Di pelataran gedung Mahkamah Agung (MA), berdiri sebuah patung kecil nyaris tak terlihat: sosok Kusuma Atmadja, ketua MA pertama, simbol integritas dan kejayaan masa lalu peradilan Indonesia. Namun, simbol itu kini terasa ironis ketika pengadilan kembali diguncang oleh skandal demi skandal.
Pelaku berasal dari berbagai tingkatan, dari hakim agung, hakim tingkat pertama, hingga panitera. Dari pejabat eselon satu hingga staf pengadilan. Adapun pemberi suap tak kalah beragam: pengacara, pengusaha, hingga aktor yang memiliki akses ke elite kekuasaan.
Pola ini menandakan korupsi di pengadilan bukan sekadar ulah oknum, melainkan bagian dari sistem yang memungkinkan transaksi kekuasaan bekerja lintas struktur dan profesi hukum. Kita tentu tak dapat menafikan bahwa MA telah melakukan berbagai reformasi.
Dalam menanggapi kasus-kasus terakhir, MA mengambil langkah cepat, di antaranya memutasi 199 hakim dari berbagai pengadilan. Ini bukan jumlah kecil. MA juga telah melakukan banyak kemajuan struktural dua dekade terakhir: sistem peradilan berbasis teknologi informasi, perbaikan layanan pengadilan, publikasi jutaan putusan, peningkatan kesejahteraan hakim, hingga pembentukan sistem pengawasan internal.
Namun, semua ini belum cukup menyentuh akar permasalahan. Gelombang reformasi, meski penting dan patut diapresiasi, perlu untuk membongkar jaringan korupsi sistemik yang mengakar dalam tubuh peradilan. Perlu pendekatan baru—yang tak hanya bertumpu pada aspek teknis, tetapi menyasar tatanan kelembagaan dan politik hukum yang menopang suburnya korupsi di pengadilan.
Tipologi korupsi di peradilan
Korupsi di pengadilan hadir dalam berbagai bentuk. Memahaminya dengan jernih akan membantu menentukan strategi pembaruannya.
Pertama, korupsi transaksional: suap antara pihak yang berperkara dan hakim, dimediasi oleh staf, panitera, atau pengacara. Kasus-kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK atau Kejaksaan sebagian besar masuk kategori ini. Namun, ini hanya permukaan dari gunung es.
Kedua, korupsi administratif-struktural, yakni korupsi yang terjadi dalam sistem penempatan dan pengelolaan personel, serta anggaran. Dalam sistem ini, relasi kekuasaan menentukan nasib karier. Mutasi digunakan tak hanya sebagai rotasi, tapi juga sanksi atau hadiah dan imbal jasa. Seorang hakim yang tak loyal bisa dipindahkan ke pengadilan kecil yang terisolasi, dengan sarana minim.
Ketiga, korupsi jaringan (networked corruption)—suatu sistem aliansi informal antaraktor strategis dalam dan luar pengadilan (hakim senior, panitera, pejabat struktural, pengacara, pengusaha, dan politisi).
Jaringan ini bekerja secara kolektif dan jangka panjang, menempatkan orang-orang tertentu di posisi strategis untuk mengamankan kepentingan bersama. Dalam sistem seperti ini, korupsi tak selalu melibatkan uang tunai, tetapi dalam bentuk ”layanan moral” yang menimbulkan utang budi: antarjemput, hadiah kecil, bantuan logistik saat menikahkan anak, hingga kemudahan promosi.
Keempat, dan yang paling berbahaya, adalah korupsi institusional atau state capture corruption—korupsi yang membuat pengadilan tidak lagi independen, melainkan menjadi bagian dari instrumen kekuasaan eksekutif atau kepentingan pasar. Dalam situasi ini, intervensi terjadi sejak proses pemilihan hakim agung, mutasi pejabat, penyusunan legislasi, hingga pengendalian anggaran.
Hakim bukan alat eksekutif, tetapi dalam praktiknya, banyak kebijakan pembangunan, perizinan, atau proyek besar diamankan melalui legitimasi peradilan—menciptakan keadaan di mana hukum tak lagi jadi pengatur kekuasaan, tetapi dikendalikan oleh kekuasaan.
Ekosistem yudisial
Kita tak bisa menutup mata atas kemajuan yang telah dicapai MA. Dibanding dua dekade lalu, peradilan kini jauh lebih terbuka. E-court, direktori putusan, pelatihan hakim, dan kenaikan penghasilan telah memperkuat fondasi kelembagaan.
Pengawasan internal juga telah berjalan. Di 2024 saja, ada 244 hakim dan aparatur peradilan yang dikenai sanksi hukuman disiplin oleh MA. MA juga secara aktif merespons kritik, seperti dalam mutasi besar-besaran pasca kasus terbaru ini.
Namun, kita juga perlu jujur melihat bahwa upaya reformasi belum menyentuh titik paling krusial, yaitu lemahnya sistem akuntabilitas internal. Sistem satu atap menempatkan MA sebagai pengadil tertinggi sekaligus pengelola anggaran, SDM, dan organisasi pengadilan di seluruh Indonesia. Dalam sistem ini, sistem akuntabilitas internal merupakan area krusial.
Komisi Yudisial (KY), yang semestinya menjadi pengawas eksternal, menghadapi kendala legal dan politik. Kewenangannya terbatas, implementasinya sering tersendat dan pola komunikasi yang buruk menyebabkan resistensi dari lembaga peradilan masih tinggi.
Di sisi lain, pengawasan internal MA juga memiliki keterbatasan kapasitas. Dengan lebih dari 900 pengadilan di seluruh negeri, pengawasan terpusat di Jakarta sulit berjalan efektif.
Selain itu, pembenahan MA tak akan pernah cukup apabila tak dibarengi pembersihan pada pilar kekuasaan hukum lainnya. Berkaca dari bentuk korupsi jaringan dan state capture, kita harus jujur menyatakan bahwa ekosistem hukum Indonesia saat ini belum mendukung pembaruan yang berkelanjutan.
Kepolisian, kejaksaan, dan advokat—yang menjadi mitra kerja pengadilan dalam proses penegakan hukum—juga belum sepenuhnya bersih dari praktik serupa. Reformasi di MA akan sulit bertahan jika aparat penegak hukum lain, termasuk advokat, tetap bekerja dalam logika transaksional.
Perlu pendekatan baru
Korupsi di pengadilan bukan semata soal moral atau integritas individu. Ia adalah cerminan dari disfungsi kelembagaan. Ketika pengadilan kehilangan mekanisme evaluasi yang obyektif, sistem promosi yang meritokratis, dan pengawasan yang independen, maka seluruh ekosistemnya rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Untuk itu, reformasi harus diarahkan pada lima perubahan kunci. Pertama, restrukturisasi organisasi melalui desentralisasi sebagian kewenangan administratif MA perlu dilakukan agar pengelolaan pengadilan tidak terkonsentrasi di pusat dan memungkinkan sistem checks and balances yang lebih sehat.
Kedua, sistem mutasi dan promosi hakim harus direformasi secara menyeluruh, dengan standar transparansi dan meritokrasi yang dapat diawasi publik. Ketiga, peran KY sebagai pengawas eksternal harus diperkuat, dari sisi kewenangan maupun kapasitas kelembagaan.
Keempat, MA perlu menata ulang mekanisme pengawasan internal dengan memperkuat kapasitas pengadilan tinggi sebagai pengawas wilayah dan mendorong pendekatan yang tidak hanya represif, tetapi juga preventif dan pembinaan.
Kelima, membingkai pembenahan peradilan sebagai upaya lintas kelembagaan dan lintas sektor, dengan visi membangun sistem hukum yang adil dan bebas dari pengaruh kekuasaan yang menyimpang.
Di tengah krisis ini, hal yang perlu mendapat perhatian khusus adalah hakim-hakim muda—generasi baru yang masih memiliki idealisme dan harapan untuk membangun peradilan yang bersih. Mereka adalah masa depan peradilan dan harus dilindungi dari kooptasi jejaring kekuasaan yang koruptif.
Dalam sistem yang timpang, para hakim muda sering kali tidak memiliki perlindungan kelembagaan yang cukup. Mereka berisiko ”terseret arus” atau justru memilih diam karena takut dikucilkan atau dimutasi secara tidak adil.
Dalam konteks ini, para hakim yang berintegritas dan senior yang memiliki posisi strategis memiliki peran sangat penting. Mereka tidak cukup hanya menjaga dirinya tetap bersih, tetapi juga perlu menjadi agen perubahan dari dalam. Tidak ada reformasi peradilan yang berhasil tanpa peran aktif para hakim sendiri.
Jalan masih panjang
Membangun pengadilan yang bersih adalah proses panjang yang memerlukan konsistensi, keberanian, dan kolaborasi banyak pihak: MA, KY, pemerintah, DPR, lembaga penegak hukum, advokat, akademisi, masyarakat sipil, dan tentu saja, para hakim itu sendiri.
Langkah seperti mutasi 199 hakim bisa menjadi sinyal awal bahwa MA tak menoleransi pelanggaran. Namun, kita juga perlu memastikan bahwa langkah-langkah ini menjadi bagian dari restrukturisasi yang lebih besar dan berkelanjutan.
Reformasi ini tak bisa dilakukan MA sendirian. Tanpa pembersihan di kepolisian, kejaksaan, dan advokat, pengadilan akan terus tersandera jejaring kuasa. Kita tak sedang menambal krisis, kita sedang menentukan arah sejarah. Jika ingin martabat pengadilan pulih, langkah berani harus diambil sekarang.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/membongkar-jejaring-korupsi-peradilan
Dipublikasikan oleh:
