preloader

Polisi Demokratis

Salah satu bentuk manifestasi dari perbedaan kepentingan yang tajam akhir-akhir ini adalah saling melapor ke kepolisian. Sistem penegakan hukum seakan menjadi arena pertarungan perbedaan kepentingan. Jika kepentingan pihak yang satu tidak disambut secara positif, tudingan akan proses yang diskriminatif segera muncul. Sebagai pintu masuk penegakan hukum, penting untuk menelisik seberapa kuat kepolisian mempertahankan posisinya pada situasi yang seakan dilematis itu.

Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama Eropa (2009) merumuskan dua prinsip utama posisi kepolisian dalam era demokrasi. Polisi demokratis (democratic police) adalah pelaksana pelayanan publik. Ia menggunakan otoritas negara dalam mengelola kepentingan publik serta mampu merespons kebutuhan dan harapan masyarakat. Kepentingan publik merupakan sumber mandat dan (seharusnya) menjadi orientasi dalam penggunaan kewenangan.

Urusan publik dalam tugas kepolisian dicapai melalui penegakan prinsip negara hukum (rule of law). Prinsip ini mensyaratkan kepolisian tidak cukup hanya sebagai penegak hukum tertulis dan sudah dipositifkan dalam bentuk peraturan. Namun, jauh melampaui itu, kepolisian adalah organ pengusung prinsip-prinsip negara hukum, terutama sebagai pelindung yang sensitif terhadap hak-hak asasi manusia.

Dengan demikian, kepolisian tidak semata organ koersif negara, melainkan institusi yang memberikan perlindungan kepada publik. Maka, fenomena saling lapor belakangan ini tidak perlu menjadi kekhawatiran. Asumsinya, kepolisian akan bertindak obyektif dan tampil sebagai penengah karena bukan pihak yang masuk dalam pusaran konflik.

Tapi yang kerap terjadi justru sebaliknya. Kepolisian sering diposisikan sebagai partisan. Preposisi ini muncul karena kepolisian adalah organ yang menjalankan peran negara (dalam hal ini pemerintah). Menurut David Bailey (1991), kepolisian adalah instrumen pemerintah yang berpengaruh kuat kepada seberapa tinggi pemerintah memperoleh legitimasinya.

Tudingan kepolisian tidak obyektif akan selalu muncul bagi pihak yang kepentingannya tidak terakomodasi secara positif. Hal ini penting ditanggapi, bukan untuk meneguhkan posisi kepolisian semata, melainkan memperkokoh kepercayaan dan legitimasi penegakan hukum. Respons yang harus dirumuskan adalah mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kewenangan kepolisian. Dua prinsip ini perlu terus-menerus diperiksa sebagai ukuran pelaksanaan kewenangan oleh kepolisian dan penegakan hukum dalam era demokrasi.

Reformasi peradilan pidana dan kepolisian bukan sesuatu yang tabu. Sebaliknya, pembaruan akan berbanding lurus dengan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap sistem itu sendiri. Ini terutama ketika karakter kepolisian dan peradilan pidana memang sudah berangsur-angsur diperbarui. Dari yang dulunya bergerak dalam rezim otoritarian-militeristik menuju era demokrasi.

Pembaruan menuju polisi demokratis ini adalah memperlebar ruang akuntabilitas. Paradigma yang digunakan dalam polisi demokratis bukan dengan memperkuat kewenangannya, melainkan memperkuat mekanisme akuntabilitas terhadapnya. David Bailey (1997) mendorong pencapaian polisi demokratis ini melalui dua hal, yaitu responsivitas dan akuntabilitas.

Responsif berarti dekat dengan aspirasi publik, yang sama besarnya dengan aspirasi negara. Ini berarti kepentingan yang utama adalah kepentingan keamanan masyarakat. Bentuk konkretnya bisa sangat beragam. Misalnya, Christopher Stone dan Heather H. Ward (2000) mencatat, di India, polisi hadir dengan menengahi konflik lahan; di Brasil dengan ambulans untuk publik; dan di Rusia dengan mendirikan pusat penahanan pra-persidangan.

Dalam konteks responsivitas, kepolisian Indonesia perlu merumuskan strategi yang bersifat tidak artifisial, melainkan substansial. Persepsi “hilang kambing akan juga kehilangan sapi”, untuk menggambarkan masalah bila berurusan dengan kepolisian, harus segera diperbarui. Lebih jauh lagi, kepolisian adalah organ publik yang dapat diandalkan dalam mengakomodasi kebutuhan publik.

Selanjutnya adalah memperluas ruang akuntabilitas kewenangan kepolisian. Perluasan ini dilakukan terhadap semua pemangku kepentingan melalui berbagai mekanisme. Setiap kewenangan maupun diskresi tidak lagi dimonopoli oleh satu tangan, melainkan selalu disertai dengan mekanisme untuk melakukan pengujian.

Prasyarat untuk memperluas ruang akuntabilitas ini adalah distribusi kewenangan. Untuk konteks Indonesia, mekanisme yang ada untuk mendorong akuntabilitas ini belum memadai. Misalnya, peradilan pidana sebagai mekanisme akuntabilitas belum berhasil melaksanakan perannya. Praperadilan masih sangat terbatas ruang lingkupnya, cenderung formalitas, dan administratif.

Dorongan terhadap polisi demokratis tidak sekadar mendorong perubahan institusional bagi kepentingan kepolisian semata. Polisi demokratis adalah tujuan ideal untuk mengoptimalkan mekanisme proteksi perlindungan bagi publik dan hak asasi manusia. Di tengah tantangan mengelola keberagaman aspirasi dan kepentingan, pembaruan terhadap kepolisian dan penegakan hukum tidak lagi terhindarkan.

Sumber : SKH Tempo
Url : https://www.tempo.co/read/kolom/2017/07/20/2559/polisi-demokratis
Diakses pada: Kamis, 20 Juli 2017