preloader

Diskusi Buku State of Disorder: Privatised Violence and the State in Indonesia


Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Lab Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, dan Asia Institute University of Melbourne menyelenggarakan Diskusi Buku State of Disorder: Privatised Violence and the State in Indonesia yang ditulis oleh Abdil Mughis Mudhoffir pada Selasa (8/2/2022) secara daring.
Dalam pemaparannya, Mughis menjelaskan perihal state of disorder yang dicirikan dengan ketidakpastian hukum, maraknya tindak korupsi dan penyelahgunaan wewenang, dan meningkatnya eksistensi kelompok kekerasan di arena sosial, ekonomi, serta politik. Menurutnya kondisi tersebut bukan disebabkan oleh peran negara yang lemah, namun hasil dari keberpihakan negara pada instrumen ekstra ekonomi tertentu dengan mengorganisir kelompok kekerasan guna membersamai perkembangan kapitalisme.
Buku tersebut juga secara khusus mengangkat eksistensi kelompok kekerasan dalam arena state of disorder. Eksistensi tersebut menjadi sangat unik karena berkembang pada iklim demokrasi di Indonesia. Dengan tata politik serta hukum yang liberal, sudah semestinya negara dapat mengeliminasi hal tersebut, namun nyatanya tidak demikian. Menurut Mughis, fenomena tersebut menunjukkan adanya kecenderungan watak negara yang bias dengan prinsip dan tingkah laku kapitalis, sehingga walaupun dengan tata kelola yang liberal, hal-hal yang iliberal seperti kekacauan, korupsi, dan pelemahan hukum tetap dapat berkembang dengan pesat.
Pemaparan Mughis kemudian direspon secara khusus oleh penanggap yakni Head of Section for Global Development University of Copenhagen, Prof. Christian Lund, dan pengajar Jentera sekaligus Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) 2017-2021, Asfinawati.
Dalam tanggapannya, Christian Lund memuji buku tersebut karena memberikan persepsi yang menarik bagi banyak kalangan di luar Indonesia. Lund menyebut fenomena di Indonesia dapat merepresentasikan hal yang legal dan ilegal, konstitusional dan inkonstitusional, dilakukan oleh publik dan swasta dalam mekanisme yang original. Lund menggambarkannya dalam sebuah anekdot, bahwa di Indonesia kita dapat bangun di pagi hari dengan kondisi sosial yang masih legal, namun menjadi ilegal di sore hari, dan begitu sebaliknya.
Dalam fenomena tersebut, Lund menyebut bahwa sangat sulit untuk menyebut Indonesia sebagai negara yang lemah. Apabila menilik persepsi korupsi, maka negara dengan tindak korupsi yang mewabah dapat dikategorikan sebagai negara lemah. Namun, buku ini tidak merepresentasikan Indonesia pada negara tersebut. Dalam konteks ini, negara justru berhasil mendayagunakan institusi ekstra ekonomi, termasuk kelompok kekerasan, untuk mengatur hukum dan merengkuh sumber daya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Lund menegaskan bahwa negara tidak lemah, namun menjatuhkan kekuatannya di tempat yang tidak semestinya.
Asfinawati kemudian menambahkan dua poin krusial yang melanggengkan praktik state of disorder, yakni hukum dan kebijakan yang mendukung kekerasan non-negara dan penegakan aturan yang tidak berimbang. Pada dua hal tersebut, negara memilih untuk terkonsolidasi dengan institusi atau kelompok dengan latar kapitalis, untuk menambang sumber daya dengan lebih masif. Contohnya adalah kebijakan terkait Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2018 tentang tentang Satuan Polisi Pamong Praja dijelaskan bahwa fungsi Satpol PP adalah penertiban non-yustisial. Penertiban tersebut tidak didefinisikan secara hukum, sehingga samar dalam praktiknya. Karenanya tidak jarang upaya penertiban yang dilakukan justru berbentuk tindak kekerasan yang menyasar kelompok rentan, namun alpa dalam menangani ketidakteraturan kelompok-kelompok besar.
Diksusi yang dimoderatori oleh Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Auditya Saputra dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube STH Indonesia Jentera.