preloader

Mardjono Reksodiputro: Catatan untuk Perjalanan Sejarah Hukum Pidana Indonesia

“Apa yang diperoleh sekarang, akibat masa lalu.
Apa yang dilakukan sekarang menentukan masa depan.”
Dua kalimat tersebut membuka sesi kuliah mengenai Sejarah dan Perkembangan Hukum Pidana yang diisi oleh Prof. Mardjono Reksodiputro. Kuliah yang diselenggarakan di STH Indonesia Jentera pada Kamis, 16 Maret 2017 membahas perjalanan sekaligus kritik mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
KUHP yang saat ini berlaku memuat nilai dan norma yang diakui pada 1918, yang mungkin tidak lagi sesuai dengan kondisi sekarang. KUHP itu merupakan warisan Wetboek van Strafrecht (Wvs) Belanda yang kemudian diterjemahkan secara tidak resmi dalam beberapa versi dan menjadi acuan akademisi maupun penegak hukum—polisi, jaksa, advokat, dan hakim. Tidak jarang terjadi perbedaan tafsir atas beberapa terjemahan tidak resmi itu. Padahal, dalam dunia hukum, bahasa adalah utama. Sarjana hukum tidak sekadar membaca pasal, tetapi harus memahaminya. Bagaimana bisa seorang sarjana hukum membuat argumentasi, jika tidak memahami bahasa dengan baik?
Mardjono memberikan beberapa catatan terkait perkembangan hukum pidana di Indonesia. Salah satu pembahasannya mengenai keberlakuan delik adat. Dalam pembahasan Rancangan KUHP (R-KUHP) pada 1980-an, diperdebatkan mengenai keberadaan delik adat dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Tim Perumus pada waktu itu menjawab bahwa sepantasnya delik adat tetap diakui. Pada saat penjajahan, Belanda mengakui keberlakuan delik adat. Setelah Indonesia merdeka, delik adat masih diakui di dalam UU No. 1 Drt.1951. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah bagaimana jika ada perbuatan yang melanggar hukum adat, tetapi perbuatan itu tidak ada padanannya di dalam KUHP. Salah satu solusi yang ditawarkan, dalam hal terjadi perbuatan itu, kepala adat melapor kepada ketua pengadilan negeri. Kepala adat dianggap sebagai orang yang paling tahu larangan apa yang dilanggar oleh pelaku. Pada waktu itu, pengetahuan hukum hakim dianggap paling memadai,, selain karena hakim memiliki tanggung jawab untuk menggali hukum. Karena jika tidak dipikirkan mengenai mekanisme penegakan hukumnya, delik adat hanya akan menjadi hukum yang mati.
Materi lain terkait hukum pidana adalah keberlakuan ketentuan khusus di luar KUHP. Pemikiran bahwa seluruh ketentuan yang ada dalam Undang-Undang di luar KUHP akan dicabut karena masuk dalam RKUHP merupakan penafsiran yang keliru. Pokok aturan dapat dimasukkan dalam bab RKUHP, sementara penjabaran secara detil tentang delik ada dalam UU khusus yang berlaku.
Mardjono juga membahas mengenai perkembangan hukum acara pidana. KUHAP yang disahkan pada 1981 merupakan karya agung jika dibandingkan dengan peraturan yang berlaku sebelumnya—Het Herzeine Indonesisch Reglement (HIR). KUHAP lebih mengakui hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana, walaupun membandingkannya menjadi tidak seimbang karena HIR dibentuk pada masa penjajahan yang jamak melanggar hak asasi manusia. Saat ini, KUHAP yang ada dianggap kurang sesuai, selain pada praktiknya juga banyak hak yang dijamin KUHAP tidak dijalankan. KUHAP saat ini juga tidak menunjukkan adanya suatu sistem peradilan pidana yang terpadu. Di dalam KUHAP, didesain suatu pemisahan kewenangan penegak hukum yang seharusnya kewenangan itu terintegrasi, maka perombakan KUHAP perlu dilakukan.
Dalam kerangka pembentukan hukum pidana, substansi R-KUHP dan R-KUHAP bukan semata-mata tanggung jawab DPR dan pemerintah, melainkan juga mahasiswa. Mengapa mahasiswa? Mahasiswa akan menjadi pelaksana ketentuan yang sedang dibuat sekarang untuk masa yang akan datang.
Penulis : ED
Editor   : APH