preloader

Aktivisme dan Ancaman Judicial Harassment

Pelapor Khusus PBB tentang Situasi Pembela HAM (UN Special Rapporteur on the situation of human rights defenders), Mary Lawlor, mengeluarkan pernyataan pers (26/11/2021). Lawlor mengingatkan pemerintah Indonesia, agar segera berhenti melakukan judicial harassment pada para pembela HAM.

Dua kasus terpisah disinggung Lawlor: laporan pencemaran nama baik dari Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terhadap aktivis ICW Egi Primayogha dan Miftachul Choir, dan laporan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan terhadap Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, dan Pendiri Lokataru Haris Azhar.

Pelapor Khusus PBB Mary Lawlor menyampaikan keprihatinannya atas penerapan hukum pencemaran nama baik yang membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Lawlor juga mengangkat persoalan di mana Organisasi Masyarakat Sipil malah jadi target, padahal sedang menjalankan perannya untuk turut memastikan pemerintah bekerja dengan tata kelola yang baik, transparan, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Lawlor mendesak agar persoalan pencemaran nama baik diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana.

Perutusan Tetap Indonesia di Jenewa (Permanent Mission of the Republic of Indonesia in Geneva) langsung menanggapi pernyataan Pelapor Khusus PBB itu pada hari yang sama. Perutusan Tetap Indonesia menjelaskan bahwa kasus-kasus itu adalah murni sengketa hukum (legal dispute) antar sesama warga negara, dan bahwa pemerintah menghormati prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law).

Perutusan Tetap Indonesia keberatan dengan istilah “judicial harassment”, dan mengingatkan Pelapor Khusus PBB Mary Lawlor, agar membedakan judicial harassment dengan tindakan hukum yang sah (legitimate legal action). Perutusan Tetap Indonesia juga mendesak Pelapor Khusus PBB agar tidak melakukan diplomasi megafon untuk kepentingan pribadinya sendiri.

Diskusi tentang judicial harassment sering diwarnai perdebatan, khususnya mengenai eksistensi dari praktik judicial harassment itu sendiri. Pendukung konsep judicial harassment terus berusaha menyajikan argumen dan bukti bahwa praktik buruk ini nyata adanya, dan perlu diakui sebagai permasalahan keadilan yang penting untuk diselesaikan bersama.

Di sisi lain, ada yang menyangkal keberadaan judicial harassment. Penyangkalan atas praktik judicial harassment kerap didasarkan argumen yang sama: bahwa tidak ada praktik judicial harassment, bahwa kasus yang ada murni sengketa hukum, bahwa itu tindakan hukum yang sah (legitimate legal action), dan bahwa semua pihak harus menerima dan siap menjalani proses hukum, atas nama penghormatan pada prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law).

Memaknai Judicial Harassment

Istilah judicial harassment belum cukup dikenal luas di Indonesia. Istilah ini sering dipakai dalam konteks advokasi hukum dan hak asasi manusia. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan terjadinya penyalahgunaan proses hukum, dengan melakukan intimidasi dan pembungkaman kritik yang disuarakan aktivis, jurnalis, atau elemen warga lainnya, melalui jalur hukum.

Pengertian judicial harassment kerap beririsan, bergantian, atau tumpang tindih dengan istilah lain seperti legal harassment, malicious lawsuit, malicious prosecution, abusive litigation, ataupun criminalisation. Masyarakat di Indonesia sepertinya lebih familiar dengan istilah “kriminalisasi” yang lebih populer.

Pengertian kriminalisasi dalam hukum pidana sebenarnya netral, yaitu sebagai kebijakan legislasi untuk membuat suatu perilaku jadi dapat dipidana. Namun dalam pengertian populer, istilah kriminalisasi cenderung diartikan buruk oleh masyarakat.

Secara populer, masyarakat mengartikan kriminalisasi sebagai praktik buruk dalam proses hukum pidana. Masyarakat melihat kriminalisasi sebagai proses hukum pidana yang dijalankan untuk kepentingan di luar penegakan hukum, dan dengan alasan yang tak masuk akal atau dibuat-buat. Istilah ini sering muncul, terutama kini dalam penerapan UU ITE yang problematik dan kian jadi momok bagi kebebasan berekspresi di Indonesia.

Namun demikian, makna judicial harassment lebih luas dari kriminalisasi. Dalam konsep umumnya, judicial harassment bisa terjadi lewat jalur pidana maupun perdata. Pelaku judicial harassment-pun bisa berupa badan publik seperti pemerintah, badan privat seperti perusahaan, atau kombinasi keduanya.

Membungkam kritik dengan judicial harassment bisa banyak caranya: mulai dari menggertak lewat somasi, gugatan ganti rugi, laporan pencemaran nama baik, penetapan tersangka, penahanan, sampai dihadapkan ke muka pengadilan dan dipenjarakan. Tujuan dari judicial harassment adalah agar orang jadi takut, jera, dan berhenti menyuarakan kritik untuk kepentingan publik.

Dalam kerangka hukum di Indonesia, sekilas konsep judicial harassment muncul lewat regulasi Anti-SLAPP (Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation). SLAPP merupakan bagian dari judicial harassment. Walau konsep dasarnya sama, SLAPP dalam praktik mengerucut pada judicial harassment yang dilakukan pihak swasta untuk membungkam suara masyarakat, khususnya dalam kasus terkait praktik bisnis dan pengelolaan lingkungan hidup.

Regulasi Anti-SLAPP di Indonesia ada dalam Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal itu menegaskan bahwa orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak dapat dituntut pidana ataupun digugat perdata.

Dalam penjelasannya, dijabarkan bahwa Pasal 66 ini bermaksud untuk melindungi korban atau pelapor kasus perusakan lingkungan hidup. Pasal ini bermaksud mencegah pembalasan dari terlapor yang membalas dengan pemidanaan atau gugatan perdata. Dengan sendirinya, Pasal 66 ini mengakui adanya potensi judicial harassment dari terlapor untuk membalas pelapor dengan gugatan perdata atau pemidanaan.

Ketua Mahkamah Agung juga telah mengeluarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Dalam pedoman itu jelas disebut tentang Anti-SLAPP yang merupakan pelindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup. Pedoman ini juga memberikan panduan cara penggunaan argumentasi SLAPP dalam hal adanya gugatan ataupun pelaporan tindak pidana.

Sayangnya, regulasi Anti-SLAPP di Indonesia ini belum cukup memberikan pelindungan. Di lapangan, regulasi Anti-SLAPP ini belum cukup diindahkan oleh aparat penegak hukum. Sepanjang 2021, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat ada 58 kasus kriminalisasi yang tersebar terjadi di berbagai sektor (sektor pertambangan 52%, kehutanan dan perkebunan 34%, kawasan strategis pariwisata nasional 9%, lain-lain 5%).

Disangkal Tapi Nyata

Mendalilkan judicial harassment gampang-gampang susah. Gampang, karena bertebaran data pendukung dari penjuru dunia, bahwa judicial harassment benar terjadi dan nyata adanya. Susah, karena judicial harassment kerap disangkal keberadaannya baik oleh pemerintah, penegak hukum, ataupun sebagian kalangan masyarakat. Tak jarang, argumen judicial harassment dituduh cuma jadi alasan orang untuk menghindari proses hukum.

Business and Human Rights Resource Centre mencatat sepanjang 2015-2019 di berbagai negara ada 2.152 serangan terhadap tokoh masyarakat, petani, buruh, jurnalis, organisasi masyarakat sipil, dan pembela HAM lainnya. Orang-orang ini diserang ketika menyuarakan pandangannya soal praktik bisnis. Sebanyak 857 serangan, sekitar 40%, adalah serangan dengan menggunakan proses hukum atau peradilan.

Sementara itu, data tentang judicial harassment di Indonesia tersebar dalam berbagai laporan organisasi masyarakat sipil. Misalnya catatan dari Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), bahwa dalam kurun waktu 6 tahun terakhir terjadi 1.587 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat sipil yang menyuarakan kritik. Korbannya beragam, mulai dari petani, masyarakat hukum adat, juga nelayan, dalam berbagai kasus agraria dan sumber daya alam.

Ironisnya, praktik judicial harassment adakalanya malah dapat dukungan dari sesama warga. Ungkapan misalnya: “Berani kritik, harus berani tanggungjawab“, atau “Kalau punya bukti, buktikan saja di pengadilan” dan yang sejenisnya, cukup sering muncul ketika ada warga yang digugat atau dipidanakan karena menyuarakan kritik.

Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat atas pentingnya kebebasan mengkritik, dan bahaya praktik judicial harassment. Untuk itu, maka konsep judicial harassment perlu diperkokoh dengan argumentasi yang kuat, dan perlu dukungan bukti yang dicatat rinci dan rapih. Praktik judicial harassment harus bisa dikenali ciri-cirinya, dan bisa dibedakan dari sengketa hukum biasa yang merupakan tindakan hukum yang sah (legitimate legal action).

Foundation for Press Freedom (FLIP) membuat laporan berjudul Laws to Silence: Judicial Harassment Against Freedom of Speech in Mexico and Colombia (2021), dan mencoba merumuskan empat karakteristik utama dari judicial harassment. Rumusan ini cukup mudah dipahami, utamanya untuk membedakan judicial harassment dengan sengketa hukum biasa.

Empat karakteristik itu adalah: 1) Judicialization of Freedom of Speech Conflicts: Adanya konflik mengenai kebenaran suatu ekspresi tertentu, baik berupa informasi maupun opini, yang kemudian dibawa ke muka pengadilan, 2) Appearance of an Unfounded Cause: Adanya penggunaan jalur hukum yang sembrono (reckless) atau tak beralasan (unreasonable), yang dimaksudkan lebih untuk menekan dan menimbulkan rasa takut, 3) Inequality Between the Parties to the ConflictAdanya ketimpangan kekuatan yang substansial antara pihak yang berhadapan, baik dari segi politik, ekonomi, ataupun sosial, dan 4) Silencing an issue of public interest: Ekspresi yang dipersoalkan terkait kepentingan publik dan berdampak pada ranah sosial, politik, ekonomi masyarakat.

Pada 2015 beberapa organisasi masyarakat sipil (PSHK, LeIP, LBH Jakarta, KontraS, Mappi, YLBHI, KPA, LBH Masyarakat, dan WALHI) membuat laporan berjudul “Kriminalisasi”. Laporan itu mencoba menemukan indikator untuk bisa membuktikan adanya motif kriminalisasi. Laporan itu menekankan, betapa pentingnya untuk melihat latar belakang kasus itu secara utuh, terutama tentang keberadaan konflik sebelumnya antara terlapor dengan pelapor.

Inequality Before The Law

Persamaan di muka hukum (equality before the law) adalah prinsip yang kemudian dijadikan cita-cita bersama untuk diperjuangkan perwujudannya. Dalam kenyataan, yang masih terjadi dalam praktik adalah ketimpangan di muka hukum (inequality before the law). Perlu diakui, bahwa dalam banyak kasus, ada segelintir pihak yang punya kekuatan lebih besar dari segi politik ataupun ekonomi. Kekuatan dan kekuasaan ini membuat mereka bisa lebih diistimewakan dalam penegakan hukum.

Ketimpangan di muka hukum ini nyata, dan merupakan karakteristik pembeda utama antara judicial harassment dan sengketa hukum biasa. Kita perlu cermat ketika melihat kasus gugatan atau pemidanaan kepada warga yang menyuarakan kritik. Kita tak boleh begitu saja merapal mantra equality before the law, tiap lihat ada petani, buruh, jurnalis, atau aktivis yang digugat atau dilaporkan kasus pidana oleh para pemegang kekuasaan. Nyatanya, tak semua orang sama di muka hukum.

Tentu masih ada yang belum mau menerima kenyataan, bahwa Dewi Justitia adakalanya mengintip dan berhitung dari balik penutup mata sebelum ayunkan pedangnya. Pedang sang dewi keadilan bisa menebas garang ke segala arah, namun melambat bahkan berhenti ketika mengayun ke arah segelintir pemegang kekuasaan. Bahkan dalam kasus-kasus judicial harassment, tak tertutup kemungkinan bahwa sebenarnya pemegang kekuasaanlah yang mengarahkan ayunan pedang dewi keadilan. Masalahnya, untuk membuktikan adanya kolaborasi praktik buruk ini amatlah sulit.

Dalam konteks Indonesia, kita berhadapan dengan penerapan UU ITE yang kian mencemaskan. Laporan Safenet (2022) menunjukkan bahwa sejak 2021 aktivis jadi pihak yang paling sering dipermasalahkan dengan UU ITE. Umumnya, aktivis dikenakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan atau pencemaran nama baik. Makin runyam, ternyata pejabat publik adalah pengguna terbanyak UU ITE (35,7%), disusul oleh petinggi institusi, pimpinan perusahaan dan organisasi (32,1%), dan terduga pelaku kekerasan (14,3%). Data ini sedikit-banyak menunjukkan indikasi, bahwa UU ITE kemungkinan telah jadi salah satu instrumen judicial harassment.

Ruang gerak masyarakat sipil (civic space) yang sehat, sangatlah diperlukan dalam membentuk negara yang demokratis dan sejahtera. Aktivisme dan gerakan partisipasi publik yang aktif, merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas pembentukan dan implementasi kebijakan publik. Keterlibatan warga, termasuk lewat kritik, jelas berkontribusi positif pada akuntabilitas tata kelola pemerintahan.

Tentu ancaman dan serangan pada aktivisme bukan hanya judicial harassment. Mulai dari serangan remeh-temeh seperti cibiran peyoratif disebut Social Justice Warrior alias SJW, sampai serangan serius seperti stigmatisasi, diretas, doxing, perisakan siber, serangan kekerasan fisik, penganiayaan, sampai dibunuh.

Perlu solidaritas sesama warga dalam menghadapi ancaman dan menemukan solusi atas judicial harassment. Dalam ruang kebebasan yang menyempit, kita semua adalah calon tersangka. Mungkin hari ini giliran dia atau mereka. Besok lusa, bisa jadi giliran kita.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/aktivisme-dan-ancaman-judicial-harassment-lt627dc92ad2af3/?page=all
Tanggal: 13 Mei 2022

Dipublikasikan oleh:

Eryanto Nugroho

Eryanto Nugroho merupakan salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia pada 2001 dan kemudian melanjutkan studinya di Erasmus School of Law, Belanda, untuk gelar Master of Laws pada 2005.