preloader

Mewujudkan Pendidikan Kontekstual yang Berpusat pada Murid

 

Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera bersama Cerita Guru Belajar webinar bertajuk “Peran Guru BK menghadapi Gen Z dan Alfa dari bullying hingga bimbingan masa depan” pada Selasa (15/7/2025). Kegiatan ini bertujuan memperkuat kapasitas guru Bimbingan dan Konseling (BK) dengan menyajikan sudut pandang psikologis, pedagogis, dan hukum untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman, suportif, dan transformatif bagi generasi penerus.

Ketua STH Indonesia Jentera, Aria Suyudi, membuka kegiatan dengan menyoroti semakin kompleksnya tantangan dalam mendampingi Gen Z dan Gen Alpha. Ia menekankan bahwa kedua generasi ini tumbuh di tengah dinamika digital yang cepat, penuh peluang namun juga sarat tekanan sosial. Dalam konteks tersebut, peran guru BK menjadi semakin penting. Aria juga mengapresiasi kolaborasi antara Jentera dan Cerita Guru Belajar sebagai langkah strategis untuk memperkuat ruang dialog bagi guru BK dalam upaya perbaikan ekosistem pendidikan secara menyeluruh.

Membuka diskusi, Buki Setiawan, perwakilan dari Guru Belajar Foundation, yang menyoroti miskonsepsi yang selama ini meminggirkan peran dari guru BK. Menurutnya, peran guru BK kerap terpinggirkan karena sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada nilai ujian. “Selama pendidikan hanya mengejar nilai ujian, maka peran guru BK akan terus terpinggirkan,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa fokus pada nilai akademis membuat perilaku murid yang ditekankan adalah kepatuhan, bukan kemandirian, hal ini bertentangan dengan tujuan pengembangan diri yang diusung oleh guru BK. Untuk mengatasi ini, Buki memiliki tiga solusi: pertama, berjuang mewujudkan pendidikan kontekstual yang berpusat pada murid, kedua, mengorganisasikan diri dalam komunitas untuk saling belajar, dan ketiga merumuskan visi bersama, serta memperluas fokus pendampingan.

Fikri Suhardi, seorang guru BK dan konten kreator yang kerap membahas karakter dan tantangan Gen Z dan Alpha juga menyoroti bagaimana istilah-istilah seperti “cepu” dan “pick me” telah mengalami pergeseran makna dan berdampak negatif di lingkungan sekolah. “Takut dibilang ‘cepu’ membuat siswa enggan melaporkan kasus perundungan. Ini sama dengan menormalisasi perundungan,” jelas Fikri. Ia menekankan bahwa guru BK harus menjadi “detektif” yang peka terhadap tren, bahasa, dan bahkan makna tersembunyi di balik emoji yang digunakan siswa untuk bisa terkoneksi secara autentik.

Dari sisi hukum dan pendidikan tinggi, Asfinawati, Wakil Ketua STH Jentera Bidang Pengabdian Masyarakat dan Kemahasiswaan, mengkritik kecenderungan spesialisasi yang terlalu dini dalam sistem pendidikan modern. Ia mengingatkan bahwa pendidikan pada hakikatnya bertujuan membangun kemampuan berpikir abstrak dan filosofis sebelum memasuki bidang spesifik. “Di Jentera, kami percaya spesialisasi itu penting, tetapi harus menjadi sebuah ujung, bukan titik awal,” ujar Asfin. Karena itu, Jentera menekankan pembelajaran dasar seperti filsafat, penalaran hukum, dan keterlibatan sosial yang dilandasi nilai kolaborasi, integritas, pengembangan diri, dan kontribusi pada lingkungan untuk menciptakan ruang akademik yang egaliter dan terbuka.