preloader

Jentera dan Komnas Perempuan Terbitkan Studi Hukuman Mati Perempuan

Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera bekerja sama dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyelenggarakan Diskusi Publik dan Peluncuran Studi Kasus bertajuk “Perempuan dalam Lingkaran Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat: Case Study Pengalaman Terpidana Mati Perempuan dalam Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia”. Acara yang bertujuan untuk diseminasi hasil riset dan advokasi ini diselenggarakan pada Jumat (24/10/2025) di Jakarta.

Acara peluncuran studi ini digelar sebagai pendalaman atas temuan Komnas Perempuan terkait implementasi Konvensi Menentang Penyiksaan, di mana hukuman mati dinilai tidak lagi dapat dilihat hanya sebagai bentuk hukuman, melainkan sebagai bentuk penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

Asisten Pengajar STH Indonesia Jentera sekaligus penulis studi, Alviani Sabillah menegaskan bahwa fenomena penyiksaan terhadap perempuan dalam lingkaran hukuman mati di Indonesia adalah nyata adanya. Ia menjelaskan bahwa telaah studi yang berfokus pada kasus-kasus terpidana mati perempuan yaitu Rani, Liana, dan Selina, mengindikasikan adanya praktik penyiksaan berlapis.

“Hasil telaah dari ketiga subjek perempuan ini melihat bahwa unsur-unsur penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam jelas terlihat dari kasusnya selama masa deret tunggu sampai dengan eksekusi,” ujar Alviani. Ia menambahkan bahwa pola dan dampak penyiksaan tersebut tidak hanya dirasakan oleh terpidana mati itu sendiri, tetapi juga oleh pihak-pihak yang berada di sekitar terpidana mati. Rasa sakit yang luar biasa yang dirasakan secara berlapis oleh para terpidana mati, menurutnya, menunjukkan bahwa hukuman mati telah memenuhi unsur penyiksaan.

Lebih lanjut, Alviani menyoroti bahwa regulasi terkait prosedur dan protokol yang ketat dan seharusnya menjamin penegakan prinsip HAM, justru tidak sejalan dengan praktik di lapangan. Ia menyebutkan, pendamping psikologis tidak diperbolehkan masuk atau mendekati ruang eksekusi dalam kasus Rani. Selain itu, Ia juga menyinggung kondisi jenazah terpidana mati yang tidak ditutup oleh kain apapun setelah penembakan dan darah masih mengucur, yang merupakan potret yang sangat tidak manusiawi.

Oleh karena itu, STH Indonesia Jentera dan Komnas Perempuan menyampaikan sejumlah rekomendasi yang dihasilkan oleh studi ini. Rekomendasi tersebut antara lain:

  • Mendorong Presiden untuk membentuk Peraturan Presiden (Perpres) terkait pelaksanaan komutasi yang telah diatur dalam Pasal 100 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru).
  • Mendesak Pemerintah bersama Presiden merevisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi untuk memuat mekanisme penilaian dan transparansi dalam proses permohonan dan pemberian Grasi.
  • Mendorong Presiden untuk memberikan Grasi terhadap para terpidana mati yang berada dalam deret tunggu hingga berlakunya KUHP baru.

Seluruh pihak, termasuk masyarakat sipil, didorong untuk terus mengawal proses reformasi hukum agar dapat menciptakan keadilan bagi semua dan memperkuat gerakan kolektif menuju penghapusan hukuman mati di Indonesia.