preloader

The Current Indonesian Constitutional Debate about the Power Balance between Parliament and President: A Comparative Perspective

Parlemen dan Presiden sebaiknya berada dalam posisi yang seimbang dalam kehidupan berdemokrasi untuk menjaga checks and balances. Meskipun demikian, posisi keduanya cenderung tidak seimbang—lebih dominan salah satunya—pun dapat berubah dari waktu ke waktu. Indonesia pun mengalaminya. Misalnya, pada masa Orde Baru, pun MPR berada di tataran tertinggi, Presiden mempunyai peran penting dalam pebuatan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Setelah amendemen konstitusi, MPR kemudian berada di posisi yang sejajar dengan Presiden. Dr Patrick Ziegenhain, seorang PhD Sains Politik dari Albert-Ludwigs-University di Jerman, menyatakan bahwa pada periode 1998—2001, di Indonesia, posisi parlemen sangat kuat sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap keputusan Presiden. Untuk memperjelasnya, ia membandingkan konteks Indonesia dengan Filipina dalam acara International Lecture: The Current Indonesian Constitutional Debate about the Power Balance between Parliament and President: A Comparative Perspective.
Ia mengungkap adanya gagasan untuk mengembalikan MPR dalam tatanan tertinggi lembaga negara, berikut GBHN-nya, seperti yang diungkapkan Megawati sebagai perwakilan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Patrick beranggapan bahwa perubahan konstitusi sebaiknya tidak dilakukan dalam jangka waktu yang pendek. Perlu ada waktu untuk menerima perubahan konstitusi yang terjadi di masyarakat dan aktor politik. Bukan hanya itu, ia juga mengajukan beberapa potensi dampak yang dihasilkan jika MPR dan GBHN memang akan dihidupkan kembali.
Di ruangan kelas STH Indonesia Jentera, Patrick memberikan beberapa kemungkinan. Misalnya, DPR adalah pihak yang akan diuntungkan dalam hal ini mengingat keanggotaan MPR merupakan anggota DPR dan DPD, apalagi jumlah anggota DPR adalah 560 orang. Dengan demikian, mereka akan mempunyai kekuasan lebih dan juga dapat mengatur Presiden sehingga independensi Presiden bisa dipertanyakan. “Saya coba cari ke mana-mana, tetapi tidak ada di satu pun negara yang plural dan liberal yang meminta Presiden untuk mengikuti panduan-panduan yang dibuat institusi yang lebih tinggi.
Sebagai penutup acara, di hadapan mahasiswa dan pengajar STH Indonesia Jentera serta tamu yang hadir, Patrick menyimpulkan bahwa GBHN berpotensi merusak relasi antara eksekutif dan legislatif yang sebenarnya di Indonesia tidak terlalu problematik dibandingkan negara-negara lain. Kembalinya GBHN dapat membuat MPR memiliki peran dominan lagi.

Gallery slideGallery slideGallery slideGallery slideGallery slideGallery slide