preloader

Batasan Umur sebagai Syarat Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Bukan Isu Konstitusional

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menjadi ahli dalam sidang lanjutan ihwal pengujian batasan umur sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi RI pada Selasa (29/8/2023) di Jakarta.

Permohonan Nomor 29/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI/Pemohon I) dan sejumlah perseorangan warga negara Indonesia, yakni Anthony Winza Probowo (Pemohon II), Danik Eka Rahmaningtyas (Pemohon III), Dedek Prayudi (Pemohon IV), dan Mikhail Gorbachev (Pemohon V).

Pasal 169 huruf q UU Pemilu menyatakan, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.

Menurut Bivitri, isu utama dalam perkara ini adalah diskriminasi berdasarkan umur atau dikenal dengan “ageism”. Namun, kebanyakan literatur hukum dan politik mengenai ageism justru mempersoalkan usia lanjut politisi, seperti Donald Trump dan Joe Biden di Amerika Serikat, ketimbang mempersoalkan batas minimum usia politisi. Orang yang pertama kali mengemukakan kata ageism, yaitu Robert Neil Butler, menggunakannya untuk menjelaskan diskriminasi terhadap orang-orang lanjut usia. Baru belakangan, istilah ini juga digunakan untuk menolak diskriminasi terhadap kelompok berusia muda.

Pembatasan usia minimum maupun maksimum untuk politikus sebenarnya memang bukan isu yang lazim diatur secara ketat, karena kapasitas politik politikus umumnya diukur dari pengalaman politik yang akan tergambar dari rekam jejaknya. Berbagai negara menerapkan usia yang berbeda-beda mengenai batasan umur karena memang sejauh ini tidak ada pembuktian secara ilmiah mengenai pengaruh usia pada kapasitas politik.

Dalam keterangannya, Bivitri Susanti menilai batasan umur sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden bukanlah isu konstitusional, sehingga Mahkamah Konstitusi harus konsisten dengan putusan-putusannya selama ini mengenai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.

Karena itulah, pertanyaan mengenai pada usia berapa seseorang sudah mampu menjadi presiden atau wakil presiden, bukanlah suatu isu hukum, apalagi isu konstitusional. Apabila pembentuk kebijakan ingin membangun konsistensi mengenai hak, maka usia minimum untuk dipilih sama dengan usia minimum untuk memilih. Namun nyatanya bukan model seperti itu yang ingin dibangun, karena ada asumsi mengenai masih belum matangnya kultur politik di Indonesia dan budaya feodalisme bisa membuat rekam jejak politik tenggelam di dalam menterengnya latar belakang keluarga dan gelar. Usia juga dijadikan filter untuk mencegah orang-orang yang tidak berpengalaman menjadi politisi.

Perdebatan mengenai batas usia minimum untuk dipilih harus dibiarkan berada dalam wilayah kebijakan, bukan dipindahkan ke wilayah konstitusional. Harapannya, dengan perkembangan tingkat pendidikan dan kedewasaan dalam berpolitik, hal ini bisa diatur dalam undang-undang secara kontekstual. Sedangkan jika Mahkamah Konstitusi yang mengaturnya, fleksibilitas ini akan hilang karena batas usia akan menjadi isu konstitusional yang kembali harus diperiksa Mahkamah Konstitusi dengan logika yang sangat mungkin akan inkonsisten.