preloader

Payung Hitam untuk Republik

Payung-payung hitam terbuka setiap Kamis di seberang Istana Negara, Jakarta, bertuliskan tuntutan keadilan atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Orang-orang berbaju hitam, sebagian berpayung untuk berlindung dari cuaca, sebagian lagi meletakkan payung terbuka sebagai simbol, bergantian berorasi. Mereka menuntut keadilan bagi korban pelanggaran HAM serta berbagi berita tentang ketidakadilan lainnya yang tengah berlangsung di berbagai pelosok negeri ini. Mulai dari korban-korban dalam konflik agraria seperti di Pulau Rempang, tragedi Kanjuruhan, sampai dengan kriminalisasi pembela HAM.

Aksi Kamisan, begitu kita mengenalnya, hari ini genap sudah dilaksanakan selama 17 tahun. Dimulai sejak 18 Januari 2007, Aksi Kamisan sudah dilaksanakan pada 801 Kamis, termasuk dalam bentuk pertemuan daring yang dilakukan selama masa pagebluk kemarin.

Awalnya, ia diprakarsai oleh tiga keluarga korban pelanggaran HAM berat, yaitu Maria Katarina Sumarsih, orangtua dari Bernardus Realino Norma Irmawan, salah satu mahasiswa yang tewas dalam Peristiwa Semanggi I November 1998; Suciwati, istri mendiang Munir Said Thalib, pegiat HAM yang diracun di pesawat Garuda menuju Amsterdam; dan Bedjo Untung, perwakilan dari keluarga korban orang-orang yang diduga PKI pada 1965-1966. Kini, Aksi Kamisan ada di sekitar 50 kota dan kabupaten, seperti di Karawang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Purwokerto, Kediri, dan Samarinda.

Selama keadilan tak tuntas, Aksi Kamisan terus ada. Nyatanya, bukan hanya yang lalu yang tak selesai, melainkan ketidakadilan baru juga terus bermunculan. Apa yang terjadi hari ini memang tak terlepas dari yang terjadi di masa lalu: ”Today’s Impunity is Tomorrow’s Crime” kata seorang aktivis HAM dari Pantai Gading di Pengadilan Internasional. Impunitas atau pembebasan dari hukuman secara politik akan menimbulkan pembiaran bagi kejahatan-kejahatan setelahnya.

Banyaknya pelanggaran HAM, korupsi, dan tindakan pelanggaran hukum oleh penguasa sesungguhnya berakar dari tidak tuntasnya penyelesaian masalah-masalah keadilan masa lalu. Sekali saja keadilan dikompromikan secara politik, sementara para pelanggarnya menduduki jabatan-jabatanpolitik penting, maka keadilan dalam hukum akan selalu dipinggirkan. Hukum tetap ada, tetapi ia tak lagi tentang keadilan. Hukum hanya dimaknai sebagai peraturan dan institusi penegakan hukum yang seakan seperti cangkang kosong yang tak berisi keadilan.

Hukum mungkin bekerja untuk hal-hal yang secara ekonomi tidak penting atau kurang mengancam kekuatan kekuasaan, misalnya dalam perkara pencurian biasa dan penganiayaan, sepanjang ia bukan tentang orang kaya atau yang punya kekuasaan. Namun, hukum akan abai pada keadilan saat keadilan berarti membongkar kebejatan orang penting dan kekuasaan.

Tetapi, Aksi Kamisan lebih dari demonstrasi soal pelanggaran HAM. Ia telah menjadi pendidikan politik tentang civic virtue (nilai-nilai keutamaan wargawi), dengan langsung mempraktikkan kegiatan warga dalam membela kebebasan dan hak-haknya yang seharusnya dipenuhi serta dilindungi negara. Aksi Kamisan sebenarnya telah menjadi titik penting untuk mulai membongkar cara berpolitik di negeri ini, bila kita bisa memaknainya secara serius dan menjadikannya sebagai fondasi untuk bangunan pendidikan politik ke depan.

Bila menggunakan kerangka pikir Robertus Robet (2021) tentang republikanisme, aksi seperti ini membuka ruang partisipasi warga untuk memperjuangkan hak-haknya. Sejarah yang membuatnya begitu, karena demokrasi di negara ini justru berjalan berlawanan arah dengan gagasan republik yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini. Gagasan tentang republik bertumpu pada peran ”publik”, yaitu warga yang mempunyai nilai-nilai bersama yang didorong untuk mewujud dalam politik. Republik memelihara gagasan tentang nilai-nilai keutamaan, bukan sekadar institusi-institusi kekuasaan, yang selama ini dilihat sebagai makna demokrasi oleh pemilik dan pengejar kekuasaan.

Aksi Kamisan adalah simbolisasi penting politik kewargaan, yaitu politik yang tidak berhenti pada pencoblosan saat pemilu. Penting untuk menjaga pemilu untuk memelihara agar demokrasi tak terus berjalan mundur dan mati, tetapi pembicaraan mengenai negara ini tidak boleh hanya tentang pemilu. Kita harus berbicara tentang negara yang wilayah politiknya dipenuhi oleh suara kritis tentang hak warga dan kewajiban negara. Bukan lima tahun sekali, setiap hari adalah politik.

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/01/17/payung-hitam-untuk-republik

Tanggal: 18 Januari 2024

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.