preloader

Konstelasi Politik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Siklus pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik merupakan keniscayaan untuk terus didiskusikan dan dikembangkan di negara ini. Untuk itu, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan seminar nasional berjudul “Konstelasi Politik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”. Seminar itu memiliki isu khusus terkait rencana perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peserta yang hadir beragam, mulai dari Pemerintah, DPR, Pemerintah Daerah, DPRD, Mahkamah Agung, TNI, akademisi, peneliti, sampai advokat.
 
Sesi pertama dibuka dengan pemaparan Jimly Asshidiqie mengenai “Model Pengaturan dalam Membangun Sistem Peraturan Perundang-undangan yang Terintegratif”. Menurut Jimly, seharusnya arah hukum kita menyeimbangkan antara pembentukan hukum peraturan perundang-undangan dan penemuan hukum dalam putusan hakim. Masih dalam sesi pertama, Bivitri Susanti memaparkan “Menyoal Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan”, sedangkan Widodo Ekatjahjana menjelaskan “Kewenangan Lembaga Negara dan LPNK dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”. Terdapat pembahasan menarik dari kedua narasumber terkait hirarki peraturan perundang-undangan. Widodo menyatakan bahwa seharusnya peraturan-peraturan dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12 Tahun 2011 termasuk dalam hierarki agar menciptakan kepastian hukum, menghindari kebingungan dalam praktik, dan menyesuaikan definisi peraturan perundang-undangan. Sementara itu, dari perspektif berbeda, Bivitri menyampaikan bahwa peraturan yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12 Tahun 2011 tidak perlu masuk dalam hierarki karena jenis dan syarat pembentukannya berbeda dengan peraturan pada Pasal 7 ayat (1) ) UU 12 Tahun 2011. Pemikiran-pemikiran itu menjadi bahan pertimbangan yang baik bagi perubahan.
 
Pada sesi kedua, Asep Warian Yusuf memberikan materi “Evaluasi Peraturan Perundang-undangan sebagai Bagian Manajemen Peraturan Perundang-undangan”. Asep menekankan bahwa evaluasi penting untuk memastikan bahwa peraturan perundang-undangan telah dibentuk sesuai asas, dijalankan sesuai tujuan, dan ditegakkan terhadap pelanggaran. Selanjutya, Supratman Andi Agtas menyajikan materi “Perencanaan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan DPR sebagai Bagian Manajemen Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”. Andi menjelaskan bahwa seharusnya pembentukan peraturan juga memperhatikan pola konfigurasi politik yang baku sesuai dengan visi dan misi partai politik. Pembicara terakhir adalah Enny Nurbaningsih yang memaparkan “Perencanaan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Pemerintahan sebagai Bagian Manajemen Peraturan Perundang-undangan”. Ia mengingatkan, siklus pembentukan peraturan perundang-undangan harus melaksanakan prinsip Good Regulatory Practices sehingga targetnya adalah kualitas, bukan sekadar kuantitas.
 
Kepala BPHN mengakhiri seminar dengan menyampaikan hasil diskusi berupa beberapa rekomendasi antara lain: penataan sistem hukum nasional, harmonisasi peraturan perundang-undangan, perlunya sistem carry over, sinkronisasi UU 12 Tahun 2011 dengan UU 23 Tahun 2014, menindaklanjuti putusan MK No.92/PUU-X/2012, penguatan kelembagaan Kemenkumham sebagai leading sector pembentukan semua peraturan perundang-undangan. Yasonna Hamonangan Laoly (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) menutup seminar dengan mengingatkan bahwa terdapat tiga permasalahan dalam perundang-undangan, yaitu inkonsistensi perundang-undangan secara vertikal maupun horisontal; koordinasi dan komunikasi antarlembaga negara; serta kuantitas lebih dipentingkan dari kualitas. Untuk itu, Yassona menyampaikan arah kebijakan hukum ke depan sebaiknya—antara lain: orientasi kepentingan negara, sinergitas lembaga negara, deregulasi, dan optimalisasi evaluasi peraturan perundang-undangan. (MRW)