.
Dalam soal kekerasan, Kontras mencatat, selama Juni 2020-Mei 2021 setidaknya ada 651 kasus kekerasan yang dilakukan oleh Polri. Jenis kekerasan yang paling banyak adalah penembakan, yang menyebabkan 13 orang tewas dan 98 korban luka-luka. Ini juga masih harus dilengkapi laporan tentang penanganan demonstrasi yang kerap diwarnai kekerasan, sampai adanya video yang beredar saat seorang mahasiswa demonstran dibanting oleh anggota Polri.
Terkait pidana korupsi, setidaknya ada empat perkara besar. Kasus pembobolan BNI pada 2006, kasus pajak Gayus Tambunan 2011, kasus simulator surat izin mengemudi (SIM) 2012, dan kasus surat jalan Joko Tjandra 2020. Ini belum mengurai pengalaman petty corruption dalam kasus pelanggaran lalu lintas atau untuk mengurus SIM. Pengalaman semacam ini banyak diceritakan, tetapi warga kerap takut mendiskusikannya secara terbuka.
Mengurai masalah dalam kepolisian harus melongok sejarahnya. Polri berangkat dari sebuah lembaga yang mendapatkan legitimasi kekuasaannya dari penguasa dan didirikan untuk melindungi penguasa, bukan warga. Pada 1620, saat sebagian wilayah Nusantara dikuasai  VOC, didirikan Bailluw, semacam satuan pengamanan untuk melindungi perusahaan dan orang-orang Belanda. Kita juga bisa kembali ke masa Majapahit yang menjadi inspirasi penggunaan kata Bhayangkara. Tetapi, asal muasal kepolisian modern adalah kepolisian pada masa kolonialisme ini, yang diadopsi menjadi Polri pada 1945.
Melalui UU Pokok Kepolisian Nomor 13 Tahun 1961 dibentuk Departemen Kepolisian yang bertanggung jawab kepada Presiden dan merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang menjalankan doktrin dwi-fungsi. Konsekuensinya, watak Polri sebagai penegak hukum memudar dan karakter pengamannya menguat. Cara pandang pengaman penguasa ini berjalan puluhan tahun sampai ada Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 yang memisahkan pemisahan Tentara Nasional Indonesia  dan Polri sebagai amanat reformasi.
Selanjutnya, dibuat UU 2/2002 tentang Polri. Bambang Widodo Umar (2008) mencatat, pembentukan UU Polri ini tak diikuti revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai landasan organisasi dan kompetensi Polri. Akibatnya, muncul kerancuan dalam peran kepolisian dan kejaksaan dalam penegakan hukum, yang akhirnya juga berujung pada penegakan hukum yang lebih kental diwarnai pengabdian pada penguasa.
Padahal, karakter kepolisian untuk melindungi kepentingan penguasa biasanya terjadi pada negara-negara totaliter (Umar, 2008). Untuk sebuah negara demokratis, cara pandang yang harusnya digunakan adalah pemolisian demokratis. Pemolisian demokratis mensyaratkan empat hal.

Pertama, memprioritaskan pelayanan seluruh warga, bukan hanya kelompok tertentu. Kedua, bertanggung jawab kepada hukum, bukan kepada penguasa. Ketiga, melindungi hak asasi manusia, terutama untuk hak-hak yang dibutuhkan dalam negara demokratis. Keempat, transparan dalam semua kegiatan (Bayley, 2001).
Empat parameter ini hanya titik awal untuk sebuah diskusi panjang dan serius untuk melanjutkan reformasi kepolisian. Hal yang jelas, seharusnya bukan oknum yang disodorkan kepada warga untuk memaklumi kesalahan kepolisian, melainkan peta jalan reformasi kepolisian.
 

Editor: ANTONY LEE

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/12/09/buruk-muka-oknum-ditunjuk

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.