Pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menjadi ahli dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi pada Kamis (17/11/2022).
Dalam kesempatan tersebut, Bivitri menuturkan bahwa politik hukum revisi UU P3 bukan bertujuan membuat proses legislasi menjadi lebih baik, melainkan untuk segera melaksanakan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 agar UU Cipta Kerja dapat segera dilaksanakan. “Ketergesa-gesaan proses (revisi UU P3) karena pembuat undang-undang ingin memenuhi tenggat waktu yang diberikan Mahkamah dalam putusan UU Cipta Kerja yang tinggal satu tahun lagi. Sehingga ada target undang-undang Cipta Kerja harus jalan. Partisipasi yang dilakukan hanya untuk memenuhi daftar ceklis saja,” ungkap Bivitri.
Partisipasi yang dilakukan dalam revisi UU P3 hanya formalitas belaka sebagai pemenuhan data. Ada pun syarat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk mendapatkan penjelasan. Menurut Bivitri, Pemerintah dan DPR baru melaksanakan satu syarat saja, yaitu hak untuk didengarkan.
Bivitri juga menyoroti beredarnya video ketika Ketua Komisi III DPR menghardik anggota aliansi RKUHP saat mempertanyakan meaningfull participation sebagaimana ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai UU Cipta Kerja. ““Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-Undang Cipta Kerja adalah sebuah terobosan yang sangat penting dalam proses partisipasi, karena merupakan upaya yang luar biasa signifikan untuk mendobrak kejumutan yang selama ini terjadi,” ungkap Bivitri.
Bivitri menambahkan, Mahkamah Konstitusi seharusnya mengawasi proses pembentukan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR melalui kewenangan konstitusionalnya sebagai lembaga yudikatif melalui pengujian formil undang-undang.
Ketergesaan tersebut menimbulkan pelanggaran konstitusional dalam dua hal, yakni
Pertama, adanya penugasan presiden kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai menteri yang mengkoordinasikan jalannya pembahasan di DPR. Menurut Bivitri, langkah tersebut inkonstitusional karena tidak sesuai dengan pembagian kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh presiden.
“Dan kedua, partisipasi hanya dilakukan sebagai pemenuhan data. Dan ini saya lihat dari ketiga hal, sekali lagi yang pertama, tidak ada partisipasi kelompok masyarakat terdampak, tapi hanya ahli dan hanya seminar-seminar biasa. Kemudian metodenya juga tidak memberikan ruang untuk hak atas partisipasi bermakna. Dan juga tidak ada partisipasi dalam tahap pembahasan, semua dilakukan dalam tahap penyusunan,” papar Bivitri.