preloader

Kegagalan Partai Politik dalam Membangun Demokrasi

Seperti ada jembatan yang putus antara kita, warga negara, dengan para wakilnya di legislatif dan eksekutif. Kita datang dan mencoblos setiap lima tahun sekali, tetapi dalam kurun waktu antara satu pemilihan umum dan pemilu lainnya seakan ada jurang pemisah di antara warga dan para wakilnya.

Begitu banyak kritik tentang banyaknya undang-undang, misalnya, yang sebenarnya mengalami penolakan luar biasa, tetapi tetap saja digolkan, seperti revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan UU Cipta Kerja. Begitu pula, sejumlah undang-undang dihasilkan dalam waktu yang sangat singkat dan tanpa partisipasi. Seakan ada asumsi, mencoblos di bilik suara adalah memberikan kuasa penuh tanpa harus berkonsultasi lagi dengan orang-orang yang diwakili.

Tentu ada generalisasi di sini. Tidak semua wakil rakyat alpa dengan kewajibannya. Begitu pula, tidak semua warga mencoblos dalam pemilu. Namun, fenomena ini mesti disorot lebih dekat. Sebab, semakin banyak daftar keluhan tentang ke(tidak)bijakan dan hukum belakangan ini, seperti harga barang-barang yang semakin mencekik dan praktik korupsi yang merajalela. Namun, di sisi lainnya, elite politik hanya peduli pada soal-soal elektabilitas, apalagi Pemilu 2024 kian dekat.

Di bagian mana sebenarnya jembatan komunikasi kita putus? Yang kita sebut dengan ”elite politik” sebenarnya berada pada lingkaran yang dikelola oleh institusi politik formal yang bernama partai politik. Peserta pemilu adalah partai politik, kecuali untuk Dewan Perwakilan Daerah.

Partai politik menghasilkan aktor-aktor politik ke DPR, DPRD, juga eksekutif, yaitu presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Dalam sistem presidensial multipartai yang kita anut, penentuan kabinet juga akan memperhitungkan partai politik. Ada empat ketua umum partai politik ada di kabinet saat ini.

Lebih jauh, sesungguhnya pemilihan semua jabatan publik tak akan bisa lepas dari pengaruh partai politik karena kebanyakan proses pemilihan harus melalui DPR. Jabatan publik di sini misalnya komisi-komisi yang seharusnya independen, seperti KPK dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, bahkan juga lembaga-lembaga yang seharusnya mengelola keterpilihan partai politik itu sendiri: Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.

Lembaga yudikatif juga tak lepas dari pendekatan ini. Hakim-hakim agung dan tiga hakim Mahkamah Konstitusi juga ditentukan oleh DPR. Dalam praktik, kebanyakan calon pejabat publik yang harus melalui uji kelayakan dan kepatutan di DPR harus ikut serta dalam negosiasi politik.

Belum tersentuh

Masalahnya, partai politik ternyata justru belum banyak tersentuh upaya reformasi. Bukannya menjadi mesin politik untuk demokrasi konstitusional, partai politik dianggap hanya sebagai kendaraan untuk meraih jabatan publik. Bagi kebanyakan partai, yang terpenting adalah memastikan keterpilihan sehingga yang kuat secara massa dan dana yang bisa menjadi calon anggota legislatif, bukan yang mempunyai kapasitas politik dan integritas.

Tak mengherankan bila kita belakangan ini diributkan oleh fakta bahwa narapidana korupsi boleh ikut dalam pemilu karena undang-undang pemilu memang membolehkan. Soalnya, undang-undang pemilu dibuat oleh anggota DPR, yang tentu tak ingin mengubah ketentuan yang menguntungkan mereka ini. Ketentuan ini juga sudah berkali-kali diuji di Mahkamah Konstitusi, tetapi tetap dianggap konstitusional.

Mereka yang tidak menganggap penting rekam jejak menekankan pada hak setiap orang untuk dipilih. Argumen ini bisa diterima bila negara dijalankan oleh aktor-aktor beretika, dengan habitus politik yang demokratis. Masalahnya, partai politik yang harusnya menjadi filter dalam menentukan calon anggota legislatif lebih mengutamakan banyaknya kursi yang mampu diraih untuk memperluas kekuasaannya. Rekam jejak dan kapasitas politik tidak menjadi kategori penentu calon.

Membicarakan reformasi partai politik biasanya akan berakhir pada sebuah jalan buntu karena paksaan melalui undang-undang juga nyaris tak dimungkinkan karena partai politik lah yang membuat undang-undang di DPR. Tetapi sudah saatnya kita menuntut dengan keras partai-partai politik, yang lama dan yang baru, untuk mengubah aturan main partai politik. Bila tidak, demokrasi kita akan terus-menerus ditempatkan sebagai prosedur bagi elite politik untuk berganti-gantian saja duduk di kursi kekuasaan.

 

Editor: ANTONY LEE
Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.