preloader

Pelindungan HAM Menembus Batas Teritorial Negara

Pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menjadi ahli dalam sidang uji materiil UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi RI pada Senin (16/1/2023).

Pasal 5 UU Pengadilan HAM, yang berbunyi “Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia”, dinilai para pemohon bertentangan dengan UUD 1945 karena menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 karena memuat frasa “…oleh warga negara Indonesia”. Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.

Pasal 5 UU Pengadilan HAM juga dinilai menimbulkan kekosongan hukum saat hendak menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM di berbagai kawasan Asia, seperti Myanmar. Terlebih, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran HAM.

Pada sidang tersebut, Bivitri menegaskan bahwa salah satu perkembangan hukum internasional terkait dengan pertanggungjawaban negara (state obligation) terhadap korban dan masyarakat adalah untuk mengungkap keadaan dan fakta terkait kejahatan hak asasi manusia yang masif dan sistemik, termasuk mengungkap pelaku dan dalangnya.

“Hukum harusnya mampu mengatasi soal-soal kemanusiaan. Tapi masalahnya, soal-soal kemanusiaan itu seringkali ditutupi oleh konteks politik yang rumit sekali, maka muncul misalnya ada persoalan atau pun isu tanggung jawab negara dalam konteks hak asasi manusia yang berupa penyiksaan, pembunuhan massal, penghilangan orang, kejahatan perang, dan juga kejahatan atas kemanusiaan yang dibebankan kepada negara terkait,” ungkapnya.

Bivitri menjelaskan bahwa perihal pertanggungjawaban negara dalam penegakan HAM termuat dalam ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Berdasarkan pasal tersebut, negara Indonesia memiliki tanggung jawab konstitusional untuk ikut menegakkan pelindungan HAM termasuk dalam perkara di Myanmar.  Meskipun di dalam Konstitusi UUD 1945 terdapat pelindungan terhadap HAM setiap orang, namun dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan-ketentuan teknis yang menghambat penegakan nilai-nilai konstitusional pelindungan HAM.

Pasal 5 UU Pengadilan HAM menentukan pembatasan bahwa proses pengadilan hanya diperuntukkan untuk warga negara Indonesia termasuk terhadap kejahatan yang dilakukan di luar teritorial Indonesia. Frasa “oleh warga Indonesia” itu membuat pelaku-pelaku kejahatan HAM yang di luar wilayah Indonesia, baik yang pelakunya maupun korbannya adalah warga negara asing, tidak dapat diadili dalam peradilan Indonesia. Padahal, hukum Indonesia mengenal pelindungan HAM untuk setiap orang yang tidak membedakan status kewarganegaraan, termasuk terhadap pelanggaran HAM berat.