preloader

Mempertanyakan Makna “Ilmu Negara”

Selasa, 20 September 2016, mata kuliah Ilmu Negara menghadirkan Marsillam Simanjuntak sebagai pengajar inspiratif. Seperti kuliah-kuliahnya terdahulu, Marsillam menyampaikan materi seolah bercerita. Tak heran, banyak hal yang ia sampaikan dalam kuliahnya itu merupakan kejadian yang ia alami sendiri sebagai saksi sejarah ketika usia kemerdekaan Indonesia masih sangat muda.
 
Ia membuka kuliah perdana kali ini dengan menjelaskan terminologi “ilmu negara” sebagai suatu ajaran—bukan ilmu—mengenai negara. Sebagai sebuah ajaran, ilmu negara mencakup berbagai materi, seperti hakikat dan sifat negara, tujuan negara, jenis dan bentuk negara, bentuk pemerintahan, serta teori dan konsep negara; semuanya tidak dibahas dalam konteks negara tertentu. Menurutnya, ilmu negara bersifat umum, berbeda dengan hukum tata negara yang membahas negara secara khusus dan berdasarkan pada konteks suatu negara tertentu.
 
Berikutnya, ia menguraikan secara singkat mengenai betapa tidak mudahnya para ilmuwan mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “negara”. Oleh karena itu, lebih mudah memperoleh pendapat para sarjana yang mendeskripsikan negara berdasarkan kriteria atau sifat dari negara. Secara umum, suatu negara dapat pula diidentifikasi dari terpenuhinya tiga unsur utama, yakni wilayah yang tertentu batasnya, masyarakat yang tunduk pada kekuasaan berdaulat, serta pemerintahan yang berdaulat.
 
Marsillam kemudian menjelaskan bahwa sosiolog Robert Morrison MacIver menambahkan satu unsur lain untuk melengkapi tiga unsur yang telah berlaku umum tersebut. Unsur keempat itu yakni adanya hukum yang dilegitimasi oleh pemerintah. “Hukum” di sini tidak bermakna sempit sebatas “undang-undang”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebuah negara merupakan tatanan hukum. Pendapat itu dianut oleh aliran yang melihat hukum secara murni (pure theory of law), yang salah satu tokohnya adalah Hans Kelsen. Dalam perspektif aliran itu, unsur negara berupa wilayah dilihat dengan cara mengidentifikasi di mana sebuah tatanan hukum berlaku.
 
Mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung pada era Presiden Abdurrahman Wahid itu pun mengajak para mahasiswa berpikir, apa perbedaan antara “negara” dan “negeri”. Jelasnya, kata “negara” berasal dari bahasa Sansekerta yang maknanya kurang lebih menggambarkan apa yang kita kenal sebagai unsur-unsur utama negara. Sementara “negeri”, ia melanjutkan, hanya mempunyai unsur tanah dan dan penduduk, tetapi belum punya pemerintahan. Oleh karenanya, tak ada kata “negara” dalam lagu Indonesia Raya. Lagu kebangsaan yang digubah jauh sebelum 1945 itu hanya menyebutkan Indonesia sebagai “negeri”. Istilah “negara” sendiri pertama kali dicantumkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bagian pembukaan pada konstitusi itu menyebutkan “Negara Indonesia”.
 
Selanjutnya, Marsillam—yang juga bergelar dokter selain sebagai sarjana hukum itu—memantik diskusi mengenai jenis kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945. Sebagian pakar berpendapat bahwa konstitusi kita menganut tiga jenis kedaulatan: kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum, dan kedaulatan 
rakyat. Namun, menurutnya, pernyataan itu kontradiktif dengan makna kedaulatan yang sebenarnya karena kedaulatan seharusnya bersifat tunggal. Jika kita menganut kedaulatan Tuhan, bentuk negaranya adalah teokrasi dan bukan demokrasi.
 
Sebagaimana kuliah-kuliah Marsillam sebelumnya yang selalu berhasil mengundang rasa penasaran para pesertanya, kuliah kali ini pun begitu hidup. Menjelang berakhirnya jam perkuliahan, diskusi justru semakin ramai dengan berbagai pertanyaan kritis dari para mahasiswa semester pertama; mulai dari persoalan tiadanya syarat “konsensus rakyat-penguasa” dalam unsur negara hingga pertanyaan soal kaitan konsep kedaulatan rakyat dengan aplikasi ideologi tertentu dalam suatu negara.
 
 
Menghadirkan Marsillam pada kuliah perdana Ilmu Negara ini begitu relevan karena latar belakangnya sebagai aktivis pro-demokrasi dan skripsinya yang fenomenal dengan judul Unsur Hegelian dalam Pandangan Negara Integralistik kami anggap dapat memberikan inspirasi bagi para mahasiswa. Skripsinya itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Pandangan Negara Integralistik (Jakarta: Penerbit Graffiti, 1994) dan dianggap sebagai salah satu kritik akademik terpenting terhadap kekuasaan negara pada masa Orde Baru.
Penulis: RA