preloader

Arbitrase Syariah dan Lembaga Peradilan

Jika kita menyebut kata arbitrase, maka sudah pasti istilah yang satu ini merujuk kepada forum penyelesaian sebuah sengketa di luar mekanisme lembaga peradilan. Iya, arbitrase adalah salah satu mekanisme selain konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Lengkapnya soal mekanisme tersebut silahkan membuka dan membaca sendiri UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altenatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS).
Nah, jika kita menyebut istilah arbitrase lagi, maka satu hal yang bisa diingat dari dunia arbitrase di Indonesia adalah bahwa konon negara kita bukanlah negara yang bersahabat dengan pelaksanaan putusan arbitrase asing (foreign arbitral awards). Konon juga, tidak sedikit putusan arbitrase asing yang non excuteable alias tidak bisa dieksekusi lantaran dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan Pasal 70 UU AAPS atau ditolak untuk dilaksanakan karena bertentangan dengan ketertiban umum.
Meskipun begitu, anggapan ini dibantah oleh Karen Mills, seorang advokat berkebangsaan Amerika Serikat yang sudah lama malang melintang di Indonesia. Dia mengatakan dalam artikelnya yang berjudul “Debunking the Myth: the Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia” bahwa kehadiran UU AAPS telah membuat Indonesia ramah terhadap putusan arbitrase asing dan bahkan pengadilan pun tidak bisa mengintervensi substansi putusan arbitrase.Walaupun demikian, bukan topik ini juga yang akan dibahas dalam goresan artikel ini melainkan arbitrase syariah dan lembaga peradilan.
Pendaftaran Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Arbitrase dan lembaga peradilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Putusan arbitrase hanya bisa dilaksanakan atau mempunyai kekuatan eksekusi jika sudah didaftarkan di pengadilan. Bagi putusan arbitrase nasional, jangka waktu pendaftaran ke pengadilan sejak putusan diucapkan adalah 30 (tiga puluh) hari. Sementara itu, bagi putusan arbitrase asing, tidak ada jangka waktu maksimum dalam pendaftaran putusan arbitrase asing.
Ke pengadilan mana putusan arbitrase nasional dan asing didaftarkan? Pengadilan negeri tempat termohon eksekusi berdomisili menjadi tujuan pendaftaran dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional (Pasal 62 jo. Pasal 1 angka 3 UU AAPS). Jika lawan anda sebagai pihak yang kalah dalam arbitrase bertempat tinggal di Surabaya, maka Pengadilan Negeri Surabaya menjadi tempat pendaftaran putusan arbitrase tersebut. Sementara itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi tujuan pendaftaran dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase asing (Pasal 65).
Lantas, bagaimana jika putusan arbitrase yang didaftarkan adalah putusan arbitrase syariah? Sesuai aturan, pendaftaran tetap dilakukan di pengadilan negeri (putusan arbitrase syariah nasional) dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (putusan arbitrase syariah asing). Tidak ada pembedaan rupanya atas eksekusi pelaksanaan putusan arbitrase syariah dengan putusan arbitrase non syariah.
Hal ini ditegaskan melalui kehadiran UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8/2010 tentang Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8/2008. Pasal 59 ayat (3) UU menentukan bahwa pelaksanaan putusan arbitrase dilakukan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri. Penjelasan Pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa arbitrase disini termasuk juga arbitrase syariah.
Substansi pasal ini jelas menegaskan bahwa pelaksanaan putusan arbitrase syariah hanya bisa dilakukan melalui pengadilan negeri. Pelaksanaan melalui pengadilan agama yang pernah ditentukan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah tidak lagi dapat dilakukan dan  SEMA ini telah dicabut oleh SEMA No. 8 Tahun 2010.
Sempat Muncul Dualisme
Kalau kita melihat alur waktunya ke belakang, dualisme pelaksanaan putusan arbitrase syraiah antara pengadilan negeri dan pengadilan agama sempat muncul ke permukaan. Munculnya dualisme eksekusi putusan arbitrase ini adalah karena hadirnya SEMA No. 8 Tahun 2008. SEMA tersebut mengacu kepada  49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal  49 UU yang bersangkutan menentukan bahwa salah satu kompetensi absolut penanganan perkara peradilan agama adalah sengketa hukum ekonomi syariah yang meliputi perbankan, pasar modal, pembiayaan, dan keuangan mikro syariah.
Oleh karena kehadiran dua produk legal ini, terdapat dualisme pelaksanaan putusan arbitrase syariah di Indonesia yang mengakibatkan kebingungan bagi para pihak yang berlitigasi. Hadirnya UU Kekuasaan Kehakiman yang baru menegaskan ketentuan UU AAPS soal pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase melalui pengadilan negeri.
Lalu, apakah kehadiran produl legal tersebut khususnya UU No. 3  Tahun 2006 patut kita salahkan? Tentu saja tidak demikian. Masuknya sengketa hukum ekonomi syariah sebagai bagian kompetensi absolut peradilan agama adalah suatu kemajuan dan bukanlah kemuduran. Bahkan, Malaysia pun sebagai negara dengan transaksi ekonomi syariah yang besar belum mengatur masalah penyelesaian sengketa di mahkamah syariahnya, melainkan di peradilan umum biasa.
Transaksi ekonomi syariah mempunyai karakteristik yang khas dan tersendiri yang berbeda dengan transaksi ekonomi konvensional. Salah satunya yang paling mendasar adalah soal larangan riba dalam setiap transaksi ekonomi. Ketentuan boleh tidaknya sebuah transaksi ekonomi syariah dilangsungkan bergantung kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Kemudian, pemutusan atas suatu sengketa masalah yang berhubungan dengan ekonomi syariah tentu saja memerlukan hakim atau wasit (arbiter) yang tidak hanya paham soal hukum nasional, namun juga hukum dan ekonomi syariah.
Lembaga peradilan agama dianggap sebagai lembaga yang relevan ketimbang peradilan umum (pengadilan negeri). Ini mungkin dapat dianggap sebagai alasan mengapa penanganan sengketa ekonomi syariah dipisahkan dari lembaga peradilan umum, begitupun juga terhadap penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Sayang sekali, kompetensi absolut peradilan agama belumlah lengkap jika belum digandengkan dengan kewenangan melaksanakan putusan arbitrase syariah. Pelaksanaan putusan arbitrase syariah masih berada di tangan peradilan umum (pengadilan negeri).  UU AAPS memang mengatur bahwa pengadilan negeri tidak punyai kompetensi untuk memeriksa substansi putusan arbitrase, kecuali yang terkait dengan ketertiban umum. Dalam hal ini, hal-hal yang diperiksa oleh pengadilan negeri adalah hanya terkait dengan aspek non substansinya. Meski demikian, rasanya tidak lengkap jika kompetensi absolut itu masih berada di tangan peradilan umum.
Mendorong pengalihan kompetensi absolut
Inilah sebetulnya arah tulisan ini dibuat yaitu mengenai pendorongan kompetensi absolut mengenai eksekusi pelaksanaan putusan arbitrase syariah kembali ke peradilan agama. Bagaimana cara mendorong kembali ke lembaga peradilan yang satu ini? Jalan yang bisa dilakukan adalah merevisi UU AAPS dengan memasukkan ketentuan pelaksanaan putusan arbitrase syariah pada lembaga peradilan agama.
Tidak ada solusi jangka pendek yang bisa dilakukan misalnya menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) apalagi menerbitkan kembali  SEMA yang jelas-jelas bukan peraturan perundang-undangan. Jalan lain yang bisa dilakukan adalah merevisi Pasal 59 UU Kekusaan Kehakiman agar revisi UU AAPS  bisa harmonis dengan UU Kekuasaan Kehakiman.
Upaya mendorong pengalihan kompetensi absolut dari peradilan umum ke peradilan agama bisa dibilang gampang-gampang susah. Upaya ini bisa dikatakan mudah apabila terdapat komitmen pimpinan Mahkamah Agung dan peradilan untuk mendorong pengalihan tersebut. SEMA No. 8 Tahun 2008 adalah bukti komitmen tersebut meskipun akhirnya “kalah” dengan UU Kekusaan Kehakiman yang baru. Upaya ini juga bisa dikatakan susah atau berat. SEMA itu dibuat beberapa tahun yang lalu dan sudah dibatalkan. Perubahan dan pergantian pimpinan Mahkamah Agung pun bisa berkontribusi terhadap beratnya jalan pengalihan tersebut. Beda kepala sudah pasti beda isi. Beda isi tentu saja beda pikiran dan komitmen. Meskipun demikian, jikapun komitmen itu bisa didapatkan atau dilontarkan dari pernyataan pimpinan mahkamah ini, jalan berat lain pun masih harus ditempuh.
Solusi revisi UU AAPS dan UU Kekuasaan Kehakiman bukanlah solusi yang ringan, apalagi yang hendak diubah adalah dua undang-undang sekaligus. Sudah menjadi fakta umum bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) membutuhkan proses yang panjang dan melibatkan minimal dua institusi yaitu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Belum lagi, kita mesti cemat juga bahwa apakah rancangan tersebut masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) ataukah tidak. Sebagai informasi, baik UU AAPS maupun UU Kekuasaan Kehakiman tidak tercantum dalam Prolegnas 2015-2019 dan juga Prolegnas prioritas 2016. Walhasil, lengkap sudah jalan panjang dan berat ini untuk mendorong pengalihan kompetensi absolut tersebut.
Meski demikian, situasi tertentu misalnya keadaan yang urgent dan upaya politik yang kuat dalam mengubah kedua undang-undang di atas bisa saja menjungkirbalikan keadaan di atas kertas. Oleh karenanya, hal yang terpenting adalah kembali soal komitmen pimpinan Mahkamah Agung dan lembaga peradilan beserta dorongan kuat para pelaku ekonomi syariah di negeri ini.
Katakanlah jika tujuan pengalihan itu tercapai, maka pekerjaan rumah selanjutnya adalah menyiapkan kembali kapasitas hakim-hakim agama dan aparatus peradilan agama terhadap implementasi pendaftaran dan pelaksanaan putusan arbitrase syariah nasional dan asing. Hal lain yang tidak boleh luput adalah fase transisi pengalihan kewenangan. Fase transisi ini mesti jelas pengaturannya supaya tidak menimbulkan kebingungan dalam hal implementasi eksekusi putusan arbitrase.
Pada dasarnya coretan ini bukanlah coretan mendalam dari sisi akademik atau teoritik yang terkait dengan regulasi dan peradilan. Apa yang disajikan di sini hanyalah bersifat sebagai percikan awal untuk mengarahkan diskursus-diskursus akademik dan praktis soal kompetensi absolut peradilan agama terhadap eksekusi putusan arbitrase syariah. Coretan ini pun mengingatkan kembali bahwa isu kompetensi absolut ini masih bisa menjadi isu krusial di masa mendatang meski tidak sepopuler Perppu Kebiri ataupun usulan Perppu terkait mafia peradilan
 
================================================================================
Sumber: https://www.selasar.com/ekonomi/arbitrase-syariah-dan-lembaga-peradilan