preloader

Kelas Inspirasi The Popo: Seni di Ruang Publik

“Saya hadir bukan sebagai seniman, tetapi sebagai warga yang juga punya concern.” Menempatkan diri sebagai warga, berbicara dengan warga sekitar merupakan cara Riyan Riyadi untuk merespons ruang publik. Ia adalah seorang seniman visual yang biasa dikenal dengan karakternya, The Popo. Ia berbagi pengalamannya terkait pembuatan karya visualnya pada Kelas Inspirasi di STH Indonesia Jentera.
Riyan menegaskan bahwa kedatangannya di suatu tempat untuk membuat karya tidak serta-merta berarti ingin mengubah lingkungan. Ia hanya ingin memberikan identitas warga sekitar di ruang publik.  Salah satu contoh yang diceritakan pada Selasa, 8 November 2016 adalah pembuatan mural di Asemka dalam rangka Jakarta Biennale 2013. Di dalam muralnya, tertera teks, “Hidup adalah mainan.” Memang, Asemka sering kali terasosiasi dengan pusat mainan. Pada kesempatan itu, ia berbincang dengan salah satu pedagang mainan. Orang itu bercerita bahwa dia hanya tahu mainan saja dan sudah menjual mainan perahu klotok selama 15 tahun. Di situlah, Riyan memutuskan untuk menuliskan teks yang menggambarkan keadaan di sekitar. Alhasil, karyanya berupa mural—yang tentunya juga memuat karakter The Popo—bertahan di tempat itu selama 3 tahun. Konon, orang-orang sekitar menolak mural itu dicat ulang.
Beda lagi ceritanya ketika Riyan berkarya di salah satu “perumahan teletubbies” di Sleman, Yogyakarta. Perumahan itu mempunyai bentuk yang sama tanpa nomor rumah. Maka itu, beberapa kali terjadi penduduk setempat masuk ke rumah yang salah. Merespons kejadian itu, Riyan membuat mural di dinding rumah dengan merepresentasikan identitas pemilik rumahnya, misalnya The Popo yang sedang membawa buah-buahan bagi rumah pekebun buah. Sejak itu, pemilik rumah nyaris tidak pulang ke rumah yang salah lagi. Mural Riyan di tembok rumahnya menjadi identitasnya.
Tembok bukan menjadi satu-satunya media berkarya Riyan. Selain juga membuahkan karya digital, ia pernah juga membuat karya di mangkuk. Itu pun berangkat dari pengalaman pribadinya yang selalu menemukan “mangkok ayam” di pedagang kaki lima. Menurutnya, menceritakan kembali pengalaman orang menjadi titik berat karya-karyanya. Maka itu, karya yang dibuat cenderung menyuarakan pengalamannya atau orang lain sebagai warga.

Penulis:APH