preloader

Pemerintah dan DPR Harus Libatkan Masyarakat dalam Menyusun Kebijakan


Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, bersama Professor of Law at Southwestern Law School Los Angeles, Amerika Serikat, Mark Cammack, menjadi narasumber dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh @america bertajuk “People Participating in Policy Making” pada Rabu (24/3/2021).
Dalam diskusi tersebut, Bivitri membahas partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan di Indonesia. Ia membagi ke dalam tiga aspek yakni kerangka hukum partisipasi masyarakat, peran pengadilan, dan ekspektasi tentang pelibatan masyarakat dalam kebijakan di masa mendatang. Bivitri terlebih dahulu menyinggung proses pengambilan kebijakan di Indonesia, yang kemudian melahirkan aturan-aturan yang berjenjang. Aturan tersebut meliputi UUD 1945, undang-undang, hingga beberapa peraturan di bawah undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah.
Terkait dengan kerangka hukum partisipasi masyarakat, hal tersebut diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Bivitri, secara prinsip undang-undang tersebut merupakan garansi bahwa masyarakat dapat terlibat aktif dalam perumusan undang-undang dengan memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis. Undang-undang tersebut juga menegaskan peran pembentuk undang-undang, dalam hal ini baik eksekutif maupun legislatif, untuk aktif membuka akses seluas-luasnya terkait perumusan kebijakan dalam hal informasi rancangan undang-undang dan partisipasi dalam penyusunannya.
Apa yang diatur dalam undang-undang tersebut sejalan dengan Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan prinsip-prinsip good governance, yang menggarisbawahi fasilitasi kepentingan publik dalam perumusan kebijakan. Selain itu, adanya partisipasi publik juga akan mendorong pihak pembentuk undang-undang dalam mengimplementasikan transparansi informasi, akuntabilitas, dan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam sebuah kebijakan.
Namun hal yang ideal tersebut, harus berhadapan dengan realita yang cukup pelik dalam konteks Indonesia. Penerapan sistem politik di Indonesia, tidak memberikan mekanisme yang ideal untuk mempertemukan kepentingan pengambil keputusan dengan masyarakat yang diwakilinya. Menurut Bivitri terdapat tembok yang sangat kokoh bernama oligarki yang berperan sebagai aktor politik non-formal, yang nyatanya lebih memiliki pengaruh dalam mempengaruhi pengambilan keputusan.
Oleh karena itu proses perumusan kebijakan berlangsung formalistik dan normatif, serta partisipasi masyarakat yang berlangsung sifatnya hanya sosialisasi dan bukan murni mendengarkan hingga mempertimbangkan aspirasi. Masyarakat yang kemudian secara konsisten menuntut pembentukan kebijakan yang partisipatif justru dianggap mengganggu kestabilan dan harmonisasi demokrasi, hingga direpresi ketika bersuara dalam demonstrasi.
Kondisi yang kurang baik tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 64 dari 167 negara dengan skor 6.30 dalam Indeks Demokrasi 2020. Berkaca pada buruknya fasilitas terhadap partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan, Indonesia hanya mendapatkan skor 6.11 dalam hal partisipasi politik.
Bivitri kemudian juga mengulas peran peradilan sebagai media masyarakat untuk mengevaluasi kebijakan yang telah diputuskan. Di Indonesia sendiri terdapat dua lembaga, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang memiliki fungsi peninjauan kembali terhadap proses perumusan aturan. Namun dalam pelaksanannya, Mahkamah Konstitusi misalnya cenderung tidak mau mengambil resiko politik untuk berhadapan dengan pembentuk undang-undang terkait satu permasalahan atau gugatan yang diajukan masyarakat. Oleh karena itu, sampai sekarang belum ada amar putusan uji formil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang berstatus membatalkan sebuah undang-undang, meskipun telah diputus bahwa undang-undang tersebut inkonstitusional.
Sebagai harapan untuk proses pengambilan keputusan di masa mendatang, Bivitri menekankan pada tiga hal. Pertama, pengambil keputusan selayaknya menyediakan waktu yang ideal dalam setiap tahapannya, terutama untuk membuka informasi dan akses partisipasi seluas-luasnya kepada publik. Selanjutnya Bivitri juga menyinggung perapihan Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang lebih menyasar dan berpihak pada penyelesaian masalah masyarakat. Yang terakhir, terkait pemanfaatan teknologi juga perlu dimaksimalkan dalam perumusan kebijakan ke depan. Dengan teknologi, maka keterbukaan akses dan pelibatan masyarakat dapat diupayakan lebih luas dan maksimal.
Diskusi ini dapat disaksikan ulang di kanal Youtube @america.