preloader

Legal Transplantation of Foreign Public Law in Asia

Pengajar STH Indonesia Jentera, Fritz Siregar, ikut serta dalam Research Symposium yang dilaksanakan oleh Asian Law Institute (National University of Singapore) bersama dengan Thammasat University, di Bangkok, Thailand. Selain STH Indonesia Jentera, perwakilan dari Indonesia adalah Universitas Indonesia dan Univesitas Airlangga. Research Symposium pada 3—4 November 2016 ini mengambil tema “Legal Transplantation of Foreign Public Law in Asia”. Diskusi terkait legal transplation atau legal adoption yang terjadi di Indonesia, Singapura, Pakistan, India, Thailand, Jepang, Korea, dan Malaysia menjadi salah satu tujuan simposium ini.
Legal transplation merupakan salah satu topik yang selalu menjadi pembahasan dari sudut pandang perbandingan hukum. Apakah mungkin legal transplation itu dilakukan di suatu negara dengan copy-paste dari negara lain? Saat suatu negara mengadopsi sebuah sistem hukum atau hukum dari negara lain, perlu diperhatikan beberapa hal untuk menjamin keberhasilan hukum yang diadopsi. Konteks, legal structure, dan legal culture menjadi faktor utama transplation ataupun legal adoption dapat bekerja sesuai dengan keinginan awal.
Sebuah pendapat lain menyatakan bahwa transplation atau adoption hukum merupakan tidak pernah terjadi. Namun, sebuah negara belajar tentang norma-norma yang ada di negara yang lain. Proses pengamatan terhadap apa yang terjadi di negara lain disesuaikan dengan norma lokal. Dengan demikian, proses pembentukan hukum itu terjadi. Sebenarnya, apa yang terjadi adalah sebuah ide lah yang berpindah; bukan hukumnya. Tidak ada sebuah proses legal transplantation ataupun adoption menjadi model karena proses itu berbeda dari satu negara ke negara lainnya. Terlebih lagi, pembelajaran mengenai legal transplation dan legal adoption itu sangat berkaitan dengan “konteks”.
Dalam Research Symposium ini, Fritz Siregar menyampaikan makalah yang berjudul “The Future of Judicial Authority in Indonesia”. Fritz berpendapat bahwa pada saat perubahan UUD 1945 dengan membentuk Mahkamah Konstitusi dan kewenangan judicial review (kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar), para constitutional drafter kurang memprediksi akibat-akibat hukum yang terjadi dengan dibatalkannya sebuah pasal, frase, ataupun undang-undang. Apalagi, dengan kondisi Mahkamah Konstitusi semakin sering memberikan putusan “konstitusi bersyarat” (conditionally constitutional), Mahkamah Konstitusi memberikan arti baru, sebuah penafsiran baru, bahkan menambah norma baru dalam sebuah pasal atau undang-undang agar tetap konstitusional. Mahkamah Konstitusi telah bergerak dari negative legislator menjadi positive legislator.
Proses legal transplant dari “judicial review authority” masuk ke dalam sistem hukum Indonesia telah mengawal proses demokrasi Indonesia. Akan tetapi, proses adopsi itu, yang dipengaruhi dengan konteks bernegara pada 1999—2002, masih perlu dikawal dan tetap dijaga agar berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Proyek itu mengadopsi judicial review authority. Ini memang satu langkah, tetapi masih banyak langkah penguatan yang perlu dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan masyarakat hukum.

Penulis: FES
Editor: APH