preloader

Pendapat Akademisi dalam Sidang Eksaminasi Putusan PTUN atas Sengketa Informasi Kasus TPF Munir

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Amnesty Internasional Indonesia, Imparsial, LBH Jakarta, Omah Munir, Setara Institute dan YLBHI bekerjasama dengan STHI Jentera Jakarta mengapreasiasi pelaksanaan Sidang Eksaminasi “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Atas Sengketa Informasi Kasus TPF Munir” yang dilakukan oleh para akademisi dari 3 (tiga) kampus di Indonesia, yakni Universitas Airlangga – Jawa Timur, Universitas Atma Jaya – Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera – Jakarta pada 20 April 2017. Para akademisi menilai putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta yang mengabulkan keberatan Termohon Informasi (Pemerintah RI c.q Kemensetneg RI) untuk menolak isi amar putusan Komisi Informasi terdahulu yang menyatakan bahwa dokumen hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir adalah informasi terbuka untuk publik, bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi.

Dalam Sidang Eksaminasi yang bertempat di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Jakarta ini, 4 (empat) orang Majelis Eksaminator memberikan anotasinya atas Putusan No: 3/G/KI/2016/PTUN-JKT yang telah diputus oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta pada 16 Februari 2017, tanpa sebelumnya baik Pemohon Sengketa Informasi (KontraS) maupun Termohon Informasi diberitahukan maupun dihadirkan dalam sidang pemeriksaan di PTUN Jakarta.

Herlambang P. Wiratraman dari Universitas Airlangga Surabaya – Jawa Timur, mengutarakan bahwa Putusan Majelis Hakim TUN cukup janggal mengingat alasan dan fakta yang dikemukakan di persidangan, baik yang digunakan dalam Putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) maupun Putusan PTUN Jakarta merupakan alasan dan fakta yang sama. Oleh karenanya, patut dipertanyakan ketika kemudian putusan yang diambil Majelis Hakim PTUN Jakarta berbeda dengan putusan KIP sebelumnya.

Selain itu, dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim TUN juga kurang menggali argumentasi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam rangka menegaskan pertanggungjawaban hukum administratif. Fakta hukum Termohon Informasi (Pemerintah RI c.q Kemensetneg RI) yang pada intinya menyebutkan “Penyerahan dilakukan secara langsung kepada Presiden, dan tidak tercatatnya dokumen dalam Buku Agenda Surat Masuk Kementerian Sekretariat Negara” sesungguhnya merupakan argumen yang absurd. Hal ini dikarenakan prosedur diatas, bukan menjadi urusan publik tetapi menjadi urusan mekanisme internal mereka terkait dengan pengarsipan. Sangat disayangkan ketika kemudian pertimbangan majelis hakim TUN sangat terkesan dipaksakan dengan mengikuti logika Kemensetneg RI. Tidak selayaknya Majelis hakim TUN mengabaikan rasa keadilan dan kebenaran hanya dengan alasan informasi yang dimohonkan tidak berada dalam penguasaan badan publik yang digugat (alias tafsir proseduralisme nir-tanggung jawab). Artinya, jika hakim menggunakan alasan ini sebagai rujukan dalam menyelesaikan sengketa informasi publik sebagai rujukan dalam menyelesaikan sengketa informasi publik, sama halnya hakim tersebut mengamini segala bentuk kesalahan dan/atau kelalaian dari badan publik yang menguasai informasi publik.

Riawan Tjandra dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, secara tegas menyatakan bahwa Putusan TUN ini telah membunuh momentum untuk mengungkap kebenaran secara tuntas melalui pembukaan dokumen hasil penyelidikan TPF Kasus Meninggalnya Munir karena argumentasi dalam Putusan TUN telah bergeser, bukan lagi terkait keterbukaan infomasi, tetapi pada akhirnya menjadi perselisihan penguasaan dokumen TPF Munir. Padahal seharusnya hakim tidak perlu mengurusi hal tersebut karena hakim hanya menguji parameter pengujian dan tidak perlu mengkonstruksikan permohonan keberatan Kemensetneg.

Kesesatan berpikir (fallacy) dalam pertimbangan Putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta juga terlibat saat Majelis Hakim hanya mengandalkan pembuktian formal tertulis dengan melihat pada buku agenda surat masuk Kemensetneg tanpa mengaitkan dengan kewenangan Kemensetneg sebagai pendukung administrasi bagi Presiden dan Wakil Presiden, atau yang disebut dengan Argumentum ad ignoratiam, yaitu mengargumentasikan suatu proposisi sebagai benar karena tidak terbukti salah atau suatu proposisi salam karena tidak terbukti benar. Pertimbangan hakim yang membenarkan dalil Kemensetneg tersebut justru memperlihatkan bahwa hakim hanya melakukan pemeriksaan prosedural saja tetapi tidak mampu menginterpretasikan secara sempurna pertimbangan hukum yang dilakukan oleh Komisi Informasi Publik. Padahal sengketa Tata Usaha Negara mengenal Asas Hakim Aktif (dominus litis principle).  Dengan kualitas putusan TUN diatas, justru Majelis Hakim PTUN telah melegalisasi tindakan Kemensetneg yang melakukan pengabaian kewajiban hukum sesuai dengan kewenangannya, sesuatu yang sebenarnya justru oleh Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan (implementasi teori KTUN fiktif-positif) justru ingin dilarang secara tegas.

Senada dengan akademisi lainnya, Bivitri Susanti dari STHI Jentera Jakarta, menyayangkan tindakan Majelis Hakim PTUN yang gegabah dan menghina akal sehat karena hanya menjadikan catatan surat keluar masuk Kemensetneg sebagai pertimbangan hukum namun luput menyadari apa sebenarnya fungsi dan wewenangan Kemensetneg. Ada 2 konteks yang harus diperhatikan yakni Pertama, Keppres 111 Tahun 2004 tentang Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF KMM) dalam Penetapan Kesepuluhnya menyatakan bahwa “Segala biaya untuk melaksanakan tugas TPF KMM dibebankan kepada APBN melalui Sekretariat Negara”. Kedua, Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2015 tentang Kementerian Sekretariat Negara yang pada intinya menyatakan bahwa Kemensetneg bertugas untuk membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam hal dukungan teknis dan administrasi di bidang kesekretariatan negara.

Yang patut dipertanyakan adalah bagaimana mungkin dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim PTUN menyatakan bahwa tidak menemukan bukti-bukti bahwa dokumen TPF Munir ada dalam penguasaan Kemensetneg, jika Majelis Hakim hanya memeriksa catatan surat keluar masuk saja. Artinya, dengan tugas dan kewajiban yang melekat pada Kemensetneg, maka hal itu berarti meski Kemensetneg tidak memiliki surat tersebut secara fisik tetap tidak mengurangi kewajibannya untuk mencari dan menyediakan informasi yang diminta.

Asfinawati dari STHI Jentera Jakarta, menegaskan bahwa dalam Amar Putusannya, Majelis Hakim mengatakan bahwa dokumen TPF Munir tersebut tidak ada di Kemensetneg. Namun patut dicermati, apabila dokumen tersebut tidak ada di Kemensetneg, maka bukan berarti dokumen tersebut tidak pernah ada, dan kalaupun tidak pernah ada, bukan berarti hal itu benar dari sudut tata kelola pemerintahan karena faktanya dokumen tersebut pernah diserahkan secara resmi kepada Presiden pada 24 Juni 2005 dengan dihadiri banyak pejabat negara, termasuk Kemensetneg kala itu.

Lebih lanjut, UU Keterbukaan Informasi Publik telah memberikan batasan ketika putusan KIP digugat ke PTUN, maka isi putusannya pun sudah ditentukan sehingga tidak boleh bertentangan dengan itu, yakni hakim bisa membatalkan dalam arti membatalkan dengan memberikan sebagian informasi atau seluruh informasi atau menolak memberikan seluruh atau sebagian informasi (Pasal 49 UU Keterbukaan Informasi Publik). Dengan demikian, Majelis Hakim tidak berwenang memutuskan bahwa informasi publik tersebut dinyatakan tidak ada.

Jakarta, 20 April 2017

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Amnesty Internasional Indonesia

Imparsial

LBH Jakarta

Omah Munir

Setara Institute

YLBHI

STHI Jentera Jakarta

Bersama Majelis Eksaminator:

Herlambang P. Wiratraman (Pusat Studi Hukum dan HAM Universitas Airlangga Surabaya – Jawa Timur) – 082140837025

Riawan Tjandra (Universitas Atma Jaya Yogyakarta) – 08174120158

Bivitri Susanti (STHI Jentera Jakarta) – 08121041593

Asfinawati (STHI Jentera Jakarta) – 08128218930

Link: http://www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2374