preloader

Membela Kebebasan Akademik, Menjaga Negara Hukum

Pernyataan Sikap Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera

Demonstrasi mahasiswa pada Agustus 2025, yang disertai dengan masuknya aparat kepolisian ke lingkungan kampus, adalah peringatan keras bagi demokrasi Indonesia. Aksi-aksi yang dipicu oleh kekecewaan atas berbagai kebijakan pemerintah serta pelemahan lembaga hukum ini berujung pada kekerasan dan intimidasi aparat terhadap mahasiswa di dalam kampus. Respons aparat yang menggunakan kekerasan terhadap aksi mahasiswa, sementara di saat yang sama membiarkan pembakaran fasilitas umum dan penjarahan, mencerminkan manipulasi elite atas sentimen publik.

Pola represi pun terus meluas, mulai dari penangkapan aktivis pro-demokrasi, kriminalisasi pendamping hukum, intimidasi terhadap organisasi masyarakat sipil, hingga serangan ke kebebasan akademik. Otoritarianisme selalu menekan ruang warga sipil (civic space) mulai dari kebebasan berpendapat, berkumpul, sampai otonomi perguruan tinggi.

Kebebasan akademik, serta kebebasan berkumpul dan  berserikat organisasi masyarakat sipil adalah dua pilar penting demokrasi Ketika negara bukannya melindungi tetapi justru menyerang dua pilar penting ini, yang terancam bukan hanya ruang kebebasan, tetapi juga konsep negara hukum itu sendiri. Ketika ruang aman untuk berpikir kritis dirusak oleh kekerasan dan intimidasi aparat, kita sedang menyaksikan runtuhnya komitmen terhadap prinsip negara hukum sebagai cita-cita dasar Republik.

Menggenggam Kembali Semangat Reformasi 1998

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa mahasiswa selalu berada di garda depan perubahan. Tahun 1998 menjadi bukti paling nyata: krisis ekonomi dan otoritarianisme melahirkan mobilisasi besar-besaran yang dipelopori mahasiswa. Gelombang protes ini yang meruntuhkan Orde Baru dan membuka jalan bagi era Reformasi melalui perubahan konstitusi menuju demokrasi dengan checks and balances, jaminan hak asasi manusia, hingga independensi peradilan. Inilah fondasi negara hukum modern Indonesia: hukum tidak lagi sekadar alat represi dan legitimasi kekuasaan, melainkan instrumen untuk membatasi kekuasaan dan melindungi hak warga negara.

Namun, capaian itu bukan hadiah. Krisis ekonomi menjadi pemicu runtuhnya rezim otoriter Soeharto dengan mahasiswa menjadi ujung tombaknya. Gerakan mahasiswa 1998 berhasil mencatatkan sejarah bahwa turun ke jalan bukan hanya bagian dari protes, melainkan wujud penjabaran nilai kampus sebagai pusat dialektika, kritik, dan perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

Ancaman Demokrasi dan Kebebasan Akademik

Kini, lebih dari dua puluh lima tahun kemudian, kita justru menyaksikan tanda-tanda kemunduran. Aparat bersenjata kembali masuk ke kampus. Mahasiswa dan masyarakat sipil yang bersuara kritis diperlakukan sebagai ancaman keamanan. Tindakan ini mengingatkan pada pola lama: penegakan hukum tanpa nalar hukum, di mana aparat bertindak represif tanpa memahami bahwa hukum seharusnya melindungi, bukan menakut-nakuti, mengancam, apalagi melukai. Negara seharusnya menjadi penjamin bahwa kampus adalah ruang aman, bukan arena yang terkontaminasi gas air mata, terkoyak oleh peluru, atau hancur dilindas baja alat negara.

Ironisnya, kemunduran ini justru kembali menembus kampus, ruang yang seharusnya menjadi benteng kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. Padahal, regulasi jelas mewajibkan perguruan tinggi untuk menjamin keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan sivitas akademika, serta melarang segala bentuk kekerasan di perguruan tinggi dan mewajibkan penciptaan lingkungan belajar yang inklusif, dan bebas intimidasi. Fakta bahwa aparat justru melanggar prinsip-prinsip ini menunjukkan jurang besar antara hukum di atas kertas dan hukum dalam praktik. Seolah ada dua jagat yang berbeda antara mempelajari hukum di kelas dengan menyaksikan bagaimana alat negara menjalankan hukum.

Kebebasan akademik merupakan ekosistem penting bagi pendidikan hukum yang merupakan fondasi pembangunan hukum. Bagi Jentera, pendidikan hukum adalah nyawa untuk masa depan republik.. Pendidikan tinggi hukum harus melahirkan para pembaru hukum dengan nalar kritis. Serangan ke kampus menegaskan bahayanya penegakan hukum tanpa nalar hukum. Ketika polisi masuk ke ruang akademik tanpa dasar, yang hilang bukan hanya rasa aman mahasiswa, tetapi juga sendi utama negara hukum. Tanpa nalar hukum, hukum berpotensi kembali menjadi instrumen represi, seperti yang kita alami di masa lalu.

Penerawangan ke Depan: Ancaman dan Harapan

Kita telah menyaksikan dari hari ke hari menguatnya dominasi pemerintah melalui aparat penegak hukum. Sementara itu, lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir justru semakin lemah dan terkooptasi politik. Jika pembiaran ini terus berlangsung, maka perjuangan mewujudkan Negara Hukum sejak 1945, serta usaha memperbaruinya melalui Reformasi 1998, akan tinggal nama tanpa makna.

Kita juga perlu waspada terhadap kembalinya budaya militerisme dalam hukum. Tradisi militer yang satu arah serta tidak mengedepankan dialog, kebebasan, dan keterbukaan dalam ruang publik, akan membuat hukum kembali tunduk pada kekuatan fisik, bukan pada rasionalitas dan keadilan. Negara hukum hanya bisa hidup jika hukum berdiri lebih tinggi dari kekuasaan, bukan sebaliknya. Namun, terdapat ironi ketika profesi penegak hukum sering kali dipersepsikan oleh publik sebagai instrumen kekuasaan yang berpihak pada kepentingan elite, alih-alih sebagai pelindung kelompok yang terpinggirkan oleh struktur ekonomi dan politik.

Oleh karena itu, setiap serangan terhadap kebebasan akademik secara fundamental merusak daya kritis dan menghambat pembentukan nalar hukum yang objektif. Tindakan membungkam dan mengintimidasi mahasiswa sama saja dengan memutus mata rantai regenerasi penegak hukum yang independen dan berintegritas, sosok yang kita butuhkan untuk mewujudkan keadilan sosial.

Seruan Solidaritas Kampus Hukum

Situasi ini menuntut sikap tegas dari komunitas akademik dan kampus hukum. Perguruan tinggi harus berdiri di garis depan membela kebebasan akademik. Tidak cukup hanya mengajar teori Rule of Law di kelas; kita harus memastikan prinsip itu hidup dalam kenyataan kampus.

Kita harus bersama-sama menolak intimidasi, melindungi mahasiswa, dan menegaskan bahwa kampus adalah ruang aman untuk berpikir. Kebebasan akademik bukan kemewahan, melainkan syarat mutlak bagi negara hukum.

Reformasi 1998 mengajarkan bahwa mahasiswa mampu membuka jalan reformasi. Mereka memaksa lahirnya amandemen konstitusi yang menguatkan demokrasi dan negara hukum. Hari ini, jalan itu terancam ditutup kembali oleh represi penguasa.

Membela mahasiswa dan masyarakat sipil hari ini, berarti melanjutkan perjuangan Reformasi dan menjaga agar negara hukum tidak runtuh. Membela kebebasan akademik dan kebebasan ekspresi hari ini, adalah cara kita menjaga agar jalan Negara Hukum tetap terbuka, jalan yang diperjuangkan dengan nyawa dan air mata, dan yang masih menjadi cita-cita kita bersama.