preloader

Mengenali Ajaran Stoisisme untuk Manajemen Mental

Agar kondisi mental tetap stabil, kita perlu memilah situasi yang bisa atau tidak bisa dikendalikan. Berhenti menjadi boneka yang bisa ditarik ke berbagai arah dan jangan menggantungkan kebahagian pada hal yang irasional atau di luar kendali. Yang berpengaruh terhadap mental kita sebenarnya bukan peristiwa eksternal atau yang di luar kendali. Mental kita sangat ditentukan oleh opini dan respon pribadi terhadap berbagai peristiwa tersebut.

Hal tersebut ditegaskan oleh penulis buku Filosofi Teras, Henry Manampiring, dalam Kelas Inspirasi bertajuk “Manajemen Mental ala Filosofi Teras” pada Jumat (9/12) di STH Indonesia Jentera. Dalam agenda tersebut, Henry memaparkan ajaran Stoisisme atau filsafat Stoa yang berfokus pada cara manusia dapat mengontrol emosi negatif dengan mensyukuri segala anugerah yang diterima hingga kini. Proses bersyukur dimulai dengan menyadari segala situasi yang dapat dikendalikan dan diupayakan agar berjalan dengan baik, di sisi lain juga terdapat kondisi di luar kendali manusia yang juga turut mempengaruhi upaya tersebut. Dengan kesadaran itu, manusia dapat berusaha atas apa pun yang diiringi dengan keikhlasan dan rasa syukur atas hasil yang didapat.

Berlandaskan Stoisisme, Henry membagi beberapa hal yang dapat dikendalikan oleh manusia seperti opini, pikiran, keinginan, dan tindakan manusia itu sendiri. Sedangkan hal-hal yang di luar kendali manusia antara lain cuaca, bencana alam, sikap orang lain, reputasi, dan kesehatan. Henry kemudian memberikan analogi terkait Stoisisme yakni ketika kita sedang berolahraga memanah. Manusia dapat berupaya dengan menyiapkan peralatan panah terbaik, berlatih, dan berupaya membidik dengan jitu, namun ketika anak panah telah meluncur dari busur maka terdapat banyak kemungkinan yang akan terjadi. Anak panah bisa sampai pada tujuan dengan tepat, namun di sisi lain anak panah dapat luput karena faktor di luar kendali seperti tekanan angin.

Dalam mengelola emosi, para filsuf Stoa juga mengajarkan agar manusia dapat berjalan selaras dengan alam. Henry menambahkan, agar dapat selaras dengan alam, manusia perlu memaksimalkan penggunaan otaknya. Dengan itu, manusia dapat memilah pikiran dan tingkah laku secara logis. Selain itu, manusia juga perlu untuk menyadari bahwa hidup harmonis antar sesamanya adalah rumus yang wajib diaplikasikan. Kodrat manusia adalah bersosialisasi dan bekerja sama. Pengelolaan emosi dapat dilakukan dengan berpikir dan bertindak baik antar sesama manusia, atau mulai menghindari konflik antar sesama.

Henry memberikan contoh nyata atas hal tersebut dengan bagaimana kita merespon segala masalah dan perdebatan di media sosial. Arus informasi dan teknologi yang cepat, membuat media sosial riuh akan fenomena yang banyak menimbulkan pro dan kontra. Respon pengguna media sosial kemudian juga beragam. Tidak sedikit yang menggunakannya dengan positif, namun juga banyak yang bertindak provokatif. Karenanya, banyak terjadi debat kusir, ujaran kebencian, hingga perundungan yang terjadi di media sosial hari ini. Guna pengendalian mental, Henry menyarankan agar kita semakin selektif dalam mengikuti dan merespon isu di media sosial. Dengan begitu, kita dapat mengaplikasikan ajaran Stoisisme dengan berpikir logis dan positif, untuk memilah dan menghindari fenomena negatif penggunaan media sosial yang dapat berpengaruh pada kondisi mental.