preloader

Memahami SOP Penanganan Kekerasan Seksual di Sekolah

Kasus kekerasan seksual di sekolah yang melibatkan anak semakin meningkat belakangan ini. Per Agustus 2023, Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 723 kasus kekerasan yang berhubungan dengan satuan pendidikan. Dari data tersebut, 487 kasus merupakan kekerasan seksual yang melibatkan anak di sekolah.

Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera berkolaborasi dengan Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB), Rumah Guru BK, dan Fakultas Psikologi Universitas Brawijaya menyelenggarakan webinar berjudul “Peran Guru dalam Menangani Tindak Kekerasan Seksual pada Anak di Sekolah” pada Sabtu (24/02/24).

Setiap jenjang pendidikan harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan tindak kekerasan seksual di sekolah sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.  Penanganan tindak kekerasan seksual harus sesuai dengan prinsip dukungan psikologis atau psychological first aid (PFA) yang meliputi, safeguard, sustain, comfort, advise, dan activate.

Terkait dengan aturan penanganan kekerasan seksual di sekolah, Ketua Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) STH Indonesia Jentera, Reny Rawasita Pasaribu mengungkapkan, “Permendikbudristek PPKSP sebenarnya telah menghilangkan area ‘abu-abu’ dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual serta diskriminasi dan intoleransi untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan.”

Definisi kekerasan seksual sebagaimana termuat dalam Pasal 10 Ayat 1 Permendikbudristek PPKSP adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau  gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang  mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan  hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dan/atau  pekerjaan dengan aman dan optimal.

Beberapa bentuk kekerasan seksual yang dimaksud pada ayat di atas antara lain penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban; perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja; penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban dan perbuatan menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau membuat korban merasa tidak nyaman.

Bentuk kekerasan seksual juga bisa dilakukan melalui pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban; perbuatan mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman suara dan/atau visual korban yang bernuansa seksual;  perbuatan mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual dan penyebaran informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual.

Selain mengatur tindakan kekerasan, Permendikbudristek PPKSP juga memastikan tidak ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan di satuan pendidikan. Pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan meliputi penguatan tata kelola, edukasi, serta penyediaan sarana dan prasarana.

Terkait dengan itu, dalam Pasal 24 aturan tersebut terdapat ketentuan agar satuan pendidikan membentuk tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Sementara penanganan kekerasan (seksual) dilakukan melalui mekanisme penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, lalu tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan dan pemulihan.

“Nah, di sinilah SOP menjadi sangat penting  karena akan memberikan rencana kerja dan target yang jelas kepada TPPK dan Kepala Satuan Pendidikan.  Juga untuk memberikan jaminan kepastian proses penyelesaian kasus terhadap korban, saksi, dan semua pihak yang terlibat dalam kasus kekerasan (seksual),” papar Reny lagi.

Lebih dari itu, lanjut Reny, SOP juga akan menjadi titik tolak terbentuknya sistem pencegahan dan penanganan yang efektif, efisien, dan berprespektif korban, serta terus berkembang untuk kasus kekerasan (seksual) di lingkungan satuan pendidikan. Adanya SOP sekaligus menujukkan keseriusan lingkungan pendidikan dalam penanganan kasus kekerasan (seksual) sebagai upaya jaminan ketidakberulangan.