preloader

Penyandang Disabilitas Psikosial Berhak atas Persamaan di Depan Hukum

Untuk meminimalisir modus penguasaan hak penyandang disabilitas psikososial yang masih kerap terjadi, alih-alih pengampuan, penyandang disabilitas psikososial harus diberikan dukungan dan pengetahuan yang cukup untuk mengambil keputusannya sendiri. Pengampuan berpotensi untuk menghilangkan hak penyandang disabilitas psikososial, salah satunya hak untuk mengambil keputusan, dan dalam banyak kasus dijadikan modus untuk penguasaan hak penyandang disabilitas psikososial melalui klaim pengadilan.

Hal tersebut disampaikan oleh Pengajar STH Indonesia Jentera, Fajri Nursyamsi dalam diskusi bertajuk “Pengakuan Kapasitas Hukum Penyandang Disabilitas Psikososial dalam Perspektif Konstitusi Indonesia” yang diselenggarakan oleh STH Indonesia Jentera bekerja sama dengan Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, pada Kamis (25/8/2022) secara daring.

Selain Fajri, hadir narasumber lain yakni Anggota Perhimpunan Jiwa Sehat, Ati Mulin, Pengajar STH Indonesia, Asfinawati, dan Alumnus National University of Ireland, Galway, Republik Irlandia (Centre for Disability Law and Policy), Yeni Rosdianti.

Faktanya, persoalan stigmatisasi penyandang disabilitas psikososial masih kerap terjadi, salah satunya perihal hak di depan hukum. Anggota Perhimpunan Jiwa Sehat, Atin Maulin menjelaskan bahwa penyandang disabilitas psikososial akan menghadapi kondisi tersebut seumur hidup dan tidak dapat disembuhkan. Namun hal tersebut dapat dipulihkan dan bersifat periodik. Atin kemudian menyayangkan stigmatisasi yang dialami penyandang disabilitas psikosial yang dianggap kurang cakap di beberapa hal. Karenanya, tidak sedikit penyandang disabilitas psikosial yang dilanggar haknya karena dianggap tidak bisa melakukan kegiatan atau pekerjaan apapun.

Beberapa yang dicontohkan Atin sangat erat dengan hak penyandang disabilitas psikosial ketika berurusan dengan hukum. Sebagai penyandang disabilitas psikosial, Atin menceritakan pengalamannya tidak mendapatkan kontrak kerja walaupun telah menyelesaikan seleksi dengan baik, karena di akhir diketahui sebagai penyandang disabilitas psikosial. Kasus lain dan banyak terjadi, penyandang disabilitas psikosial dianggap tidak mampu mengelola keuangan sehingga haknya seperti hak waris dialihkan ke orang lain, meski belum ada putusan pengadilan yang memerintahkan hal tersebut.

Berkaitan dengan kasus-kasus tersebut, Fajri menegaskan bahwa stigmatisasi terhadap penyandang disabilitas psikosial sudah seharusnya dihilangkan. Dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (2) telah ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Fajri menambahkan, aturan tersebut memberikan mandat bahwa kelompok rentan dan disabilitas memiliki hak dan kesempatan yang sama atas kemudahan dan manfaat. Aturan tersebut juga menegaskan, kelompok rentan dan disabilitas berhak atas kemudahan dan perlakuan khusus karena mereka rentan dan rawan menghadapi hambatan dalam aktivitas keseharian.