preloader

Menempatkan Manusia dan Lingkungan di Pusat Transisi Energi


Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera bekerja sama dengan Universitas Harkat Negeri, menyelenggarakan Kuliah Internasional bertajuk “Transisi Energi: Energi Terbarukan, dan Tata Kelola Keberlanjutan” pada Senin (3/11/2025) di kampus Jentera. Kuliah ini menghadirkan Rektor Universitas Harkat Negeri yang juga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia 2014-2016
 Sudirman Said dan Professor of Environmental Social Science dari Stanford University, Prof. David Cohen.

Kuliah internasional ini membahas berbagai tantangan dan peluang transisi energi di Indonesia, serta menyoroti aspek tata kelola dan dampaknya bagi masyarakat.

Dalam paparannya, Sudirman Said menjelaskan bahwa Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat untuk pengembangan energi terbarukan melalui UU No. 30 Tahun 2007 dan PP No. 79 Tahun 2014. Namun, menurutnya, target 25% energi terbarukan pada tahun 2025 sulit tercapai karena saat ini baru mencapai sekitar 14%.

Sudirman melanjutkan bahwa potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.700 GW, tetapi baru dimanfaatkan kurang dari 1 persen, sementara cadangan energi fosil terus menurun. Hambatan utama, katanya, bersifat struktural karena dominasi pemain energi fosil dan lemahnya konsistensi kebijakan antar-kementerian. Ia menegaskan bahwa persoalan utama bukan terletak pada teknologi atau pendanaan, melainkan pada kemauan politik dan integritas institusional.

Prof. David Cohen menambahkan bahwa kemauan politik menjadi faktor penentu keberhasilan transisi energi. Dari perspektif ilmu sosial dan hak asasi manusia, ia menekankan pentingnya menempatkan manusia di pusat kebijakan keberlanjutan. “Keberlanjutan adalah tentang manusia dan dampak kemanusiaan,” ujarnya. Ia mengingatkan agar pemerintah tidak hanya fokus pada target jangka panjang, tetapi juga pada miliaran orang yang terdampak saat ini.

Prof. Cohen juga menyoroti transisi hijau, khususnya penambangan nikel untuk baterai kendaraan listrik. Ia mencontohkan operasi smelting nikel di Halmahera yang menggusur 21 kelompok masyarakat adat dan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang masif karena lokasi tersebut berada di pusat Segitiga Terumbu Karang atau Coral Triangle, di mana limbah telah merusak hutan bakau yang keberadaannya menyerap karbon 3-5 kali lebih banyak daripada pohon darat.

Melalui kuliah ini, para pembicara menegaskan bahwa keberhasilan transisi energi di Indonesia tidak hanya bergantung pada ketersediaan teknologi atau pendanaan, tetapi pada kemauan politik, tata kelola yang bersih, serta keberanian untuk menempatkan manusia dan lingkungan sebagai pusat pembangunan.

Diskusi yang dimoderatori Wakil Ketua Bidang Akademik STH Indonesia Jentera, Dian Rositawati dapat disaksikan ulang di kanal YouTube STH Indonesia Jentera.